“Pak…Minta Mancis Dong…”

  • Bagikan
“Pak…Minta Mancis Dong…”

“Tanggung jawab pendidikan secara umum dibagi kepada tiga ranah yaitu sekolah, lingkungan, dan rumah. Nah, jika kasus seorang anak usia sekolah minta pinjam mancis untuk membakar rokok dan itu terjadi di luar sekolah, jika dalam proses pembelaan diri, itu bukan domain sekolah. Namun fenomena ini tidak dapat dikotak-kotakkan, karena dia (anak) adalah entitas yang satu, baik di sekolah, di rumah dan masyarakat. Intinya, butuh satu kampung untuk mendidik satu anak.”

URAIAN di atas disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Aceh Utara, H. Jamaluddin Usman, S.Sos.,M.Pd, Senin (30/1) pagi di ruang kerjanya, ketika Waspada mengkonfirmasi fenomena yang terjadi akhir-akhir ini tentang mulai hilang integritas dan wibawa pendidik (guru) di hadapan anak-anak dididiknya.

Banyak guru dan kepala sekolah yang baik, kadang merasa lelah dengan fenomena serupa. Nasehat-nasehat yang disampaikan kepada anak didik, terkadang tidak diindahkan bahkan terkadang menjadi bahan olok-olokan oleh para siswa. Akhirnya banyak guru yang baik bersikap diam dan bahkan ada yang pensiun muda karena merasa tidak mampu menjadi guru yang baik.

Kenyataan itu juga Waspada dapatkan di jalanan. Tepatnya di traffic light (lampu merah) di Kota Lhoksukon, Ibukota Kabupaten Aceh Utara. Ketika itu, Waspada melihat satu mobil yang ditumpangi oleh semua remaja putra berseragam sekolah. Dan semua remaja tersebut merokok sambil tertawa-tawa dan bahkan memperlihatkan gaya mencolok sambil menghembus asap rokok tinggi-tinggi ke udara.

Dan perilaku remaja berseragam sekolah tidak ada yang menegurnya. Seolah apa yang mereka lakukan sudah benar.

Mendengar penjelasan Waspada, H. Jamaluddin kemudian melanjutkan penjelasannya, ketika bicara filosofi, maka anak dibangun dalam tiga lembaga yang mendidiknya yaitu keluarga, lingkungan masyarakat dan sekolah.

Ke tiga lembaga ini, semuanya harus berperan tanpa harus mengkotak-kotakkan. Ketika berbicara lingkungan, maka sekolah itu lingkungan, keluarga itu lingkungan dan masyarakat itu adalah lingkungan.

“Bukankah dalam Islam, madrasah pertama itu adalah ibu. Itu kalau kita berbicara secara normatif dan secara filosofis. Nah jika berbicara secara global tentang sistem pendidikan dan degradasi akhlak, maka kita kembali pada Islam, bukankah Rasulullah SAW diutus Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak. Dan Rasulullah tidak pernah mengatakan, bahwa perbaikan akhlak harus dilakukan di sekolah (madrasah), keluarga atau masyarakat, tetapi secara holistik (menyeluruh),” sebut H. Jamaluddin lebih jauh.

Pada kesempatan itu, H Jamaluddin didampingi oleh Kepala Bidang Pembinaan Pendidikan Dasar (Kabid Dikdas), Dr Irhamni. Kata Irhamni, dia pernah melihat langsung, ada pelajar berseragam sekolah duduk dengan beberapa temannya di salah satu kantin di bekas lapangan upacara Lhoksukon berdampingan dengan Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Utara, yang jajan sambil merokok.

Mungkin kata Irhamni, remaja berseragam sekolah itu menganggap bukan hak kami untuk melarang mereka karena berada pada jenjang di luar kewenangan kami, tetapi karena mereka adalah entitas yang satu (selain pelajar juga mereka adalah anak), maka dia memberanikan diri menegur dengan bahasa yang baik dari kejauhan. “Hai nyak, pat toh kajak sikula. Nyan bek brat-brat that meurukok (Hai nak, di mana kalian bersekolah. Jangan merokok),” sebut Irhamni.

Apakah setelah ditegur begitu, lantas mereka langsung berhenti merokok, tanya Irhamni, jawabnya belum tentu. Namun, katanya, dia telah menjalankan fungsinya sebagai masyarakat. Paling tidak anak-anak tersebut tersentuh perasaannya untuk memahami bahwa apa lakukan. Kalau tidak menegur, maka kata Irhamni, dia telah ikut membentuk mereka sebagai perokok.

“Sebenarnya fenomena menjadi salah satu indikasi turunnya akhlak. Dulu masyarakat menganggap merokok adalah hal yang tabu dilakukan oleh pelajar dan sekarang dianggap hal yang biasa-biasa saja. Ada nilai akhlak yang turun dan hilangnya rasa segan kepada guru, orang tua dan masyarakat,” terangnya.

Lalu H. Jamaluddin kembali pada persoalan dasar, kenapa ada pelajar yang berani meminjam mancis untuk membakar rokok pada masyarakat dan gurunya di luar sekolah, karena telah hilang rasa hormat dari mereka. Lalu ada pertanyaan, kenapa ada generasi yang seperti ini, generasi yang disebut sebagai generasi Z, anak-anak yang lahir tahun 1997 dan mereka tumbuh dan dibesarkan oleh dunia yang sangat dekat dengan teknologi informasi (IT).

“Dulu, ketika di awal-awal adanya komputer, orang tua melarang anak-anaknya untuk menggunakan komputer. Karena sesuatu yang “baru” dan tidak dikuasai oleh orang tua dianggap berbahaya.

Sekarang semakin maju dan telah berganti dengan HP android dan internet bisa dengan mudahnya diakses. Lalu muncul pertanyaan, apakah berbahaya kalau siswa dibolehkan membawa HP? Bisa iya atau tidak. Tidak ada regulasi yang bisa disimpulkan oleh stkeholders, tetapi sebagian besar pihak sekolah, tidak membenarkan membawa HP ke sekolah. Ini sebagai bukti, sekolah telah berbuat banyak dibandingkan di rumah, orang tua peserta didik,” sebutnya.

Lalu H Jamaluddin menambahkan, bukankah yang membeli HP untuk anak adalah orang tuanya. Pertanyaannya, berapa persen orang tua yang menginstall (memasang) Google Family Link di HP anak-anak mereka. Dapat dikatakan, kondisi ini, di mana masyarakat abai terhadap perkembangan anak-anaknya. Orang tua terbiasa untuk tidak bisa menolak permintaan anak.

“Padahal tinggal ambil HP nya, paling-paling anaknya menangis, selesai masalah. Kalau dilembaga pendidikan sudah melarang dan bahkan ada sekolah asrama yang melarang total,” ucapnya.

Lalu di tengah kemajuan dunia digital, mungkinkan menjauhkan teknologi dari anak, maka jawabnya tidak, karena sudah menjadi kebutuhan. Dunia teknologi saat ini dapat diibaratkan seperti pisau. Pisau itu adalah alat. Apakah alat tersebut digunakan untuk mengupas mangga atau untuk mencuri kelapa.

Sebagai lembaga pendidikan dan yang dianggap paling bertanggungjawab, maka peran sekolah saat ini telah cukup banyak melakukan pembinaan akhlak.

“Semua harus terlibat dalam perkembangan dunia pendidikan anak terutama dalam pembentukan akhlak. Di lembaga pendidikan secara nasional yang memberlakukan Kurikulum Merdeka. Di mana dalam kurikulum tersebut, sekian puluh persen dalam setiap minggunya ada pendidikan akhlak untuk anak SD dan SMP yang dimasukkan di dalam proyek P5. Pertanyaan setelah sekolah melakukan semuanya, lalu semua hal ditimpakan kepada guru, apakah fair?,” tanyanya.

Seluruh guru dan kepala sekolah yang mengajar di Kabupaten Aceh Utara adalah guru dan kepala sekolah yang profesional. Ada empat kompetensi sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang baru dapat mengajar dan menjadi kepala sekolah. Misalnya harus memiliki ijazah S1, PPG, dan secara sistem mereka telah layak menjadi guru dan kepala sekolah.

Untuk membina akhlak anak harus terlibat semua pihak yaitu masyarakat, sekolah dan keluarga. Guru juga bagian dari masyarakat dan guru juga merupakan ayah atau ibu dari siswa di sekolah, akan terlalu naif kalau kita memvonis hanya kepada salah satu faktor,” katanya.

Ditanya benarkah rasa hormat siswa hilang kepada gurunya, akibat sistem kelulusan yang mudah hingga mereka sulit diatur, Kabid Dikdas, Irhamni mengatakan, dalam pepatah Arab menyebutkan, binatang ternak tunduk karena dicambuk (cinuet-Aceh) dan manusia tunduk dengan kata-kata. Namun dalam Islam, anak usia 10 tahun masih tidak mau shalat disuruh cambuk (cinuet) asal tidak mengenai wajah dan tidak bersifat membahayakan.

“Kemampuan anak itu berbeda-beda, ada anak yang cukup hanya dengan dipandang mereka mengerti, ada anak harus diomongin, dicubit dan dijewer baru paham. Dan tindakan itu, dahulu, tidak dipersoalkan oleh orang tua mereka di rumahnya, tapi sekarang tidak demikian,” katanya.

Sejak diberlakukannya UU perlindungan perempuan dan anak. Salah satu klausul yang disebutkan dalam UU tersebut adalah, apa pun kekerasan terhadap anak baik fisik dan verbal tetap dianggap sebagai kekerasan. Maka, seorang guru menegur dengan cara tegas, dapat dianggap pelanggaran verbal. UU ini sebut Irhamni akan menjerat siapa saja. Jika demikian adanya, siapa yang telah membuat anak kita ‘manja’?

Namun dari perspektif perlindungan hak azasi anak dan perempuan, UU itu dibuat untuk melindungi mereka. Padahal dalam Islam, mendidik anak dengan tindakan tegas, dapat dibolehkan. Kondisi saat ini telah menempatkan profesi guru berada di tengah antara UU Perlindungan Perempuan dan Anak dan kewajiban mendidik. Dan ini menjadi dilema bagi guru.

“Telah ada regulasi dari Kementerian Pendidikan tentang perlindungan profesi guru. Namun ketika surat tersebut berhadapan dengan UU Perlindungan Perempuan dan Anak, siapa yang lebih kuat. Lebih kuat UU bukan?,” tanya Irhamni kepada Waspada.

Maka tidak perlu heran ketika ada anak sekolah di luar sekolah ada yang berani meminjam mancis untuk membakar rokok kepada warga dan guru di luar sekolah. Dan satu-satunya jalan untuk mendidik akhlak anak harus dilakukan secara bahu membahu antara keluarga, lingkungan masyarakat dan tentunya lembaga pendidikan sebagai lembaga yang dikatakan paling bertanggungjawab.

Dan sekarang ini, sekolah telah melakukan banyak hal tentang persoalan itu.

WASPADA.id/Maimun Asnawi, SH.I.,M.Kom.I

  • Bagikan