Di Abdya, Harga Kakao Tembus Rp139.800 Per Kilogram

  • Bagikan
Salah seorang pengepul menampakkan kakao kering di tempat penampungan, kawasan Geulumpang Payong, Kecamatan Blangpidie, Abdya. Senin (1/4).Waspada/Syafrizal
Salah seorang pengepul menampakkan kakao kering di tempat penampungan, kawasan Geulumpang Payong, Kecamatan Blangpidie, Abdya. Senin (1/4).Waspada/Syafrizal

BLANGPIDIE (Waspada): Dilaporkan, harga komoditas perkebunan kakao (Theobroma cacao L), di Aceh Barat Daya (Abdya), tembus mencapai Rp139 ribu lebih perkilogram, tepatnya Rp139.800 per kilogram.

Menurut H Adnan Johan, salah seorang penampung kakao produksi Aceh di Medan, Sumatera Utara, harga biji kering kakao yang ditampung pengusaha eksportir pasaran Medan, saat ini mencapai Rp139.800/kg. Harga tersebut katanya, merupakan harga tertinggi sejak puluhan tahun terakhir. “Harga tersebut mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Malahan melihat keterbatasan ketersediaan stok bahan di pasaran, besar kemungkinan harga kakao berpotensi naik lagi,” ungkap H Adnan Johan, di Blangpidie Senin (1/4).

Ditambahkan, meroketnya harga kakao terjadi sejak awal 2024, atau selama kurun waktu tiga bulan terakhir. Sebelumnya, harga kakao akhir tahun 2023 pernah mencapai Rp41 ribu per kilogram, namun sempat turun lagi. Sejak awal Januari 2024 sampai Februari, harga kakao melonjak drastic. Harga ditampung pengusaha eksportir Medan meningkat signifikan, mencapai Rp75 ribu per kilogram. Kemudian naik lagi menjadi Rp99.800 perkilogram pada 15 Maret 2024.

Kemudian pada tanggal 16 Maret melonjak lagi, hingga tembus Rp111.500 perkilogram. Berlanjut pada tanggal 26 Maret 2024, harga coklat kering yang ditampung PT SCC, salah satu pengusaha eksportir di Medan, kian melonjak nyaris menyentuh Rp140.000, tepatnya Rp139.800 kilogram. “Ini adalah tingkat harga yang belum pernah terjadi dalam kurun waktu 50 tahun terakhir,” sebutnya.

Pedagang asal Lama Inong, Kecamatan Kuala Batee, Abdya yang saat ini membuka gudang penampungan di Medan itu menguraikan, melambungnya harga coklat selama tiga bulan terakhir itu diketahui, akibat terbatasnya peredaran bahan baku sejak awal 2024. Penyebab utama kelangkaan karena terjadi krisis panen di negara Pantai Gading dan Ghana, sebagai negara penghasil kakao di dunia.

Dilanjutkan, kelangkaan kakao saat ini terjadi di Aceh. Produksi dalam jumlah terbatas hanya ada di Kabupaten Aceh Tenggara dan Pereulak Kabupaten Aceh Timur. Sedangkan dari Kabupaten Abdya, Nagan Raya dan Aceh Selatan, yang pernah dikenal sebagai daerah penghasil kakao di Aceh, kini bahan bakunya sangat sulit diperoleh. “Saya hanya menerima kiriman kakao kering dari pedagang dari Meukek, Kabupaten Aceh Selatan, dalam jumlah ratusan kilogram sekali pengiriman,” katanya.

Bahan baku kakao kering yang terkumpul dalam kisaran 500 kilogram hingga 800 kilogram, kemudian dipasok ke pengusaha eksportir di Medan. Melihat trend perkembangan kenaikan harga kakao sangat luar biasa, pihaknya mengajak petani di Kabupaten Abdya, termasuk kabupaten lain di Aceh, untuk kembali menanam tanaman kakao. Ajakan ini, setelah petani Kabupaten Abdya, termasuk di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Selatan, ramai-ramai menebang pohon kakao yang terjadi era tahun 2000-an. Tindakan ekstrem ini dilakukan setelah harga di pasaran mengalami stagnan paling tinggi Rp30.000/kg.

Kondisi semakin diperburuk dengan serangan hama, yang menyerang tanaman kakao sangat sulit dikendalikan. Buah kakao yang terserang hama dalam waktu singkat berubah warna menjadi hitam, lalu membusuk dan akhirnya gagal panen. Produksi tanaman kakao turun drastis. Sehingga para petani tidak bergairah lagi merawat areal tanaman kakao milik mereka. Lalu, para petani mengambil jalan pintas dengan menebang tanaman kakao, kemudian di lahan bekas tersebut ditanami tanaman kelapa sawit.

Tindakan tersebut terjadi di kawasan Kabupaten Abdya, juga di kawasan Kabupaten Nagan Raya, terutama di Kecamatan Darul Makmur, Kecamatan Tripa Makmur, termasuk Kecamatan Kuala Pesisir. “Akibatnya, perkebunan tanaman kakao di daerah tersebut tidak ditemukan lagi. Kalau pun masih ada hanya pohon kakao dalam jumlah terbatas tumbuh di lahan perkarangan rumah, pojok-pojok kebun dan pohon kakao yang tumbuh di pagar areal perkebunan lain di kawasan pedesaan. Tentu, produksinya tidak bisa diandalkan lagi, meskipun di tengah terjadi lonjakan harga sangat luar biasa,” urai H Adnan Johan.(b21)

  • Bagikan