Menakar Wibawa Hukum Bagi Masyarakat


COBA pertanyakan secara ringkas, seberapa berpengaruh sebuah aturan bagi masyarakat, baik secara individu, maupun kelompok. Apakah masyrakat berhasil melihat produk hukum sebagai aturan mengikat dan berkelanjutan, atau masih memahami pemberlakuan hukum secara pragmatis dan kasuistik?

Ikatan kuat keharusan patuh terhadap kepatuhan hukum secara formal, membuat hukum berada di wilayah keharusan-kewajiban. Pergerakan hukum sebagai kebijakan politik pemerintahan, membuat isu dan fatwa hukum kehilangan sakralitas di tengah-tengah realitas. Inilah mengapa pemerintah setengah hati mengeluarkan kebijakan sebagai hukum, dan masyarakat mulai apatis terhadap kebijakan juga sebagai hukum.

Bagaimana sebenarnya posisi hukum di mata masyarakat. Meskipun dalam pembelajaran hukum kita disibukkan dengan pemaknaan hukum secara formalistik, dan pemaknaan hukum secara subtantif. Namun, negara yang menganut asas legal formal, akan menjadikan hukum sebagai ‘pedang sakti’ kebenaran dan menjadi otoritas kebenaran.

Sehingga, selain hukum, maka semua salah. (al ashlu fi al-asy yaai al tahrim). Ke-kakuan pemahaman hukum menjadikan gerak bangsa ini sangat terpaku pada sesuatu yang tertulis. Kita dihadapkan pada suasana konservatisme absolut yang berkepanjangan.

Padahal, masyarakat sudah mulai menggeser paradigma pemahaman hukumnya pada wilayah yang sangat elastis. Masyarakat menginginkan hukum yang hidup dalam kehidupan ini, bukan hukum yang mengekang kehidupan.

Pergeseran paradigma positivis ke arah utilitarian sudah sangat terasa. Masyarakat sudah mulai acuh terhadap hukum. Dan masyarakat memaknai hukum sebagai kemanfaatan.

Kesannya sangat pragmatis, tapi pahami saja, pragmatisme masyarakat itu muncul sebab perlakuan pemerintah terhadap rakyatnya yang juga pragmatis.

Maka, bijaklah kiranya kita mulai menggeser pemaknaan hukum dari wilayah positivisme formal menuju pluralisme. Menjadikan state law sebagai living law, sehingga aplikasi hukum idealita bukan hanya di buku (law in books), namun sudah menjadi law in action.

Hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat orientasinya adalah kepentingan. Masyarakat mulai meninggalkan suasana filosofis hukum tentang mengapa sesuatu harus terjadi, tapi masyarakat sudah masuk pada fase pertanyaan mengapa itu tidak terjadi. Pergeseran inilah yang menyebabkan masyarakat menyimpulkan hukum sebagai kebenaran melalui kemanfaatan.


Hukum Untuk yang Belajar Hukum


Hukum sebagai panglima harus dimaknai bahwa setiap penyelesaian permasalahan harus ada upaya peradilan. Bisa sacara formal bisa juga non formal. Kita mengenal lembaga arbitrase, kita mengenal upaya damai, mediasi dan lainnya. Dan itu juga merupakan lembaga peradilan, penghakiman.

Dalam hal ini ada tiga hal yang penting untuk dilakukan para pembelajar hukum masa depan, terkait dengan pemaknaan hukum tersebut.

Pertama, para pembelajar hukum juga disarankan belajar sosiologi. Hal ini untuk mengatakan integensia hukum, dan psikologi kemasyarakatan. Sehingga hukum bukan hanya lahir sebagai ikatan kuat, tapi menjadi ikatan yang menguatkan sebab hukum bersatu dengan kebutuhan.

Hal ini nanti akan meluaskan pandangan dari positvisme formal menuju pluralisme. Para pembuat hukum dan pembelajar hukum punya pendekatan sosial yang kuat. Sebab, selama hukum jauh dari kepentingan sosial.

Maka hukum akan kering dengan kepatuhan. Ini menjadi bias modernisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kewibawaan hukum bukan lagi dipandang secara tekstual. Tapi kewibawaan hukum bermain pada tanggungjawab hukum terhadap realitas sosial.

Kedua, peralihan pemikiran hukum dari deduktif reasoning, menuju induktif reasoning. Bukan membuat hukum secara deduktif (kewibawaan) saja, tapi melahirkan hukum yang sosiologis.

Berdasarkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Perlu kita pahami bahwa kepentingan masyarakat bukan hanya kebutuhan pangan yang materialistik saja, tapi yang dimaksud kepentingan masyarakat menyangkut kemudahan, pengayoman, perlindungan, otoritas keberpihakan, kemanfaatan. Sehingga afiliasi positif masyarakat kembali hidup untuk memandang dan mematuhi hukum sebagai kehidupan, bukan lagi sebagai aturan.

Ketiga, berupaya keluar dari melihat hukum dari satu konteks, menuju hukum yang bisa dilihat dari berbagai konteks.

Go from disiplinary to transdisiplinary. Ketika satu hukum lahir, bukan hanya bermanfaat untuk satu hal, namun mampu menjadi bias baik pada beberapa hal lainnya.

Kebijakan pemerintah tentang ekonomi, bukan hanya membuat masyarakat mudah secara ekonomi, namun mudah pada transportasi, akomodasi, keamanan, kenyamanan dan lainnya.

Keluar dari zona birokrasi kaku, menuju birokrasi elastis. Bukan tanpa birokrasi, tapi birokrasi yang tidak mengabaikan kepentingan dan keutamaan.

Tiga ini setidaknya menjadi dasar upaya pergesaran pemaknaan hukum yang kaku menjau elastisitas hukum. Perkembangan zaman ini membuat pergeseran pemaknaan hukum sebagai kewibawaan menjadi hukum sebagai kebutuhan.

Jika hukum sebagai kebutuhan, maka hukum harus dekat dengan kepentingan masyarakat. Dan kedekatan itu pengkajiannya sangat sosiologis.

Hukum bukan hanya bermakna pada satu rumah, tapi adanya hukum membuat kemanfaatan pada satu komunitas. Hukum bukan hanya bernilai pada satu masalah, tapi kehadiran hukum menjadi makna terhadap penyelesaian masalah lainnya.

Semua orang yang berkepentingan terhadap politik akan menjadikan hukum sebagai pijakan dan janji. Tapi masyarakat sudah mulai sadar, pragmatisme politik menjadi bias terhadap pragmatisme hukum, sehingga masyarakat juga sangat pragmatis memandang hukum.

Ini adalah buah dari pohon yang ditanam salah pupuk, diharapkan menghasilkan buah yang manis, tapi hanya sekedar menghasilkan buah yang banyak, belum tentu manis.

Banyaknya hukum di Indonesia ini, belum membuahkan sesuatu yang baik pada masyarakat, sehingga masyarakat mulai meninggalkan hukum yang banyak itu, karena rasanya tidak manis. Semoga bermanfaat.

Penulis adalah Ka. Pus Pengabdian Kepada Masyarakat UIN SU.