Safar Bukan Bulan Sial

  • Bagikan

“Sungguh rumah yang paling kosong dari kebaikan adalah rumah yang kosong dari bacaan kitabullah Al-Qur’an” (HR at-Thabarani)

Safar yang memiliki arti “sepi” atau “sunyi” sesuai keadaan masyarakat Arab yang selalu sepi pada bulan Safar. Sepi dalam arti senyapnya rumah-rumah mereka karena orang-orang keluar meninggalkan rumah untuk perang dan bepergian. Imam Ibnu Katsir menjelaskan:

“Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian.” (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsîr, h.146).

Ibnu Manzhur (wafat 771 H), menyampaikan alasan yang lebih banyak. Menurutnya, ada beberapa alasan mendasar di balik penamaan bulan Safar, di antaranya: (1) sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir;

(2) orang Arab memiliki kebiasaan memanen semua tanaman yang mereka tanam, dan mengosongkan tanah-tanah mereka dari tanamanan pada bulan Safar; dan

(3) pada Safar orang Arab memiliki kebiasaan memerangi setiap kabilah yang datang, sehingga kabilah-kabilah tersebut harus pergi tanpa bekal (kosong) karena mereka tinggalkan akibat rasa takut pada serangan orang Arab.

Keberadaan Safar dengan makna kosong hendkanya kita sebagai khalifah di muka bumi ini jangan sampai di balik penamaan dengan makna kosong sehingga pribadi kita kosong dari amal kebaikan dan amar makruf nahi mungkar.

Jangan sampai bulan Safar ini kita kosong dari amal kebaikan. Kebaikan yang bersifat ibadah ritual kepada Allah SWT maupun ibadah sosial kepada sesama manusia dan seluruh alam.

Bagi orang yang merasa sudah banyak amal kebaikannya, juga jangan sampai lengah dan kelak di Akhirat justru menjadi orang yang kosong tanpa amal, karena tidak diterima di sisi Allah.

Hendaknya di bulan Safar ini terus meningkatkan amal ibadah dan jangan sampai terpengaruh di balik fenomena yang terjadi di bulan tersebut bahkan masyarakat sering menyebutnya Safar sebagai bulan naas dan sejenisnya.

Menanggapi hal ini Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) mengatakan, bulan Safar dan bulan lainnya tidak memiliki perbedaan sama sekali. Menurutnya sebagaimana dalam bulan lain, dalam bulan Safar dapat terjadi keburukan dan kebaikan.

Dengan kata lain, tidak boleh menganggap bulan Safar diyakini sebagai bulan yang dipenuhi dengan kejelekan dan musibah. Beliau menegaskan, “Adapun mengkhususkan kesialan dengan suatu zaman tertentu bukan zaman yang lain, seperti (mengkhususkan) bulan Safar atau bulan lainnya, maka hal ini tidak benar.”

Ibnu Rajab tidak membenarkan keyakinan seperti itu sebab semua bulan, zaman, dan tahun merupakan makhluk Allah swt, yang di dalamnya bisa saja terjadi suatu kesialan, bencana, dan musibah.

Maka sangat tidak logis jika musibah hanya dikhususkan pada bulan Safar dan meniadakannya pada bulan-bulan lainnya. Lebib tegas Ibnu Rajab menyatakan, barometer dari baik dan tidaknya suatu zaman tidak dilihat dari kejadian-kejadian yang terjadi di dalamnya.

Menurutnya, semua zaman yang di dalamnya semua seorang mukmin menyibukkan diri dengan kebaikan, maka zaman tersebut adalah zaman yang diberkahi.

Demikian pula sebaliknya. Ibnu Rajab berkata: “Setiap zaman yang orang Mukmin menyibukkannya dengan ketaatan kepada Allah, maka merupakan zaman yang diberkahi; dan setiap zaman orang Mukmin menyibukkannya dengan bermaksiat kepada Allah, maka merupakan zaman kesialan (tidak diberkahi).” (Zainuddin ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Baghdadi ad-Dimisyqi, Lathâ-iful Ma’ârif, h.81).

Rasulullah SAW menampik anggapan negatif masyarakat jahiliah tentang bulan Safar dengan sejumlah praktik positif. Habib Abu Bakar al-‘Adni dalam Mandhûmah Syarh al-Atsar fî Mâ Warada ‘an Syahri Shafar memaparkan bahwa beberapa peristiwa penting yang dialami Nabi terjadi pada bulan Safar.

Di antaranya pernikahan beliau dengan Sayyidah Khadijah, menikahkah putrinya Sayyidah Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, hingga mulai berhijrah dari Makkah ke Madinah.

Artinya, Rasulullah SAW membantah keyakinan masyarakat jahiliah bukan hanya dengan argumentasi tapi juga pembuktian bagi diri Beliau.

Dengan melaksanakan hal-hal sakral dan penting di bulan Safar, Nabi seolah berpesan bahwa bulan Safar tidak berbeda dari bulan-bulan lainnya. Kemudaratan dan kesialan dapat menimpa kita kapan saja, tidak mesti pada bulan-bulan tertentu.

Doa yang bisa dibaca adalah: Bismillahillazi la yadurru ma’asmihi syaiun fil ardhi wa la fissamai wahuwa assamiul ‘alim (Dengan menyebut nama Allah yang bersama nama-Nya tidak akan ada sesuatu di Bumi dan di Langit yang sanggup mendatangkan mudharat. Dialah Mahamendengar lagi Mahamengetahui)”.

Beranjak dari itu, marilah kita terus introspeksi diri menjadi insan bukan hanya bermanfaat untuk diri kita sendiri juga orang lain.

Sekali lagi di, semoga kita semua menjadi peribadi-pribadi yang senantiasa dianugerahi kekuatan untuk menghormati waktu-waktu yang Allah anugerahkan kepada kita untuk perbuatan dan pikiran yang berfaedah, membawa maslahat, baik di Dunia maupun di Akhirat. Sudahkah kita melakukannya? Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq.

(Dosen IAIA Samalanga dan Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga serta Ketua Ansor Pidie Jaya dan kandidat doktor UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

  • Bagikan