Meneladani Nabi Menyikapi Tradisi

  • Bagikan

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid (QS. al-A`râf [7]: 31)

Meneladani Nabi, menyikapi tradisi. Islam itu asyik dan menyenangkan. Ia mudah dan membahagiakan. Tak hanya perihal aktivitas keseharian, dalam ibadah pun ada kemudahan. Kala musafir bepergian, kemudahan dengan jamak dan qasar. Kala sakit tak tertahankan, puasa pun boleh tak dilakukan, asal diganti kemudian.

Itu karena, ajarannya dibawa Nabi rahmatan lil-`âlamîn. Ia teladan di kehidupan. Dipuji Allah bukan karena wajahnya yang tampan rupawan. Ia dipuji karena akhlak mulia yang ditebarkan. Ia Nabi yang membawa kebenaran dan kebahagiaan. Nabi Muhammad saw., yang bergelar Thâhâ dan Yâsin.

Kala bersama Tuhan, ibadahnya khusyuk penuh penghayatan. Kala bersama istri penuh kasih sayang dan kelembutan. Kala bersama sahabat, wajahnya ceria penuh senyuman dan tak pernah menyalahkan. Kala bersama pembenci, ia sabar menahan segala cacian, asal jangan agamanya dihinakan.

Ia diutus agar dijadikan teladan. Bukan hanya perihal ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji, tapi juga perihal keseharian dan pergaulan.

Nabi Muhammad SAW dalam segala perbuatannya selalu dibimbing wahyu kebenaran. Kala ditanya persoalan, wahyu datang menerangkan. Kala gundah dan sedih, wahyu hadir menghibur dan menenangkan. Kala seorang buta, `Abdullâh bin Ummî Maktûm bertanya, wahyu pun turun mengingatkan.

Kini, ramai orang mengaku telah meneladani dan mengikut sunah Nabi SAW. Tapi lisannya suka menyalahkan, bahkan membi’dahkan, mensyirikan dan mengafirkan saudaranya seiman. Suaranya lantang penuh keangkuhan.

Ia salahkan orang dengan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadis yang ditafsirnya sesuai keinginan. Tahlilan dikatakan tradisi Hindu, maulid bi’dah, doa dan zikir bersama kesia-siaan. Azan Jumat dua kali syirik dan kemungkaran. Segala amal dan tradisi umat Islam disalahkan, dengan alasan tak pernah Nabi contohkan.

Dalam menyikapi tradisi, pada masa itu, Nabi SAW hidup dalam lingkungan jahiliyah yang penuh kebodohan. Nabi SAW memiliki tiga sikap yang bijaksana untuk diamalkan. Tiga sikap itu berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis.

Pertama, Nabi SAW mengadopsi dan menguatkan tradisi jahiliyah, seperti menghormati tamu dan mengamalkan puasa `Âsyûrâ’ yang Quraisy lakukan. Misal pertama, dalam kitab Sîrah an-Nabawiyyah, menyebutkan, tradisi jahiliyah sangat baik dalam menjamu/menghormati tamu undangan.

Nabi SAW pun mengadopsi tradisi itu, lalu dikuatkan. Nabi bersabda dalam riwayat al-Bukhârî dan Muslim “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah tamunya dimuliakan”.

Misal kedua, al-Bukhârî dari riwayat `Âisyah, menyebutkan, orang Quraisy terbiasa puasa 10 Muharam (`Âsyûrâ’). Melihat itu, Nabi pun mengadopsinya dan menguatkan, agar umat Islam juga melakukan.

Kedua, Nabi SAW mengadopsi tradisi jahiliyah dengan melakukan modifikasi berkaitan tata cara pelaksanaan, seperti dalam perihal tawaf haji dan akikah untuk anak yang dilahirkan.

Misal pertama, Imam asy-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl mengutip riwayat Imam Muslim, menyebutkan, masa jahiliyah tawaf tanpa busana pakaian. Karena itu, turun surah al-A`râf [7]: 31, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid”.

Misal kedua, riwayat Abû Dâud menyebutkan tradisi jahiliah, apabila anak laki-laki lahir, mereka menyembelih satu ekor kambing dan melumuri darahnya ke kepala bayi. Setelah datang Islam, Nabi SAW memerintahkan akikah menyembelih seekor kambing dan mencukur rambut bayi serta melumurinya dengan minyak wangi (za`farân).

Ketiga, Nabi SAW menolak tradisi dengan santun dan perlahan, seperti tradisi jahiliyah yang suka minum khamar yang memabukan. Perihal ini, Al-Qur’an tidak serta-merta mengharamkan. Ada tiga proses yang dilakukannya sebelum menghukumkan. Nabi pun ditugaskan menyampaikan wahyu yang diturunkan.

Pertama, melalui QS. al-Baqarah [2]: 219, disampaikan “di khamar ada dosa besar dan ada manfaatnya juga bagi manusia”. Kedua, melalui QS. an-Nisâ’ [4]: 43: “Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. Ketiga, melalui al-Mâ’idah [5]: 90: “Khamar adalah termasuk perbuatan setan”.

Dari penjelasan di atas, nyatalah bahwa “Nabi tidak anti-tradisi” selama tradisi tadi baik dan mengandung maslahat untuk ibadah dan kehidupan. Apabila tradisi itu baik dan tidak bertentangan dengan fitrah Islam, maka Nabi SAW langsung adopsi dan kuatkan.

Bila tradisi tadi kurang baik, Nabi SAW modifikasi agar menjadi baik, lalu dijadikan syariat yang diamalkan. Tapi bilamana tradisi tadi tidak baik, Nabi menolak, tapi penolakannya penuh kesantunan, tidak serta-merta langsung mengharamkan.

(Alumni PTKU MUI SU & Mahasiswa PEDI S2 UIN SU)

  • Bagikan