Masa Depan Islam Di Indonesia

  • Bagikan
<strong>Masa Depan Islam Di Indonesia</strong>

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Sekarang ini bukan saat untuk mencetak katalog atau mengumpulkan kutipan dari survei-survei atau pola pengumpulan data yang bertendensi pemangsaan sambil bersandiwara mengatakannya sebagai langkah demokratisasi tak tertangguhkan

Atasnama KAHMI Sumatera Utara, beberapa hari lalu penulis kitab “Islam Transitif” Prof Dr H.Ansari Yamamah dari UINSU menawarkan sebuah rencana diskusi pekan ini dengan topik “Masa Depan Islam Indonesia”. Topik itu bukan sesuatu yang istimewa. Banyak orang, beragama Islam atau bukan, telah sangat lama terlibat dalam intensitas kajian serupa. Sebagiannya mungkin terkategori tokoh self hating Muslim.

Tampaknya sejarah harus selalu berulang. Banyak orang yang terus-menerus dirundung kecemasan tentang keterpurukan Islam dan kelipatan dukanya ke depan. Pada lain pihak amat tak sepi diskusi yang lahir dari aktivitas terstruktur, canggih dan didisain lintas negara yang bertolak dari ketakutan terhadap peluang kemajuan Islam.

Negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini dijajah oleh lima bangsa Eropa Kristen 3,5 abad. Mereka (Portugis,1509-1595; Spanyol, 1521-1692;  Belanda, 1602-1942; Prancis, 1806-1811; Inggris, 1811-1816) datang dengan semangat 3G (Gold, Glory, Gospel) yang kuat.

Mungkin tak semua berniat mendirikan kerajaan sebagaimana kesultanan-kesultanan Islam yang mereka temukan telah bertabur di mana-mana saat mereka datang. Namun Portugis berhasil mendirikan kerajaan sendiri (kerajaan Kristen Larantuka dengan raja pertama Lorenzo I) yang karena afiliasinya dengan kerajaan Katholik Portugis dicurigai telah menjadi faktor perhitungan tersendiri bagi Belanda untuk membubarkannya.

Kehadiran Jepang (1942-1945) tak harus dibedakan dengan penjajah-penjajah sebelumnya, karena selain dengan perasaan berhak menindas untuk keuntungan sendiri, semua datang dengan persepsi rasialistik dan permusuhan atas Islam, betapapun kesannya belakangan harus selalu ditukangi dalam narasi sejarah yang juga didiktekan oleh semangat imperialisme dan anti Islam yang sama.

Sejatinya kemerdekaan Indonesia tahun 1945 adalah sebuah pernyataan martabat kemanusiaan yang tak boleh dijengkali oleh bangsa mana pun. Namun Jepang memaksa para tokoh pendiri untuk tak mengimplementasikan kemerdekaan itu sebagai sebuah kebebasan untuk menentukan nasib sendiri yang dampak buruknya kemudian telah menjadi kisah yang dinukilkan dengan beragam interpretasi sejarah.

Islam En Christendom yang ditulis oleh Jacquelie C.Rutgers (1912) adalah salah satu dari banyak catatan yang relevan diketengahkan dalam ulasan ini. Dengan perasaan dan kebencian yang sangat menakuti Islam di Hindia Belanda, secara khusus penulis ini menggarisbawahi propaganda organisasi-organisasi Islam khususnya Muhammadiyah di sela sikap pemerintah dan hegemoni dipaksakan untuk peradaban Eropa.

Ia dengan cemas menghitung konsekuensi dari propaganda dan kekuatan pendidikan Islam yang bertalian erat dengan perasaan kebangsaan dan semangat kebangkitan Timur di tengah rentetan pertempuran-pertempuran yang menjengkelkan kepenjajahannya (hlm 170-191).

De Islam (H Kraemer, 1938) mengidentifikasi Islam sebagai teka-teki ganda. Sebagai agama dan sebagai objek misionaris. Menyangkut yang pertama mungkin terdengar aneh bagi banyak orang; adapun yang kedua, mungkin tidak terlalu mengejutkan, tegasnya.

Islam sebagai agama adalah misteri karena dikenal sebagai agama yang sederhana, tidak rumit, dan adil. Konturnya sebagai sistem hukum dan doktrin jelas dan sederhana. Beberapa pemikiran sederhana dan besar mendominasi keseluruhan agama ini, yakni tauhid dan hubungan-Nya dengan umat manusia melalui para nabi.

Sebagian besar epigram (panduan) yang dengannya ide-ide dasar ini diungkapkan dalam akidah (Kalimah Syahadatain) Muslim yang terkenal: “Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah”, selama berabad-abad, telah mengembangkan kekuatan perekrutan yang besar untuk Islam di antara umat manusia di seluruh dunia.

Bukan hanya di antara orang-orang yang dianggapnya kurang beradab, kemonotonan besar yang dengannya Islam berhasil menyatakan keyakinannya bagi yang ragu-ragu untuk membuhul kuat pada kesatuan kedaulatan Tuhan dan utusan yang dipilih. Telah berulang kali tampak bagi banyak penyembah agama alam sebagai formulasi yang tak mampu menandingi peradaban universal (Islam) itu.

Semua bentuk kepercayaan rendah itu dibersihkan oleh Islam dari semua peradaban manusia hingga agama ini tampil sebagai persatuan intelektual yang hebat. Semakin intensif seseorang menembus Islam baik secara teoritis maupun praktis, semakin ia merasa terdorong untuk berbicara tentang Islam.

Lalu, apa itu teka-teki Islam? Di sini H Kraemer tak lagi menggunakan objektivitasnya, karena ia hanya mementingkan bagaimana cara mematahkan Islam dan melenyapkannya dari permukaan bumi, apalagi dengan kesempatan dan peluangnya sebagai bagian dari peradaban penjajahan anti kemanusiaan dan penganjur rasisme paling kuat sepanjang sejarah.

Dengan mengutip data yang diabadikan The World’s Classics (hlm 399), H Kraemer berkata bahwa siapa pun yang mengenal Islam lebih dekat dan memiliki sedikit pengetahuan tentang apa sebenarnya kehidupan beragama, akan menemukan bahwa Islam, secara keseluruhan, adalah agama yang dangkal, yang dangkal terletak pada kenyataan bahwa agama ini miskin dalam kandungan agama yang sebenarnya, dan bahwa ia tak begitu mengindahkan masalah-masalah dunia.

Berabad-abad strategi permusuhan atas Islam itu menjadi bagian dari kebijakan politik dunia dan ketika Indonesia merdeka, dukungan moral dan politik tak terbendung hanya dari bangsa-bangsa senasib dalam rajutan kuat yang antara lain terlembagakan melalui Islam (aqidah dan Ibadah, khususnya hajj). Bahkan jika menilik hasil pernjanjian Meja Bundar (1949), sebetulnya mereka (Barat) tetap berkeinginan menjajah Indonesia dengan versi lebih canggih.

Maka kemerdekaan Indonesia 1945 adalah sebuah prahara memalukan bagi Belanda, Eropa dan hampir semua kekuatan politik, ekonomi dan militer yang telah memperagakan kedigdayaan bangsanya pada Perang Dunia II. Semua merasa tak ingin kehilangan Indonesia yang bodoh dan penyembah peradaban Barat. Mereka membagi Indonesia untuk kepentingan masing-masing yang hingga sekarang menjadi faktor yang bertanggung jawab atas kemerdekaan yang nasibnya tak seindah doktrin Trisakti Soekarno (berdaulat politik, berdikari ekonomi dan berkepribadian dalam budaya). 

Jadi selain faktor terlalu lama dijajah bangsa asing dan keabadian tersubordinasi di bawah dikte bangsa, korporasi dan lembaga-lembaga asing, Islam di Indonesia, negara dan pemerintahannya, wajib dibawa bergerak maju agar tak selalu hanya akan sangat perlu menyebut jenis-jenis kejahatan tipikal Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang sarjana Belanda Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan profesor Melayu pertama, yang sekarang menjadi Indonesia (https://id.wikipedia.org/wiki/Christiaan_Snouck_Hurgronje).

Terlebih menghadapi suksesi 2024, Islam Indonesia juga harus memperhitungkan kembali dinamika internal yang dirancang berdasarkan gagasan neo-imperialisme global yang memporakporandakan keluhuran bangsa dan negeri berdaulat berkeadilan yang salah satu ekspresinya ialah ketimpangan.

Sebagaimana diketahui, Bank Dunia mencatat berbagai faktor penyebab ketimpangan ekonomi di Indonesia, mulai dari kesenjangan peluang, konsentrasi kekayaan di segelintir orang, ketimpangan pasar kerja, hingga rapuhnya masyarakat miskin menghadapi guncangan ekonomi (https://katadata.co.id/muhammadridhoi/analisisdata/600ae1cc246d2/ketimpangan-ekonomi-indonesia-ada-di-berbagai-sisi). Keadaan ini tak akan berubah dengan perbanyakan narasi dan seremoni politik yang menyesatkan.

Keterabadaian ketidakadilan akses dan pola pengelolaan sumberdaya di negeri ini telah menorehkan keberlakuan teori kutukan sumberdaya (Richard Auty, 1993). Dalam kasus lain seperti keberadaan kekayaan energi sumberdaya alam minyak bumi, pernyataan Juan Pablo Pérez Alfonso, politikus Venezuela, dengan tepat terbukti sangat akurat ktika berkata “sepuluh tahun dari sekarang, dua puluh tahun dari sekarang, kalian akan melihat: minyak akan menghancurkan kita… Minyak adalah kotoran Iblis” teori kutukan sumberdaya sebagaimana (Jerry Useem, The Devil’s Excrement, Fortune Magazine, 2003). Indonesia telah 77 tahun merdeka, namun tak berolah hak-hak normative yang wajar.

Dalam kata pengantar bukunya Mensen en vrijheid in Indonesië, C.A.O. van Niêmvenhuijzé (1949) memulai dengan sebuah penegasan bahwa ketika Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan plakat bertuliskan ”Satu Dunia atau Tidak Sama Sekali”, sesungguhnya bukan saja multitafsir sejatinya memang harus terjadi. Karena mungkin saja dimaksudkan untuk mengesankan orang-orang bukan tentang keinginan ‘Satu Dunia’, tetapi justru alternatif kebutuhan sangat berbeda.

Kebutuhan sejarah yang benar, spritualitas yang bebas, ekonomi yang demoratis, dan lain-lain menyangkut hasrat kebangsaan, serta mungkin juga kebutuhan strategis atau politik yang secara subjektif sangat berbeda bagi dua pihak yang terus saling berhadapan: bangsa predator dan bangsa korban.

Tetapi dengan asumsi bahwa urgensi masih memungkinkan beberapa refleksi, barangkali berguna untuk memikirkan fakta bahwa PBB telah terus mencoba meyakinkan setiap orang tentang kebutuhan yang tak jelas karena dibungkus untuk menyembunyikan motif neo-imperialisme. Lagi pula, bisa jadi PBB dan seluruh kelembagaan internasional lainnya telah dengan sengaja mengabaikan detail yang diperlukan.

Bahkan mungkin PBB dan seluruh kelembagaan internasional itu tidak akan menjadi pengusaha konstruksi konstitusional pertama di dunia tanpa keberatan dengan prasyarat mematahkan leher dengan detail yang sengaja dilupakan.

Tetapi yang jelas, sekarang ini bukan saat untuk mencetak katalog atau mengumpulkan kutipan dari survei-survei atau pola pengumpulan data yang bertendensi pemangsaan sambil bersandiwara mengatakannya sebagai langkah demokratisasi tak tertangguhkan.

Masa depan Islam di Indonesia menuntut kemampuan untuk umat Islam tampil pada front terdepan mengajarkan kembali Pancasila kepada seluruh komponen bangsa dan mengadvokasi siapa saja yang terus berusaha menyimpangkan hakekat dan sejarahnya. Tugas ini tak dapat dikerjasamakan dengan berbagai kelembagaan negara yang lama mau pun yang diciptakan belakangan.

Mengapa? “Konstruksi keislaman” ajaran Pancasila itu sangat kental, menakutkan bagi anti Indonesia sejati.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSUKoordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan