Taqlid Menggugurkan Iman Seseorang?

  • Bagikan

Hai orang orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin pemimpin kamu. Apabila kamu berbeda pendapat maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya. Bila kamu percaya (yakin) kepada Allah dan hari akhir (Kiamat)(QS. An-Nisaa’: 59)

Tentu anda bertanya: “Kenapa bisa terjadi sifat taqlid bisa meruntuhkan iman seseorang pada kebenaran Al-Quran dan As-Sunnah ? Jawabnya: Dimana pada awalnya, seseorang itu telah menerima atau mendapat ilmu bersumber/berlatar belakang dari fikih mazhab.

Telah diyakinkan pada mereka, fikih mazhab itu bersumber dari Ulama Mujtahid (yang ilmunya tidak disangsikan), tidak mungkin mereka salah. Diyakinkan Mazhab itu semua benar, tertanamlah/terpatrilahdi hati/difikiran mereka, sifat taqlid mereka pada Mazhab.

Namun di antara mereka belakangan ada yang melanjutkan pendidikannya yang akhirnya memperoleh gelar Prof, DR, Dr, Drs, Lc, MA. Meskipun mereka telah berpendidikan dengan gelar itu. Namun bila mereka bertemu dengan pendapat yang bersumber dari hukum Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi dengan sifat taqlidnya kepada mazhab.

Maka pendapat pertamanya menolak pendapat baru yang bersumber dari pembahasan Al-Quran dan As-Sunnah, dimana mereka tetap membenarkan pendapat Mazhabnya dengan cara melakukan “pembenaran” dengan segala dalih. Misalnya: “Apa salahnya demi syiar”, “demi toleransi”, “dari pada ngobrol”, “tidak ada larangan”, “tidak mungkin mereka mujtahid bisa salah” dan sebagainya.

Semua benar tak mungkin mereka salah karena mereka adalah tokoh Ulama Mujtahid. Begitu kuatnya sifat taqlid mereka pada mazhabnya, maka mereka menyatakan pendapat mazhabnya itu yang benar, lunturlah imannya pada Al-Quran (QS An-Nisaa’: 59) dan misalnya pada HR. Bukhari Muslim.

Tentu anda bertanya, apa benar bisa terjadi kebenaran dari Al-Quran (Allah SWT) dan Nabi SAW (Hadis Shahih) bisa dikalahkan oleh sesuatu hal lain. Pertanyaan itu memang hebat. Jawabnya: Memang biasanya yang bisa menggugurkan iman karena terdesak misalnya karena lapar, anaknya sakit, dikejar hutang.

Tapi dalam hal ini yang kita bahas adalah seseorang yang sudah bergelar perguruan tinggi Prof, DR, Dr, Drs, Lc, MA. Dimana sifat taqlid yang sudah dipatri kuat mazhab tak bisa salah maka terjadilah taqlid menggugurkan iman seseorang. Meskipun Imam Ahmad ra menyatakan: “Taqlid itu hukumnya haram”.

Padahal juga ia sudah mengaku dirinya pewaris Nabi SAW, berarti seharusnya mereka harus taat pada petunjuk/pendapat Nabi SAW. Meskipun ia menguasai hukum hukum Al-Quran (QS An-Nisaa’: 59, QS An-Nisaa’: 80) dan petunjuk Nabi SAW (HR Bukhari Muslim).

Kita kemukakan contoh kasus. Pertama, seorang Prof, DR, Dr, Drs, Lc, MA, misalnya sudah menguasai An-Nisaa’: 59, petunjuknya menyatakan: “Hai orang orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin pemimpin kamu. Apabila kamu berbeda pendapat maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya. Bila kamu percaya (yakin) kepada Allah dan hari akhir (Kiamat)”.

Namun bertemu satu kasus yang berhubungan QS An-Nazm: 39, Allah SWT menyatakan: “Seseorang itu akan mendapatkan ganjaran sesuai apa yang dikerjakannya sendiri”. Namun ia memilih petunjuk mazhabnya yang membolehkan (membenarkan) kebolehan amalan/keyakinan “menghadiahkan pahala” kepada yang sudah wafat atas dorongan sifat taqlid.

Begitu kuat memihak kepada mazhab yang membolehkan amalan tahlilan dengan niat (maksud) menghadiahkan pahala pada yang sudah wafat. Meskipun diantara Prof, DR, Dr, Drs, Lc, MA, tau (maklum) bahwa Nabi SAW, sahabat tidak pernah melakukan tahlilan hadiah pahala pada Khadijah ra, Hamzah ra, dan Sahabat suhada yang lain.

Ditambah lagi mereka beriman bahwa tidak ada petunjuk Allah dan Rasul-Nya bahwa tahlilan/berdoa di malam ke 40, 100, ke 1000 adalah wadah (tempat) yang berkat untuk diterima Allah SWT. Mereka maklum kalau itu adalah peninggalan cara cara ritual agama Hindu. Dan mereka juga sadar kalau meyakini akidah yang bukan petunjuk Allah SWT diamalkan akan berakibat terjebak Syirik.

Begitulah ganasnya senjata Setan menggoda sehingga taqlid pada petunjuk mazhab menggugurkan iman pada hukum Al-Quran dan Al-Hadis. Memang Imam Sofyan Atsyauri berkata: “Bid’ah (misalnya : hadiah pahala malam ke 40, 100, 1000) itu lebih buruk dari maksiat (misalnya : mencuri)”.

Tentu Anda bertanya kenapa ? Jawabnya : Seseorang mencuri karena anaknya lapar, sakit. Tapi ia tahu perbuatan mencurinya itu berdosa. Sehingga ia minta ampun (tobat) menjelang ia matinya. Tapi orang yang bid’ah (hadiah pahala, berdoa malam ke 40, 100, 1000 kematian), amalan itu dianggap amalan paling baik sehingga sampai sampai di akhir hayatnya ia tidak pernah/tidak mau minta ampun atau tobat.

Kedua, adalah seorang Prof, DR, Dr, Drs, Lc, MA, dari sejarah tentu tau, amalan tepung tawar itu adalah ritual (cara berdoa kepada dewa dewa) agama Hindu. Namun di antara sarjana tersebut terlibat mengamalkannya atau tidak mencegah tepung tawar ketika pemberangkatan jamaah calon haji atau acara doa (merestui) pengantin.

Mereka tahu perbuatan itu tidak ada manfaatnya secara nyata, kecuali manfaat secara gaib mendatangkan keberkatan pada kedua pengantin (agar pengantin di berkati Allah SWT). Adalah amalan yang berlandaskan masalah gaib itu harus ada petunjuknya dari Allah SWT atau dari Nabi SAW, barulah amalan itu boleh diamalkan tidak berakibat terjebak syirik.

Dalam Al-Quran Allah SWT menyatakan : “Di sisi Allah SWT kunci kunci gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia”. Tentu Anda bertanya kenapa hal itu tidak mereka cegah atau turut terlibat mengamalkannya ? Jawabnya tentu karena sifat taqlid yang memegang peranan yang meyakinkan menganggap bahwa bila mazhabnya membenarkan berarti amalan itu tidak boleh salah. Padahal Nabi SAW tidak pernah mengamalkannya. Berarti amalan tepung tawar itu menggiring kesyirikan.

Ketiga, Nabi SAW menyatakan dengan tegas: “Qullu bid’ahtin dholala, wakulla dholalatin finnar” = “Setiap (amalan) bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat di Neraka”. Karena kuatnya pembiusan harus taqlid, maka di antara para Prof, DR, Dr, Drs, Lc, MA, tega membantah tidaklah benar kalau setiap bid’ah itu sesat dan di Neraka. Dengan alasan hadis tersebut arti “qullu” dalam kamus tidak semuanya berarti setiap (semua), tapi bisa berarti “sebagian”.

Kalau kata Anda “qullu” itu bisa artinya “sebagian”, maka waqulla dholalatin finnar/sebagian yang sesat itu di Neraka”. Maka ditanya sebagian yang sesat itu lagi di mana tempatnya, tidak di Neraka ? Berarti “qullu” itu hanya bisa diartikan “semua”, “setiap”. Berakibat “qullu bid’ahtin dholala/setiap/semua bid’ah itu sesat, tidak ada yang hasanah. Kebodohan ini akibat dari sifat taqlid.

Keempat, QS Az-Zumar: 44, Allah SWT menyatakan : “Kepunyaan Allah Syafaat itu semua”. Namun di antara Prof, DR, Dr, Drs, Lc, MA, ketika berdoa tega meminta syafaat kepada Nabi SAW, dimana sudah tegas Allah SWT menyatakan bahwa syafaat itu hanya kepunyaan Allah SWT dan kepada Allah SWT tempat meminta

Buktinya Allah SWT marah/menegur dengan keras kepada orang (terutama Prof, DR, Dr, Drs, Lc, MA,) kalau masih meminta syafaat kepada selain Allah SWT. Buktinya QS Az-Zumar: 43 Allah SWT, menyatakan : “Apakah mereka masih meminta syafaat kepada selain Allah SWT”. Hal ini akibat taqlid pada petunjuk mazhab.

Kelima, mereka para Prof, DR, Dr, Drs, Lc, MA, tau adanya peringatan Nabi SAW melalui HR. Muslim yang menyatakan : “Sesungguhnya seseorang melakukan amalan yang bukan petunjukku (masalah akidah ibadah) maka amalan itu tertolak”.

Tapi tega mereka membuat shalawat “Allahuma sholi ala sayyidina Muhammad… Padahal menurut HR. Muslim shalawat yang diajarkan Nabi SAW adalah “Allahum sholli ala Muhammad…, tanpa “sayyidina”. Tentunya keberanian mengubah ini adalah akibat sifat taqlid pada mazhab yang mengajarkan syalawat yang bagus ada pakai “sayyidina”.

Padahal mereka itu tau hukum yang dinyatakan oleh Nabi SAW melalui HR Ahmad, Nabi SAW menyatakan: “Mengenai urusan dunia kamu (pengangkutan apakah yang digunakan ke Makkah), kamu lebih tahu. Dan mengenai urusan agama (Akidah=mengenai masalah siksa kubur/Ibadah=sholat) kamu Ikut aku”.

Hadis ini disimpulkan merupakan “Qaidah Usul Fikih” : “Mengenai masalah Aqidah, Ibadah tunggu perintah (contoh). Dan mengenai urusan dunia (muamalah) cari larangan”. Adalah mereka para Prof, DR, Dr, Drs, Lc, MA, kita yakin mereka tau/hafal / kuasai tapi sangat disesalkan akibat melekatnya sifat taqlid kepada mazhab/Ulama.

Maka banyak di antara petunjuk Allah dan Rasul Nya, terjadi mereka tinggalkan atau langgar demi taqlid kepada petunjuk mazhab/Ulama yang mereka anggap mana mungkin mereka salah/semua Mazhab itu benar.

Pernah Kejadian

Pernah saya berhadapan dengan Prof, DR, Dr, Drs, Lc, MA, saya katakan tidak batal wudu’ sentuh istri (tanpa nafsu). Saya ajukan argumentasi: HR. Bukhari dimana Nabi SAW menyentuh Aisyah ra (istri Nabi SAW) ketika Nabi SAW shalat, tapi Nabi SAW meneruskan shalat tanpa mengulangi wudhu’.

Dengan senjata taqlidnya pada mazhab menolak argumentasi saya. Mereka menyatakan: “Anda tahu apa, Anda bukan ulama, kami Prof, DR, Dr, Drs, Lc, MA, kenapa Anda mau menggurui kami, Anda cuma tahu ilmu spesialis kulit, bedah kulit dan bedah kosmetik. Kami hafal Al-Quran, khatam berkali-kali, hafal beribu ribu hadis, jangan coba menyalahkan amalan kami.

Mereka katakan lagi mana mungkin mazhab/Ulama kami salah! Dikatakannya lagi semua mazhab itu benar, perbedaan pendapat itu boleh, itu khilafiyah. Saya jawab : Bila semua mazhab benar fahamnya, maka kenapa Imam Syafi’i berpesan: “Apabila perkataanku bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Hadis Syahih maka pendapatku itu lemparkan ke dinding”. Atau kata Beliau lagi : “Apabila telah syahsuatu Hadis, maka itulah pendapatku (mazhabku)”.

Maka berarti Imam Syafi’i berpendapat tidak semua pendapat mazhab itu benar. Misalnya: “Sentuh istri batal wudhu’”. Karena bila batal wudhu’ bertentangan dengan Hadis Bukhari yang menyatakan: “Aisyah ra, kakinya disentuh oleh kepala Nabi SAW ketika Nabi SAW sujud ketika shalat dan ini terjadi berulang kali tanpa Nabi SAW memperbaharui wudhunya”.

Berarti Imam Syafi’i mengubah pendapatnya yang lama batal wudhu’ sentuh istri menjadi tidak batal wudhu’ sentuh istri (tanpa nafsu). Kemudian mereka juga menyatakan jangan persoalkan perbedaan pendapat, itu akan menimbulkan perpecahan. Tapi justru mengangkat ke permukaan mengamalkan amalan yang berbeda pendapat (tidak sependapat benar) sehingga inilah yang ternyata menimbulkan perpecahan.

Lain masjid, lain pengajian, alergi (menolak) ustadz yang tidak sepaham dengan dia. Dan juga ada pernyataan membohongi umat. Di antaranya mengatakan: “Perbedaan pendapat itu khilafiyah”. Berarti ini menuduh pendapat Nabi SAW tidak batal wudhu’ sentuh istri dengan pendapat mazhabnya, batal wudhu’ sentuh istri, tersirat artinya (pendapat/petunjuk) Nabi SAW setara dengan petunjuk (pendapat) mazhabnya.

Penulis adalah Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin

  • Bagikan