Semerbak Aroma Rempah Dari Pasai Di Taman Ratu Safiatuddin Pada PKA Ke-8

Laporan: Maimun Asnawi, S.Hi.,M.Kom.I

  • Bagikan
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh Dian Rubianty.(Waspada/Ist)
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh Dian Rubianty.(Waspada/Ist)

ANJUNGAN Kabupaten Aceh Utara di Taman Ratu Safiatuddin telah dihias dengan sempurna untuk ikut serta dalam perayaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 yang dijadwalkan pada tanggal 4-12 November 2023 dan direncanakan akan dibuka oleh Presiden RI, Bapak Joko Widodo.

Untuk menjadi anjungan terbaik pada PKA kali ini, Penjabat Bupati Aceh Utara, Dr. Drs. Mahyuzar, M.Si bersama dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, H. Jamaluddin Usman, S.Sos.,M.Pd,
sepakat memenuhi seluruh anjungan tersebut dengan miniatur-miniatur klasik abad ke-13 berciri khas Kerajaan Samudera Pasai; Kerajaan Islam pertama di Indonesia yang terletak di Gampong (desa) Beuringen, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.

“Di anjungan kita terdapat pelaminan pengantin baru. Menariknya pada PKA kali ini anjungan Aceh Utara dipenuhi oleh berbagai jenis rempah-rempah asal Samudera Pasai terutama lada. Ini sesuai dengan tema PKA ke-8 yaitu ‘Rempahkan Bumi Pulihkan Dunia’. Selain lada, kami juga memamerkan cengkeh sebagai komoditi ekspor pada masa jaya Kerajaan Samudera Pasai,” sebut H. Jamaluddin Usman.

Dari berbagai referensi sejarah menjelaskan, sebut Jamal, Pelabuhan Kerajaan Samudera Pasai pada masa itu merupakan pelabuhan paling maju dan paling ramai dikunjungi oleh berbagai pengusaha para pedagang (saudagar) dari berbagai belahan dunia. Beberapa negara yang kerap singgah di Pelabuhan Kerajaan Samudera Pasai- bangsa Cina, Arab, Siam dan Persia.

“Komoditas utama yang diperjual belikan oleh Kerajaan Pasai pada waktu itu adalah Lada. Pelabuhan Samudera Pasai ketika itu merupakan bandar perdagangan besar dunia. Oleh karena itu, Raja Malik Al-Saleh (Raja Islam Pertama di Indonesia) mengeluarkan mata uang emas yang diberi nama Dirham dan mata uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Pelabuhan Kerajaan Pasai merupakan jalur rempah dunia pada masa itu. Kerajaan ini berkuasa selama 300 tahun,” sebut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Utara itu kepada Waspada.

Selain menjadi jalur rempah dunia, Pelabuhan Kerajaan Samudera Pasai juga menjadi pusat perkembangan agama Islam. “Dari sinilah agama Islam pertama di Nusantara ini bersemi dan dari
Samudera Pasai juga lah rempah-rempah jenis lada tersebar ke berbagai penjuru dunia. Dua hal ini masih dapat dibuktikan dengan berbagai bukti sejarah yang masih ada di Gampong Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara,” terang Jamaluddin Usman.

Pada abad ke-13, Kerajaan Pasai telah memiliki relasi yang sangat luas dengan berbagai kerajaan-kerajaan luar negeri dari penjuru dunia. Kerajaan ini mencapai kejayaan di bawah kepemimpinan Sultan Malik Al-Saleh. Dan dia merupakan raja pertama di kerajaan itu.

Pada tahun 1292, kerajaan ini pernah didatangi oleh musafir dari Italia yaitu Marcopolo. Setelah Malik Al-Saleh wafat, kerajaan tersebut dipimpin oleh Sultan Muhammad atau yang dikenal dengan gelar
Sultan Malik Al-Tahir I (1297-1326).

Lalu dilanjutkan oleh Sultan Ahmad dengan gelar Sultan Al-Tahir II (1326-1348). Pada masa ini-lah Samudera Pasai juga berkembang pesat dan berhasil menjalin kerja sama dengan berbagai kerajaan
dunia. Dan pada masa inilah Ibnu Batutah singgah di kerajaan tersebut dan di dalam catatannya menggambar Pasai merupakan negeri yang maju dan kaya raya.

“Untuk mengenang Samudera Pasai sebagai jalur rempah dunia, maka anjungan kita desain mirip arsitektur Kerajaan Pasai. Bukan hanya memaerkan rempah tetapi juga memamerkan kue-kue (kuliner) berbahan dasar lada dan ada juga kue masa kini seperti Nastar yang berisi cengkeh dan berbagai jenis kue lainnya. Juga kami pamerkan aneka masakan khas Aceh Utara serba rempah. Intinya pada PKA ke-8 kali ini, kami dari Kabupaten Aceh Utara, akan menebar aroma rempah dari Samudera Pasai di Taman Ratu Safiatuddin Banda Aceh,” ucap Jamaluddin Usman.

Selain memamerkan rempah-rempah dari Kerajaan Pasai, Kabupaten Aceh Utara juga memamerkan miniatur perahu layar. Perahu tersebut menceritakan tentang hubungan diplomasi yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17. Iskandar Muda pada masa itu mengirimkan kapal berisi lada dan rempah-rempah lainnya untuk Raja Turki. Pengiriman lada ke Turki untuk meminta bantuan militer guna mengusir Portugis yang mengancam keamanan Aceh pada masa itu.

“Setelah dua tahun perjalanan, kapal berisi lada sampai di Turki. Namun, jumlah lada hanya tersisa secupak (satu genggam orang dewasa). Pun demikian, lada secupak yang dibungkus dengan kain kuning tetap diberikan kepada Raja Turki oleh Panglima Nyak Dum (utusan Iskandar Muda). Lada secupak diterima oleh Sultan Turki setelah mendengar cerita perjalanan kapal dari Pasai menuju Turki yang dihempas badai,” cerita Jamal mengutip dari berbagai referensi sejarah.

Panglima Nyak Dum bercerita kepada Sultan Turki, sambung Jamal, karena terlalu lama dalam perjalanan, maka lada-lada yang sejatinya menjadi hadiah Sultan Iskandar Muda untuk Sultan Turki habis dijual dengan cara dibarter di beberapa pelabuhan yang disinggahi untuk memenuhi kebutuhan hidup selama dalam perjalanan.

“Hanya karena hadiah lada secupak, Sultan Turki membalas dengan pemberian meriam yang diberi nama meriam secupak. Kemudian menyertakan 12 orang Turki, sebagai ahli militer yang menemani perjalanan pulang Panglima Nyak Dum hingga sampai ke Aceh. Bantuan meriam dan ahli militer diberikan bukan karena ladanya tetapi karena untuk membantu saudara seiman dari ancaman keamanan dari Bangsa Portugis di Selat Malaka,” sebutnya.

Artinya, sambung Jamal, hubungan diplomasi dengan kerajaan luar negeri mulai dibangun dari masa Sultan Malik Al-Saleh di Kerajaan Samudera Pasai hingga pada masa Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh
Sultan Iskandar Muda. Hubungan diplomasi berhasil dibangun dengan rempah-rempah yang dimiliki oleh Aceh terutama jenis lada dan cengkeh. “Itu sebagai bukti bahwa Aceh adalah jalur rempah dunia.”

Rempah-rempah Aceh, sebut Jamal, bukan hanya digunakan sebagai bumbu untuk berbagai masakan di Aceh, namun juga menjadi bahan dasar obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat di berbagai belahab dunia.

“Kita bukan hanya memiliki lada dan cengkeh, tetapi juga memiliki kayu manis, kapur barus, kapulaga, jahe, jintan dan berbagai jenis rempah lainnya,” terang Jamal.

Selain memamerkan rempah-rempah, di Anjungan PKA ke-8, Kabupaten Aceh Utara juga memamerkan berbagai jenis tarian seperti Rapa’i Pase, Geulayang Tunang, dan berbagai tarian lainnya.

“Kami ingin tampil maksimal pada PKA ke-8 melampaui pencapaian pada PKA ke-7 kita berhasil mendapatkan juara 2,” demikian Jamaluddin Usman.

Terakhir melalui Harian Nasional Waspada, Jamaluddin Usman mengajak seluruh masyarakat Aceh terutama kaum milenial untuk mencintai dunia rempah seperti yang dilakukan oleh para indatu Aceh dulu. Ikut menanam berbagai jenis rempah-rempah di pekarangan rumah atau di kebun terutama untuk jenis lada dan cengkeh yang bernilai ekspor.

Pada abad ke-13, lada merupakan komoditi unggulan di Kerajaan Pasai hingga masyarakatnya pernah diberi gelar oleh warga dunia dengan sebutan masyarakat lada. WASPADA.id

  • Bagikan