Tangan Besar Di Balik PMI

  • Bagikan

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Tujuan intervensi tangan besar dalam proses pembentukan PMI yang begitu mengejutkan itu tidak sebatas menyelamatkan pemerintahan Joko Widodo dari kekhawatiran diturunkan dari kursi kepresidenan sebelum berakhir masa jabatan

Meski dinilai nihil agenda dan gerakan, sehingga ada yang mempertanyakan perlu tidaknya dipertahankan, partai mahasiswa selama ini adalah kelembagaan demokrasi untuk membentuk pemerintahan mahasiswa di kampus (https://www.balairungpress.com/2020/11/nihil-agenda-dan-gerakan-perlukah-partai-mahasiswa-dipertahankan/).

Berbeda dengan partai mahasiswa internal kampus itu, kini, mengatasnamakan mahasiswa Indonesia, telah terbentuk sebuah partai politik. Berbeda dalam sifat, tujuan dan ruanglingkup, partai yang sudah terdaftar pada Kemenkumham itu sudah menjadi calon peserta Pemilu.

Memeriksa kembali catatan yang ada, menurut laporan Faisal Aristama, Kamis, 02 september 2021, rupanya pernah beredar undangan deklarasi Partai Mahasiswa Indonesia (PMI) yang dijadwalkan berlangsung hari Jum’at 3 September 2021 Pukul 14.30 WIB bertempat di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dalam undangan itu diterakan Sumpah Mahasiswa yang pernah dikumandangkan pada masa penjatuhan Orde Baru tahun 1998: “Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Kami mahasiswa bersumpah berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan. Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan”

https://politik.rmol.id/read/2021/09/02/502825/beredar-undangan-deklarasi-partai-mahasiswa-indonesia-di-kantor-kpu-besok.

Tetapi Direktur Tata Negara Ditjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Baroto menyebut PMI adalah perubahan dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Tetapi Baroto tak sanggup menjelaskan latar belakang dan proses perubahan partai mencakup keseluruhan mulai dari nama, logo, hingga struktur kepengurusan partai dan AD/ART. Ia hanya menyebut bahwa PMI telah mendapat pengesahan.

Lebih lanjut dikatakan bahwa setelah didirikan kembali tahun 2000 Parkindo 1945 tak pernah lolos dalam verifikasi Pemilu. Tentu saja menjadi pertanyaan apakah sebuah partai dapat dirubah tanpa melalui perhelatan tertinggi semisal kongres. Keterangan tentang hal itu masih sangat tertutup hingga hari ini (https://poroskalimantan.com/kemenkumham-kemunculan-partai-mahasiswa-indonesia-perubahan-dari-parkindo-45/)

Skenario Pemenangan Pemilu

Dengan memeriksa hal-hal ganjil dalam proses pendirian PMI, menjadi semakin menarik untuk menelisik motivasi di baliknya. Terlalu aneh jika PMI dipandang hanya sekadar diperlukan untuk memecah soliditas mahasiswa Indonesia dalam arus gerakannya memprotes pemerintahan Joko Widodo.

Atas nama solidaritas PMI tentu saja dengan mudah dapat direkrut mahasiswa di seluruh daerah dengan tujuan ganda, yakni menjadi pengurus PMI, calon anggota legislatif dan corong bersemangat untuk senantiasa mengeritik balik semua kritik yang dilemparkan kepada pemerintah oleh mahasiswa yang berseberangan degan PMI.

Dengan demikian meski pun mengamankan pemerintahan tak harus dianggap sepele ditinjau dari kepentingan subjektif pemerintahan Joko Widodo, namun targetnya tak berlebihan untuk dikaitkan dengan hasrat “tangan besar” yang ingin mendisain perubahan Indonesia, paling tidak melalui pengorbitan orang ke kursi legislatif. Berikut akan dicoba mensimulasikannya.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mewakili 34 provinsi yang dipilih berdasarkan 80 Daerah Pemilihan (dapil) seluruhnya berjumlah 575 orang. PMI tidak ditargetkan sebatas lolos ketentuan nilai ambang batas perolehan suara yang terus meningkat (2,5 % untuk Pemilu 2009, 3,5% untuk Pemilu 2014 dan 4% untuk Pemilu 2019).

Karena kenyataan Pemilu di negara-negara yang sedang belajar berdemokrasi masih belum begitu mempersoalkan penyelenggaraan berdasarkan nilai-nilai integritas yang disepakati secara universal, maka faktor-faktor non-elektoral (kecurangan) tetap masih akan dapat diandalkan untuk dijadikan modus dalam pemenangan Pemilu.

Selain besarnya faktor jumlah modus pilihan yang dapat dimainkan untuk memenangi Pemilu, maka umumnya untuk negara dengan jumlah rakyat miskin yang massif seperti Indonesia intervensi “tangan besar” dapat dengan mulus menggunakan pendekatan transaksi (uang) nyaris tanpa risiko apa pun.

Sekiranya kadar keseriusan “tangan besar” di balik PMI hanya ingin menargetkan masing-masing 1 (satu) kursi dari semua dapil, maka diasumsikan kebutuhan alokasi anggaran yang harus dikeluarkan diyakini sudah tersedia. Secara sederhana katakanlah anggaran itu antara Rp5 sampai 15 miliar.

Dengan perhitungan menggunakan angka tertinggi (Rp15 miliar) maka total kebutuhan alokasi anggaran untuk beroleh kursi DPR RI dari 80 dapil hanya Rp1,2 triliun. Anggaran itu diasumsikan dapat tidak sekadar memastikan keterisian kursi-kursi yang diperlukan untuk 98 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota, 416 kabupaten dan 34 provinsi di seluruh Indonesia. Jumlah anggaran itu juga dapat memastikan peluang meraih tiga prestasi mengejutkan lainnya sekaligus.

Pertama, mendominasi kursi di beberapa daerah tertentu dan bahkan untuk mendudukkan legislator PMI menjadi ketua DPRD. Kedua, apakah “tangan besar” di balik PMI sekaligus menargetkan jabatan Ketua DPR-RI?

Harus dibayangkan bahwa jika pun mesin politik di balik “tangan besar” itu gagal, setidaknya jabatan Wakil Ketua DPR-RI sudah di tangan. Tetapi jelas bahwa “tangan besar” di balik PMI akan mendapat kesulitan serius untuk menjalankan total agenda demokrasi, politik, dan ekonominya sesuai kepentingan oligarki yang terus disuarakan secara kritis oleh mahasiswa jika tak mampu mendominasi DPR-RI.

Ketiga, diakui atau tidak, karena tiadanya kemampuan setiap calon untuk membiayai saksi-saksi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS), maka tingkat kepercayaan atas perolehan elektoral kursi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) masih terus dan selalu terbuka diperdebatkan selama penyelenggara Pemilu (jajaran KPU dan Bawaslu, dari atas hingga ke bawah) tidak berintegritas.

Sama sekali ini bukan jenis tuduhan kosong, sebab sebagaimana tercermin dari pengalaman-pengalaman naif selama ini, banyak hal dapat ditunjukkan sebagai kelemahan yang tak semestinya. Antara lain dengan skenario berdasar logika rendah di balik kardus yang dapat disobek tetapi diberi gembok dan dengan misteri jumlah besar petugas yang meninggal pada Pemilu 2019.

Karena dalam sistim ketatanegaraan pasca amandemen konstitusi telah menempatkan DPD RI sebagai salah satu kelompok “penting tak penting” di pusat kekuasaan politik Indonesia, maka “tangan besar” di balik PMI dapat sekaligus menugaskan semua mesin politiknya untuk menargetkan mayoritas kursi dari kalangan mahasiswa yang dapat dikendalikan.

Masih ada kebutuhan pembiayaan yang tak dapat ditiadakan, yakni bahwa setiap partai harus memiliki domisili/kantor pengurus pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan/desa. Juga keperluan biaya kampanye. Jika menyadari motif “tangan besar” di balik pendirian PMI, pengadaan komponen biaya itu pun tak begitu sulit untuk dibayangkan. Bahkan mengalokasikan hingga Rp 5 triliun untuk misi di balik PMI bukanlah hal yang tak masuk dalam imaginasi.

Lalu sesiapakah (profil) anggota legislatif yang akan diorbitkan dari PMI? Tentu terlalu naif juga membayangkan seleksi tanpa kriteria ideologis yang untuk hal ini tentu saja tak aneh jika harus dikaitkan dengan PMI sebelum bermetamorfosis. Nilai-nilai perjuangan Parkindo 1945 adalah determinan utama di balik PMI.

Apakah nama-nama muslim yang dominan dalam pengurus pusat PMI akan diikuti untuk daerah dan bagaimana tingkat konsistensinya kelak ketika tiba saatnya menyusun daftar calon anggota legislatif? Apakah mereka yang Muslim akan betah dalam perjalanan PMI ke depan?

Hal-hal seperti itu tidaklah begitu sulit untuk diselesaikan dalam dunia politik. Anggota dapat setiap saat dipecat. Atas nama urgensi loyalitas pengurus dapat diganti berulangkali dalam setahun dan anggota legislatif dapat dikenakan mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).

Mahasiswa sebagai bagian integral dari dewasa muda jumlahnya sangat besar dan kerap dikaitkan dengan harapan tentang bonus demografi. Masalah yang mereka hadapi sangat jelas, di antaranya pengangguran. Setiap pengangguran di Indonesia dan di berbagai negara di dunia secara psikologis selalu dipandang menjadi kegagalan keluarga, bukan justru kegagalan sistem.

Karena itu harapan untuk tetap memiliki pendukung yang bergairah sangat besar bagi PMI, apalagi dibuat ketentuan bahwa setiap kader yang berhasil diorbitkan ke lembaga legislatif tidak dapat mengajukan diri kembali menjadi calon anggota legislatif. Ini akan menjamin sirkulasi dan distribusi kekuasaan di kalangan dewasa muda yang tak pernah terpikirkan oleh partai mana pun di dunia.

Penutup

Terlalu menggelikan jika ada yang membayangkan bahwa PMI dibentuk untuk tujuan jangka pendek belaka. Misalnya, untuk sekadar memecah kekuatan protes mahasiswa Indonesia yang bergelora akhir-akhir ini.

Tujuan intervensi tangan besar dalam proses pembentukan PMI yang begitu mengejutkan itu tidak sebatas menyelamatkan pemerintahan Joko Widodo dari kekhawatiran diturunkan dari kursi kepresidenan sebelum berakhir masa jabatan.

“Tangan besar” itu juga ingin memastikan dua kemungkinan peluang besar jangka menengah dan panjang yang malah jauh lebih penting. Pertama, penundaan Pemilu 2024 sekaligus perpanjangan masa jabatan presiden melebihi ketentuan konstitusi yang masih berlaku sekarang (dua periode); dan atau kedua, mendudukkan orang-orang pilihan yang amat energik mengemban misi “tangan besar” di balik partai ini.

Mereka sangat diperlukan untuk memastikan disain sistim demokrasi, politik dan ekonomi Indonesia ke depan yang secara teoritis memihak kepada pengawetan kepentingan “tangan besar”. Siapakah “tangan besar” itu? Oligarki.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan