Mencari Alasan Mendirikan IDI Tandingan

  • Bagikan

Oleh dr Abidinsyah Siregar, DHSM, MBA, MKes

Mencari alasan mendirikan IDI tandingan. Dokter atau dokter gigi yang tidak menjalankan profesinya sejalan dengan kompetensi sesungguhnya bukan berhadapan dengan organisasi profesi seperti IDI atau PDGI, tetapi dalam narasi UU No.29 tahun 2004 adalah “melawan” negara dan dapat terancam pasal pidana

Publik tergelitik dengan pernyataan spontan follower Medsos dan bahkan tokoh yang mewacanakan berdirinya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) baru. Wacana itu muncul karena seorang dokter dikenai Sanksi Organisatoris berupa pemecatan sebagai anggota IDI. Tentu akibatnya, saat nanti sang dokter mengajukan perpanjangan Surat Izin Praktik (SIP) yang diterbitkan pemerintah melalui dinas kesehatan tidak dapatdiberikan karena tidak memiliki rekomendasi IDI setempat.


Melihat situasi itu, publik yang “belum paham” mewacanakan macam-macam, termasuk mendorong pembentukan IDI-lain–dengan harapan lewat IDI-lain itu kebutuhan sesaat dapat dipenuhi. Mungkin sudah terbayang besok sudah bisa berdiri Ikatan Dokter Batak Indonesia (IDBI), Ikatan Dokter Makassar Indonesia (IDMI), Ikatan Dokter Sunda Indonesia (IDSI), dan lain-lain, bahkan mungkin ada yang semangat memberi nama Ikatan Dokter Bukan IDI Indonesia (IDBII).


Sering gaduhnya dunia keorganisasian telah membuat sebagian masyarakat “men-generalisasi” seperti gampangannya mendirikan organisasi baru. Banyak organisasi kemasyarakatan, tiba-tiba menjadi dua atau tiga organisasi baru, dan direspons dengan sedikit riak kemudian diam dan diam selamanya. Demikian pula partai politik, sebesar apapun partai itu bisa beranak-pinak dan minta pengakuan kedudukan yang sama, bisa.

UU Tentang Praktik Kedokteran
Jauh sebelum adanya Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang praktik Kedokteran tahun 2004, organisasi profesi dokter yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah eksis dan efektif menjaga etika dan kompetensi dokter di Indonesia, termasuk Dokter lulusan asing. Pengaturan bagi dokter memang tidak mudah karena banyak kepentingan dan keinginan sang dokter, di samping adanya kepentingan pengusaha fasilitas kesehatan juga kepentingan pabrik farmasi/obat yang berlomba mencapai target penjualannya. 

Namun juga tidak pula sulit untuk diatur, karena sejak dini di bangku kuliah para mahasiswa kedokteran sudah mendapat mata ajaran etika dan hukum kesehatan dan kedokteran. Para pengajar umumnya guru besar dari fakultas hukum. Pemahaman etika dan hukum menjadi semakin penting saat fase kepanitraan klinik atau Koas (ko-asisten). 

Koas adalah tahapan pendidikan kedokteran yang paling berat dan kritis. Dalam fase ini, sang calon dokter menjalani praktik di rumah sakit. Banyak merasa fase ini menegangkan, emosional, sedih, merasa bodoh atau dibodohi. Tidak jarang di hadapan pasien “direndahkan” oleh dokter klinik karena kelalaian kecil yang dilakukan Koas.

Semangat dan pilihan profesi, mengendalikan rasa dan emosi sang Koasyang menyadari semua itu untuk membuatnya terasah dan tetap waspada untuk semua kemungkinan buruk terhadap pasien. Karena prinsip dasar pelayanan kedokteran termasuk melindungi pasien. 

Tidak jarang ada Koas diskors karena perilaku buruk terhadap pasiennya. Itupun belum cukup untuk dinyatakan selesai pendidikan formal Ilmu kedokterannya, sebelum disumpah. Sumpah dokter sudah berlangsung sejak 400 tahun sebelum Masehi, dimana Hippocrates, bapak para dokter, memberlakukan pengangkatan sumpah karena rentannya profesi dokter di satu sisi dan tingginya tuntutan untuk menjadikan dokter sebagai profesi yang mulia. 

Indonesia baru mulai merumuskan RUU tentang Praktik Kedokteran sekitar tahun 1999-2000. Saat itu Menteri Kesehatan adalah Profesor Farid.A.Moeloek. Tim penyusun naskah bekerja dan mencari referensi hingga ke beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan beberapa negara Asia. Semua negara punya sistem yang berat dan dipandang belum saatnya untuk diterapkan di Indonesia.

Percepatan proses pembahasan bersama pihak DPR RI setelah menyadari bahwa banyak negara sudah punya regulasi praktik dokter. Bahkan Banglades sudah mendapat sertifikasi internasional. Tahun 2000 Presiden BJ Habibie menerbitkan Ampres atas 5 RUU yang diajukan kepada DPR RI yang meliputi praktik okter (yang kemudian digabungkan dengan dokter gigi), farmasi, bidan dan perawat.

4 Tahun kemudian pada 6 Oktober 2004 ditandatangani Presiden RI Megawati Soekarnoputri, barulah sah dan diundangkan UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang berisi 12 Bab dan 88 Pasal. Di akhir Pasal 88 tertulis “Agar setiap orang mengetahuinya”. UU ini menandai era baru praktik kedokteran bagi dokter dan dokter gigi dengan pengayaan dan pengawalan atas kompetensi dan tanggangjawab medik untuk memberikan pelayanan yang terbaik berdasar standar dan melindungi pasien. 

Peran Organisasi Profesi
Dalam narasi Penjelasan atas UU No.29 Tahun 2004, antara lain pada alinea ke-6 dan 7 tertulis : Berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum. 

Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran gigi dirasakan belum memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan pemerintah, sedangkan porsi profesi masih sangat kurang.

Selanjutnya alinea ke-10 Penjelasan UU No.29 tahun 2004, tertulis : Dengan demikian, dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran selain tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku, juga harus menaati ketentuan kode etik yang disusun oleh organisasi profesi dan didasarkan pada disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Melihat kepada proses kesejarahan, latar belakang dan penyusunan UU ini, bukan sekedar bicara hukum tetapi yang utama adalah bagaimana setiap dokter dan dokter gigi utuh integritasnya dengan kompetensi yang dimiliki. 

Organisasi profesi dokter lintas negara adalah World Medical Association (WMA), suatu konfederasi internasional yang independen, beranggotakan asosiasi profesi medis yang juga independen. WMA didirikan 18 September 1947 hingga kini beranggotakan dokter dari seluruh dunia yang terhimpun dalam 113 asosiasi di tingkat nasional. Di Indonesia adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang berdiri tahun 1950.

WMA memfasilitasi forum bagi asosiasi anggota untuk dapat berkomunikasi secara bebas, bekerjasama secara aktif, dan mencapai standar etik medis dan kompetensi profesi yang tinggi, untuk membantu meningkatkan kebebasan profesi bagi dokter di seluruh dunia. Forum WMA bertujuan memfasilitasi penanganan pasien yang berkualitas dalam lingkungan yang sehat, yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup bagi seluruh manusia di dunia.

Tantangan Peningkatan Profesi
Mendirikan IDI tandingan. Pengalaman penulis ketika menjadi Sekretaris Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tahun 2006-2008, hingga sekarang selalu dihubungi oleh banyak dokter juga orangtua dokter yang merasa kecewa dan keberatan. Misalnya, karena sang anak sudah berulang kali mengikuti uji kompetensi dokter (UKDI) namun gagal.

Sang orangtua merasa anaknya bagaikan dipersulit menjadi dokter untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan KKI, sebagai persyaratan awal setiap dokter untuk berpraktik. Sebagian dengan emosional mengatakan bahwa Indonesia masih kekurangan dokter. Ada lagi mengatakan kami membiayai pendidikan anak kami sudah sampai ratusan juta dan macam-macam kata-kata sumpah serapah.

Penulis hanya menjawab bahwa itulah konsekuensi menjadi dokter tak cukup hanya pengetahuan atau kognitif semata. Karena di dalam penilaian juga dinilai skill atau keterampilan serta etika atau pemahaman terhadap berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian setiap dokter apabila sudah memiliki STR, maka ia sudah memiliki keseluruhan apa yang dimaksud dengan kompetensi yaitu pengetahuan yang utuh dan mutakhir, keterampilan yang terasah dan cepat dalam bertindak, serta etika yang terpuji. 

Itulah yang menjadikan pekerjaan setiap dokter boleh dikatakan sebagai sebuah profesi yang mulia. Dokter atau dokter gigi yang tidak menjalankan profesinya sejalan dengan kompetensi yang dimiliki dan diakui, sesungguhnya bukan berhadapan dengan organisasi profesi seperti IDI bagi dokter atau PDGI bagi dokter gigi, tetapi dalam narasi UU No.29 tahun 2004 adalah “melawan” negara dan dapat terancam pasal pidana. 

Organisasi Profesi (IDI dan PDGI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Kolegiun Keilmuan dan semua Perangkat yang tersebut dalam UU adalah bekerja atas nama negara dan Hak Azasi Manusia yang diamanatkan UUD 1945.

Bisakah Mendirikan IDI Lain?

Mudah-mudahan penjelasan sederhana ini bisa membantu menyegarkan wawasan kita tentang makna organisasi profesi di dunia kedokteran, yang alirannya bukan sektarian, politis, kedaerahan bahkan keagamaan.  Profesi dokter dan dokter gigi, lintas semua interest dan komitmennya tunggal untuk keselamatan dan perlindungan kepada pasien. 

Dalam konteks itu, dunia kedokteran tidak menolerir kesalahan sekecil apapun, sekalipun sang dokter tidak menjanjikan kesembuhan bagi pasiennya, tetapi berkewajiban memberikan pelayanan kedokteran dengan sebaik-baiknya sesuai standar yang ditetapkan profesi sejenis dan telah ditetapkan KKI atas nama UU RI. 

Penulis adalah Mantan Sekretaris KKI 2006 -2008, Mantan Ketua IDI Cabang Medan 2003-2005, Mantan Ketua PB IDI 2006-2009,Majelis Pakar PB IDI.

  • Bagikan