Membaca Warisan Monumental Lima Gubsu

  • Bagikan

Oleh Dr Eddy Syofian, M.AP

Warisan Monumental Lima Gubsu. Kepemimpinan setiap gubernur tidaklah sama. Latar belakang etnik, pendidikan, setting sejarah, sosial dan budaya, bertaut dengan kiat mengelola pemerintahan

Setiap 15 April Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memperingati hari jadinya yang tahun ini berusia 74 tahun—tetapi masyarakat Sumut tidak banyak yang mengetahuinya. Kegiatan ulang tahun ini hanya seremoni oleh jajaran Pemerintah Provinsi dan DPRD Provinsi Sumut.

Sumut pernah dipimpin 18 gubernur. Profil sebagian pemimpin ini profil tersebar di berbagai tulisan bahkan ada beberapa gubernur ditulis oleh kalangan intelektual maupun kampus. Namun, karya yang dikaji dari perspektif sejarah dan sosial budaya serta warisan yang monumental selama pengabdiannya, masih langka dan belum banyak terungkap di publik.

Penulis mencoba mengisi kelangkaan ini dengan menguraikan secara umum legacy mulai gubernur pertama S.M.Amin Nasution hingga Gubernur kedelapanbelas saat ini Edy Rahmayadi. Kedelapanbelas gubernur tersebut yaitu: SM. Amin, Sarimin Reksodiharjo, Abdul Hakim, Sutan Kumala Pontas, Raja Junjungan Lubis, Eny Karim, Ulung Sitepu, P.R Telaumbanua, Marah Halim, EWP Tambunan, Kaharuddin Nasution, Raja Inal Siregar,Tengku Rizal Nurdin, Rudof M. Pardede, Syamsul Arifin, Gatot Pujo Nugroho, Tengku Erry Nuradi, Edy Rahmayadi

Mewariskan Kearifan

Kepemimpinan setiap gubernur tidaklah sama. Latar belakang etnik, pendidikan, setting sejarah, sosial dan budaya, bertaut dengan kiat mengelola pemerintahan. Namun begitu, dengan adanya beragam sosok gubernur yang berasal dari beragam kelompok etnik, ini mencerminkan masyarakat Sumut menghargai semangat multikultural.

Pluralitas budaya dan semangat multikultural harus diperkuat untuk membangun Sumatera Utara menjadi provinsi yang kuat, adaptif dan lentur terhadap perubahan yang bergerak cepat yang menerjang batas-batas etnik, kultural dan agama.

Jika semangat multikultural tidak disiram dan tidak dirawat dengan baik, modal sosial Sumut akan menjadi goyah. Goyahnya modal sosial masyarakat Sumut memudahkan dan membuka peluang akan terjadinya pergesekan sosial yang mendatangkan ketidakamanan dan ketidaknyamanan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di wilayah ini.

Jika melihat rekam jejak para Gubernur Sumut terutama mulai awal Orde Baru Marah Halim sampai Edy Rahmayadi tidak pernah terjadi gejolak sosial politik yang mengguncang ketahanan masyarakat. Ini disebabkan bekerjanya kearifan setiap gubernur yang menghargai keragaman serta menjunjung tinggi pluralisme etnik. Inilah pelajaran berharga yang dipancarkan oleh sosok para Gubsu.

Legacy 18 Gubsu ?

Kedelapanbelas Gubernur Sumut secara berkesinambungan memerintah Sumut dengan berbagai karekteristik individual dan situasi zaman dia memerintah serta latar belakang budaya dan kehidupannya.

Penulis juga melihat dimensi waktu di masa kemerdekaan, dari dimensi waktu ini kita dapat membagi fase sejarah pemerintahan Gubernur ini di masa masa : Orde Lama (1945 – 1966), Orde Baru (1966 – 1998) dan Orde Reformasi (1998 – sekarang). Dengan melihat berbagai dimensi tersbut, maka setiap gubernur memiliki kiat dan gaya kepemimpinan sendiri dalam mengelola kekuasaannya dan menopang pemerintahannya.

Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada para Gubernur Sumut, kali ini penulis memilih enam gubenur yang memiliki warisan monumental bagi perjalanan Provinsi Sumut. Kelimanya adalah S.M. Amin, Marah Halim, EWP Tambunan, Raja Inal Siregar, dan T. Rizal Nurdin.

Sutan Muhammad Amin (April 1947 – Mei 1948, 18 Juni 1948 – 1 Desember 1948), 25 Oktober 1953 – 13 Maret 1956). GubernurSumut pertama, dikenal sebagai pengacara dan salah satu tokoh di balik peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, di masyarakat Aceh dikenal dengan nama Kroeng Raba. Sedangkan nama di kampung halamannya di Mandailing adalah Sutan Muhammad Amin Nasution.

Dalam dokumen sejarah SM. Amin menjadi Gubernur Sumut tiga kali yaitu [1] Gubernur Muda Sumatera Utara dilantik 14 April 1947 oleh Gubernur Sumatera Mr. Teuku Muhammad Hasan berkedudukan di Pematang Siantar. SM Amin menjabat selama 19 bulan (April 1947 – Mei 1948).

[2] Gubernur Pertama Sumut 1948. Setelah terbitnya UU no.10 tahun 1948 tentang pemerintahan Sumatera yang dibagi dalam tiga Provinsi dan 15 April 1948 SM. Amin resmi menjadi Gubernur Sumatera penuh tidak lagi menjadi status Gubernur Muda Sumut. Pada masa PDRI tahun 1949 SM. Amin diberhentikan oleh Presiden Soekarno.

[3] Gubernur ke 3 Sumut tahun 1952. SM. Amin diangkat kembali sebagai gubernur karena terjadi kegoncangan cukup besar pada kedaulatan Indonesia di Aceh. SM. Amin satu-satunya sosok yang memiliki kekuatan menyelesaikan konflik di Aceh dan bisa berkomunikasi dengan tokoh Aceh seperti Teuku Daud Beureueh dan Hasan Tiro. Beliau sebagai Gubernur Sumatera kedua ini sampai bulan Februari 1956.

Adapun warisan menumental yang ditorehkan SM. Amin antara lain peletak dasar pemerintahan. Beliau juga pejuang dan penyelamat republik di daerah. SM. Amin sebagai sosok yang mampu menjaga kepercayaan rakyat dan membangkitkan semangat rakyat untuk terus membara agar stabilitas pemerintahan dan kepercayaan terhadap NKRI tetap berjalan.

SM. Amin juga dikenal sebagai mediator ulung antara tokoh Aceh dengan pemerintah pusat pada masa konflik Aceh. SM. Amin pada 1949 merangkap Ketua DPRD Sumut. Beliau juga mencetak uang URIPSU pada 1 Maret 1949 dengan nominal Rp250.000 sebagai simbol perjuangan dan kedaulatan RI di Provinsi Sumut.

SM. Amin juga sebagai fasilitator sebagai pembelian pesawat terbang pertama RI atas donasi dari gabungan saudagar daerah Aceh (GASIDA). SM. Amin membangun Gedung Nasional di Jl. Sutomo yang kini tidak terawat. Beliau satu-satunya Gubsu yang dianugerahkan Pahlawan Nasional tahun 2020.

Brigjend TNI (Purn.) Marah Halim Harahap(31 Maret 1967 – 12 Januari 1978). Merupakan Gubsu kesembilan dilahirkan di Tapanuli Selatan 28 Februari 2021. Dilantik ketika situasi politik masih belum stabil sebagai akibat dari Peristiwa G.30S/PKI. Dia membersihkan pemerintahan dari unsur komunis. Setelah keadaan terkendali mantan Kasdam II Bukit Barisan ini memulai pembangunan di Sumut yang beriorentasi peningkatan pembangunan fisik. Di masanya, lewat sepak bola Marah Halim Cup Sumatera Utara dikenal tidak hanya dikancah nasional tetapi juga internasional.

Selama 10 tahun Marah Halim banyak membangun pesanggarahan di kabupaten kota dan membangun messuntuk anak Sumut yang sekolah di Yogyakarta. Juga membangun kantor Perwakilan Sumut di Jakarta untuk membantu para PNS yang melaksanakan tugas di Jakarta.  Di kabupaten kota Marah Halim juga membangun Gedung Olahraga (GOR). Masanya juga dibangun Gedung DPRD SU, Gedung Bina Graha, dan Gedung Juang 45 Jl. Pemuda Medan.

Mayjen TNI (Purn.) Edward Waldemar Pahala Tambunan (12 Januari 1978 – 13 Januari 1983). Lahir di Balige 1927, Gubsu ke-10 menggantikan Marah Halim. Ia terkenal unik, jujur dan disiplin, yang masa itu perilaku aparatur tidak seperti itu, tetapi Tambunan bisa memberikan teladan bagi jajarannya untuk bersikap jujur dan bekerja penuh disiplin. Juga dikenang sosok yang menciptakan salam daerah khas Sumut: Horas…Menjuah-juah…, njuah-juah…, Yahoubu…, Ahoiii…, sebagai simbol multikultural.

Ia juga dikenal penggagas pesta budaya seperti Pesta Budaya Melayu, Pesta Rondang Bintang, Pesta Yahoubu, Pesta Menjuah-Juah, dan Pesta Danau Toba.  Tambunan mewariskan pengembangan pola PIR-Inti, memberikan lahan pertanian untuk kebun percontohan kepada Universitas Sumatera Utara, mengembangkan program transmigrasi lokal di desa Manduamas Kab. Tapanuli Tengah.

Letjen TNI (Purn.) Dr. (Hc). Raja Inal Siregar  (13 Juni 1988 – 15 Juni 1998) Gubsu keduabelas. Mantan Pangdam III Siliwangi ini di usia 50 tahun menjadi Gubsu 10 tahun.  Warisannya yang menonjol adalah membangun kampung halaman lewat konsep Gerakan Pembangunan Desa Terpadu – Marsipature Hutana Be di Desa Tanjung Ibus Kab. Langkat 1 November 1989.

Marsipature Hutana Be adalah konsep pembangunan regional yang menjadikan putra daerah di perantauan sebagai garda terdepan daerah–sekaligus mendorong kesinambungan pembangunan Pantai Barat yang tertinggal jauh dibanding Pantai Timur, seperti infrasuktur. Kesenjangan itu dijawab Raja Inal dengan konsep Martabe – memanggil perantau sukses membangun kampungnya (Waspada 24 Februari 2013)

Atas prestasi ini Raja Inal dianugerahkan Doktor (HC) dari USU. Alumni Akademi Militer 1961 ini juga mengembangkan kualitas pendidikan yang sejajar antara di Kota Besar (Medan) dan kota kecil melalui sekolah unggul plus, seperti SMU Plus Balige, SMU Pus Matauli Sibolga, SMU Plus Sipirok, SMU Plus Del di Loguboti, SMU Plus di Raya Simalungun yang dibangun perantau sukses.

Ia tercatat Gubsu paling sering berkunjung ke kabupaten kota hingga ke desa-desa terutama di Pantai Barat dan Kepulauan Nias. Raja Inal juga mengubah skala proritas pembangunan dengan menempatkan sektor industri, pertanian, dan pariwisata serta memberi porsi peran swasta 60% dan peran pemerintah hanya 40%.

Mayjen TNI (Purn.) T. Rizal Nurdin  (15 Juni 1998 – 5 September 2005) Gubsu ketigabelasdikenal rendah hati, jujur, cerdas dan tidak berjarak dengan masyarakat, lemah lembut, santun, dan selalu mempertimbangkan tindakan dan keputusan.

Dia memiliki karisma terutama kemampuannya mengelola konflik menjadi rukun dan menyatu. Dia tidak alergi kritik dan terbuka menerima semua lapisan. Awal kepemimpinannya situasi negara lagi tidak kondusif karena baru saja lahir reformasi, sehingga kantor Gubsu hampir setiap hari didemonstrasi.

Rizal Nurdin mewariskan banyak perubahan sistem guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and good goverment) salah satu terobosannya menata pola karir ASN. Sistem yang diberlakukannya antara lain tes psikologi, sosiometri. Dalam mengakomodir kekuatan etnik dan agama pada jabatan di Pemrovsu, tidak boleh satu etnik dan satu agama yang merasa dipinggirkan, dilupakan, dan ditinggalkan.

Rizal juga membangun tata kehidupan masyarakat multietnik dan agama, bisa terjaga kondusivitasnya dengan melahirkan forum strategis seperti: Forum Komunikasi Pemuka Agama (sekarang FKUB), Forum Komunikasi Antar Lintas Adat (FORTALA), dan Forum Lintas Pemuda.

Rizal membuka akses penerbangan di Pantai Barat dan Kepulauan Nias dengan memberi subsidi kepada jasa penerbangan agar bisa menerbangkan pesawatnya ke wilayah pantai Barat, seperti lapangan terbang Aekodang – Tapanuli Selatan, FL Tobing – Sibolga, Gunung Sitoli – Nias, dan penerbangan perintis di pulau-pulau batu Kab. Nias Selatan.

Masa kepemimpinannya tidak tuntas 10 tahun, pada 5 September 2005 Rizal Nurdin wafat dalam musibah pesawat Mandala. Kepergiannya diantar ribuan masyarakat Sumut hingga Presiden SBY berkenan menjadi Irup melepas jasad almarhum di Masjdi Raya Medan.

Penutup

Pertama, setiap gubernur menghargai dan mengakui keberagaman budaya dan pluralitas etnik sehingga ini menjadi modal utama dalam mengelola pemerintahan. Kedua, para gubernur selalu menjaga spirit multikultural agar Sumut terhindar konflik etnik dan agama di masa kini dan mendatang.

Ketiga, SM. Amin satu-satunya gubernur Pahlawan Nasional, namun Pemrovsu dan kabupaten kota tidak satupun menorehkan namanya sebagai nama jalan provinsi/kabupaten kota atau nama bangunan sebagai wujud penghormatan kepadanya.  Keempat, ada kecendrungan para gubernur silih berganti tidak banyak melanjutkan warisan yang baik pendahulunya, terkesan mengelamhitamkan masa lalu padahal banyak legacy yang relevan dilanjutkan.

Penulis adalah Alumni S3 Studi Pembangunan FISIP USU, Pernah Menjabat Kabid Humas Pimpinan, Kadis Kominfo pada Lima Gubernur, dan Kaban Kesbangpol Provsu.

  • Bagikan