Revisi RUU Narkotika, Bandar Dan Pengedar Dihukum Mati

  • Bagikan

JAKARTA ( Waspada):
DPR RI dan Pemerintah satu kata dalam RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengoptimalkan rehabilitasi bagi pengguna, pecandu korban narkotika. Sedangkan pengedar dan bandar akan diberikan hukum seberat-beratnya.

“Bila perlu diberikan pidana hukuman mati,”tegas anggota Komisi III DPR RI F-PDI Perjuangan I Wayan Sudirta dalam diskusi Forum Legislasi ‘RUU Narkotika: Komitmen DPR Berantas Narkotika di Tanah Air’ di Jakarta Selasa (14/6).

Secara umum politik hukum DPR dan Pemerintah dalam hal itu sudah sejalan. Namun dalam pembahasannya akan sama-sama melihat penuangan semangat rehabilitasi dalam norma ketentuan pasal-pasal yang tertuang dalam RUU Perubahan tentang Narkotika.

“Terkait dengan rehabilitasi, saya memiliki pandangan rehabilitasi untuk oengguna narkotika tudak perlu diatur dengan syarat yang terlalu rumit dan berbelit-belit. Stigma yang muncul di masyarakat rehabilitasi narkotika hanya diperuntukkan bagi merek yang memiliki uang saja. Padahal masyarakat biasa banyak yang menjadi korban narkotika,”ungkap Wayan Sudirta.

Sangking banyaknya penghuni lapas narkotika mendominasi 96 persen, menurut Wayan, angka penyebaran narkotika dan kasusnya sudah masuk dalam tahap mengkhawatirkan. Narapidana kasus narkotika mendominasi penghuni lapas dari data Agustus 202, dari 151.303 napi tindak pidana khusus 96 persen atau 145.413 adalah narapidana narkotika.

Tingginya angka tindak pidana penyalahgunaan narkotika mempengaruhi pembiayaan negara.

“Untuk membiayai makanan penghuni lapas tahun 2022 hampir mencapai 2 trilyun rupiah,”ujarnya. Nilai itu besar sekali dibanding dengan nilai aset yang disita cuma 108,3 miliar.

Selain itu tambahnya perlu diwaspadai ada infiltrasi asing untuk menghancurkan bangsa Indonesia melalui narkoba.

“Maka sebagai anggota DPR RI mendukung untuk bandar dan pengedar narkoba dihukum mati,”tukasnya.

Dalam hubungan itu Wayan Sudirta mengingatkan lagi, Indonesia menjadi target infiltrasi yang akan memecah belah bangsa menjadi beberapa negara.

Karena itu, aparat penegak hukum harus kuat, tegas dan tidak main-main dengan pemberantasan narkoba yang akan menghancurkan generasi masa depan ini.

Menurut Sudirta, revisi ini harus memperkuat BNN (Badan Narkotika Nasional) agar lebih kerja keras lagi dalam memberantas narkoba.

Dalam perkembangan terakhir ini anggarannya sejak 2017 hingga 2021 BNN terus menurun hingga Rp2,5 triliun.

“Hanya saja BNN harus memiliki program dan terobosan kinerja baru yang terukur, agar anggarannya bisa dinaikkan,” ujarnya.

Menurut Sudirta, revisi dan kenaikan anggaran tak cukup kalau tidak diimbangi dengan perilaku aparat yang memiliki komitmen untuk menjaga keutuhan bangsa.

“Bagi pemakai dan pecandu jangan sampai dipenjara, karena mereka ini akan berinteraksi dengan bandar dan pengedar, sehingga naik kelas menjadi bandar dan bisa mengendalikan narkoba dari Lapas. Para pecandu dan pemakai itu seharusnya direhabilitasi. Jadi, kejahatan narkoba ini bahayanya nomor satu setelah korupsi, dan terorisme,”tandas Wayan Sudirta.

Anggota Komisi III DPR Fraksi PKS Nasir Djamil membenarkan, UU No 35 tahun 2019 itu sudah tak mampu lagi menjadi pegangan hukum di tengah masyarakat, karena menjadi alat untuk kriminalisasi pecandu dan pemakai.

“Ada kesan penyebutan pemakai dibandarkan dan sebaliknya bandar dipemakaikan,”ungkapnya.

Nasir Djamil juga berharap revisi RUU Narkotika ini memperhatikan aspek kesehatan, karena narkotika ini merupakan kejahatan luar biasa, extra ordinary crime; masif, terorganisir, menyasar seluruh lapisan masyarakat, maka jangan sampai ada pasal-pasal yang multi tafsir.

“Pasal-pasal itulah yang akan disalahgunakan oleh aparat penegak hukum untuk misalnya transaksional,” tegasnya.

Selain itu Nasir Djamil berharap lembaga BNN diperkuat dengan anggaran yang bisa bisa diandalkan.

“Janganlah BNN ini menjadi tempat batu loncatan bagi aparat untuk menjadi bintang tiga dan seterusnya.

Nasir Djamil bahkan menyebut Indonesia sudah darurat narkoba. Dia menilai kasus utu berkembang dari Aceh sampai Papua. Namun dia tak ingin buru-buru menyelesaikan revisi RUU itu.

“Revisi ini jangan dilakukan terburu-buru,” tambahnya.

Sementara itu Slamet Pribadi mengatakan bagi pecandu dan pemakai seharusnya direhabilitasi (Ps 54), seperti hukum yang berlaku di Portugal. Sebab, kalau dipenjara, mereka ini bisa berinteraksi dengan bandar dan pengedar, sehingga akan melakukan transaksi narkoba dari dalam penjara.

“Selama mereka itu memegang Handphone, maka selama itu pula mereka bisa berinteraksi, dan mengendalikan narkoba dari penjara. Penjara harus steril dari Handphone,” katanya.(j04)

  • Bagikan