Politik Data Survei Politik

  • Bagikan
Politik Data Survei Politik

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Semua figur yang berniat maju Pilkada dan Pilpres 2024 sebetulnya memiliki tim survei sendiri yang hasil-hasilnya tidak untuk diketahui khalayak, karena dimaksudkan sebagai dasar rasional penyusunan strategi pemenangan

Politik data survei politik. Tragedi kebertuanan berbasis kepentingan adhock, semisal transaksi ekonomi, sangat bertentangan dengan integritas yang seharusnya ditegakkan dalam setiap perencanaan dan penyelenggaraan urusan halayak yang menagih kemandirian penuh.

Tetapi integritas itu acap cedera. Selain mengingkari keadilan, praktik dan kelaziman ini menyepelekan agenda demokratisasi.

Pikiran skeptis itu muncul sebagai respon ketika akhir pekan lalu seorang jurnalis menyodorkan beberapa pertanyaan sekaitan hasil sebuah survei tentang suksesi lokal untuk ditanggapi.

Meski hasil survei juga mencakup data popularitas dan elektabilitas figur-figur untuk Pemilihan Presiden (Pilpres), namun sangat terkesan pengarusutamaanya pada data figur-figur untuk Pilgubsu 2024.

Karena itu jurnalis membatasi permintaan tanggapan hanya menyangkut 3 (tiga) Paslon unggulan survei (Bobby Nasution, Edy Rahmayadi, Musa Rajekshah).

Keberketerusan ketiga figur hingga hari pemungutan suara (Nopember 2024), dan hal-hal yang perlu dilakukan ke depan, ditempatkan sebagai pertanyaan terakhir oleh jurnalis.

Memeriksa Orientasi Survei

Masyarakat literasi rendah akan sangat terpengaruh hasil-hasil survei politik berfokus suksesi, kandidasi dan deskripsi amat sederhana atas popularitas dan elektabilitas.

Sedangkan warga literasi tinggi akan selalu menyorot aspek metodologi, rasionalitas kesimpulan dan pesan (tersembunyi) survei. Tentu saja, uang siapa yang digunakan untuk sebuah survei dan kepentingan publikasinya tak luput dari sorotan.

Karena itu kalangan literasi tinggi akan kritis membedakan informasi berkategori “tak penting dan tak ilmiah” dan “penting dan ilmiah”.

Bahwa setelah menikmati panen panjang dalam ranah political marketing demokrasi langsung, sebetulnya sudah sangat terasa menghadirkan tinjauan kritis atas peran lembaga survei untuk pembangunan.

Menyamankan diri dalam arena khas kontestasi belaka dan atau glorifikasi figur dan institusi tertentu sangat menjanjikan reward material, meski klausul moral akademik dapat terkorbankan.

Sangat relevan menstir beberapa contoh. Hingga 100 hari pertama kepemimpinan Listiyo Sigit Prabowo kepercayaan publik meningkat tinggi (86,5 %) kepada Polri (https://news.detik.com/berita/d-5592620/kapolri-kepercayaan-publik-ke-polri-versi-survei-alvara-865-persen).

Banyak data survei yang kerap terasa lemah akurasi dalam mendeskripsikan kenyataan sosial yang dirasakan halayak. Survei dapat menjadi semacam jimat peradaban demokrasi yang diposisikan sebagai perangkat aritmatika politik.

Menjelang hari Bhayangkara 76 diklaim 84,6% masyarakat puas atas pelayanan Polri terutama karena peningkatan moderenisasi pelayanan yang berdampak transparansi (https://nasional.sindonews.com/read/807431/14/survei-lemkapi-846-masyarakat-puas-dengan-pelayanan-polri-1656043576).

Belakangan data itu terasa paradoks, antara lain mengingat terbunuhnya Brigadir Joshua Hutabarat (dan rentetan peristiwa lain sesudahnya) justru terjadi hampir bersamaan dengan periode survei.

Sangat terbuka memunculkan dugaan bahwa peristiwa yang mencoreng institusi Polri itu hanyalah puncak Gunung Es dari gambaran living reality lama yang, secara sengaja atau tidak, luput dari pencermatan survei.

Tingkat keterbukaan dan aroma represi selalu mempersempit peluang ekspose data seperti itu meski oleh institusi pengawasan bermandat undang-undang. Kinerja pelayanan publik birokrasi pemerintahan Jokowi-JK dipersepsikan membaik.

Sedangkan pada saat bersamaan tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintahan menurun. Data tingkat kepuasan yang dipotretkah yang bias atau data pelayanan publik pemerintahan, atau keduanya?

(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151103142600-32-89161/survei-kepuasan-publik-terhadap-kinerja-pemerintahan-merosot).

Hasil survei lain (Juli 2021) mengklaim mayoritas masyarakat puas kinerja pemerintah pusat (62,24 %). Pada saat bersamaan terdapat 3 hal paling dikeluhkan yakni penanganan Covid-19, harga kebutuhan pokok, dan lapangan pekerjaan (https://www.republika.co.id/berita/qxpuqt428/survei-624-persen-masyarakat-puas-kinerja-pemerintah).

Survei lainnya (11-17 Agustus 2022) yakin 65 % masyarakat puas atas kinerja pemerintah terutama karena kondisi ekonomi dan penegakan hukum. Padahal rakyat merasakan kondisi memburuk.

(Survei Indikator Politik: 65% Masyarakat Puas Kinerja Pemerintah).

Survei Indikator Politik: 65% Masyarakat Puas Kinerja PemerintahSebagian besar masyarakat Indonesia menyatakan puas terhadap kinerja pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden J…

Mungkin banyak survei tak diniatkan menelisik permasalahan yang sesungguhnya, padahal justru eksplorasi seperti itu sangat diperlukan untuk pencarian solusi. Lembaga survei terkesan rapih membungkus permasalahan, diduga untuk tujuan glorifikasi belaka.

Jika lembaga-lembaga survei dapat diajak bekerjasama mempercepat demokratisasi substantif demi kesejahteraan, maka diperlukan perubahan radikal. Antara lain menggeser orientasi dari kompetisi dan glorifikasi figur dan rezim ke elaborasi peta permasalahan pembangunan.

Rivalitas Dalam Pilgubsu

Sah-sah saja lembaga survei tertentu memproyeksikan 3 paslon Pilgubsu sebagaimana ditegaskan jurnalis. Tetapi membangun peta persaingan hanya membubuhinya dengan ketiga nama sesuai hasil survei (Bobby Nasution, Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah) kemungkinan telah lebih berpihak pada niat mempersembahkan karpet merah bagi Paslon keempat.

Kecuali ketiga figur ini mampu menutup peluang figur lain dengan membagi habis semua partai ke kubu masing-masing. Peta itu juga tak cukup realistis karena partai-partai pengusung paslon tunduk pada hasil pemilu yang ditetapkan 27 Juni-14 Juli 2024.

Selain itu, terpaan atas perubahan peta politik nasional sekaitan rivalitas suksesi 2024, terutama rivalitas Pilpres yang sudah terjadi lebih awal, pada akhirnya akan menghasilkan peta baru, tak terkecuali di daerah.

Peta baru juga akan mengindikasikan proses kemerosotan wibawa politik Joko Widodo seiring perpecahan koalisi serta kemungkinan dampak solusi kontroversi dua kader di internal PDI Perjuangan dalam kaitan Pilpres 2024.

Meski dilaksanakan pada waktu yang berbeda, namun pilkada tidak bisa dengan mudah dilepas dari ekses Pilpres dan Pemilu Legislatif. Peluang mereduksi mengandalkan kekuatan figuritas Paslon memang dapat dicoba, walau tak ada jaminan keberhasilan menyatukan aneka segmen politik yang terlibat interaksi antagonistik.

Atas dasar peta keterbelahan politik itu, baik partai maupun segmen-segmen politik dan figur yang dicalonkan dalam Pilgubsu akan menemukan dirinya masing-masing dalam posisi terlabelkan (labelled) oleh sesama. Meski label tidak selalu menggambarkan realitas sosial, namun persepsi yang hidup tidak selalu bisa diformulasi secepat diperlukan untuk kepentingan Pilgubsu.

Mereduksi perbedaan arah dukungan konstituen antara Pilpres dan Pilkada, tidak mudah. Kesulitan serius muncul jika profil Paslon, profil politik Presiden dan partai pilihan tidak cukup serasi dalam batin pemilih dalam arti tidak saja karena komposisi koalisi pendukung, tetapi juga orientasi nilai di tengah pembelahan politik. Semakin besar perbedaan itu menyebabkan tingkat kesulitan yang juga semakin besar dalam memenangkan Paslon.

Saran Untuk Figur Unggulan Survei

Untuk derajat capaian demokrasi Indonesia urgensi narasi argumentatif yang terhubung kenyataan sosial tampaknya belum begitu menonjol sebagai kebutuhan perhelatan politik Pemilu. Kerja-kerja packeging dan imaging terasa sebagai kebutuhan menonjol, selain distribusi “buah tangan” berbiaya besar.

Di antara 3 figur unggulan survei hanya Edy Rahmayadi yang tak berpartai. Terlepas seberapa besar kadar signifikansi faktor kepetahanaannya, dalam posisi itu Edy Rahmayadi dapat terus berusaha memastikan efektivitas pelaksanaan tugas menghabiskan hari-hari pada tahun terakhir masa jabatan untuk diisi (dengan sinkronisasi program kerja sesuai visi dan misi pemerintahan) dengan sintuhan nurani tanpa terperangkap abuse of power dan atau trading in influence.

Edy Rahmayadi dapat saja melihat pentingnya mensimulasikan diri seolah figur calon perseorangan yang selanjutnya melibatkan para loyalis yang dulu memenangkan Eramas, meski Eramas dan visi Sumut Bermartabat itu juga dapat dikapitalisasi oleh Musa Rajekshah. Tujuan utama ialah membentuk jejaring untuk peningkatan derajat popularitas dan elektabilitas serta menjaga ketat perhitungan suara kelak. Tentu saja hal itu tak mengurangi urgensi pemupukan hubungan dengan partai-partai.

Dua figur lain yang adalah aktivis partai penting memastikan kesetiaan konstituen sebagai tugas mendesak tak tertangguhkan. Musa Rajekshah memegang tongkat komando partai dan keleluasaan berinprovisasi mengoptimalkan popularitas dan elektabilitas ada di tangan.

Akan sangat ceroboh tak menghitung Bobby Nasution dalam kaitannya dengan Joko Widodo dengan segenap pengaruh politiknya, apalagi dengan jabatan sebagai Wali Kota Medan dengan jumlah pemilih terbesar di antara kabupaten kota di Sumatera Utara.

Kewenangan menentukan calon dalam Pilkada ada di pusat. Kedua orang partai ini harus memastikan mandat partai sembari mengeliminasi langkah figur-figur internal yang potensil merebut atau membatalkan restu Jakarta. Arenanya, antara lain, ialah kinerja politik dan perluasan political coverage di luar lingkup partai.

Penutup

Semua figur yang berniat maju Pilkada dan Pilpres 2024 sebetulnya memiliki tim survei sendiri yang hasil-hasilnya tidak untuk diketahui khalayak, karena dimaksudkan sebagai dasar rasional penyusunan strategi pemenangan. Tentu ketiga figur akan sangat mencermati hasil semua survei pihak mana saja, meski tak perlu memberi komentar.

Survei di bawah arahan dan kebijakan internal adalah andalan memastikan kesahihan data, sembari dapat juga mendanai lembaga survei tertentu untuk tujuan yang berbeda, yakni pendongkrakan image politik di tengah khalayak, betapa pun data yang dihasilkan selalu terbuka dipermasalahkan terutama dari aspek metodologi dan validitasnya.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan