Suasana Di Kampung Sibao Yang Nyaris Hilang Oleh Smong 18 Tahun Lalu

  • Bagikan
Beberapa anak di Kampung Sibao pulang bermain bola dari pantai yang pernah luluh lantak dibantai smong 18 tahun silam. Foto diambil Senin (26/12) menjelang siang. Waspada/Rahmad
Beberapa anak di Kampung Sibao pulang bermain bola dari pantai yang pernah luluh lantak dibantai smong 18 tahun silam. Foto diambil Senin (26/12) menjelang siang. Waspada/Rahmad

TEPAT kemarin 26 Desember 2022, 18 tahun yang lalu catatan Waspada sebuah tragedi bencana alam maha dahsyat, smong atau dikenal dengan tsunami melanda Pulau Simeulue, Aceh dan belasan negara di kawasan Asia lainnya ikut terdampak.

Kampung Sibao atau Dusun Sibao, Desa Kuala Makmur, Kecamatan Simeulue Timur, Kabupaten Simeulue yang hanya berjarak tidak lebih 200 an meter dari bibir pantai (red-kampungku {Rahmad-Wartawan Waspada} di Simeulue) nyaris hilang dilumat ganasnya ombak tsunami atau smong kala itu.

Rumah tempat tinggal kami 7 bersaudara plus ayah dan ibu tercinta, dikenal di kampung dengan sebutan Lumah Sebel (red-Rumah Besar) bertiangkan kayu Razak tak mampu menahan terjangan ombak besar-smong, dampak lindu kuat pagi itu. Berkekuatan 9,3 SR atau setara ledakan bom 100 gigaton.

Dari puluhan rumah di Kampung Sibao, sore 26 Desember 2004 ludes, tinggal pondasi. Hanya tersisa dua rumah. Yakni: Rumah Ilyas Kara dan Sofyan, S.Pd.I. Kedua rumah yang berkonstruksi beton itu, pun secara fisik masih berdiri, namun di dalamnya porak-poranda.

Pagi Minggu 26 Desember 2004 tak hilang dari catatan Waspada, suasana alam di Sibao dan kemudian diketahui penulis hampir seluruh Pulau Simeulue dalam istilah di sini, Sengu, tak ada tiupan angin. Tenang bahkan nyiur nyaris tidak bergerak laut pun tak berombak. Bagi sebagian orang tua di Simeulue sesaat pra smong memang tak sedikit mengaku berfirasat.

Masih teringat betul, sepenggal lebih matahari beranjak, tiba-tiba seluruh tanah bergoncang hebat. Sejurus kemudian waktu itu ayah dan ibuku, spontan berseru untuk kami semua. Berhubung hanya dalam hitungan menit air laut yang tampak jelas dari halaman depan rumah kami, surut bahkan pantai mengering hingga jauh.

Supaya segera semua berlari ke gunung karena bila keadaan begitu gempa, sebagaimana cerita turun temurun yang kemudian melegenda dan menjadi kearifan lokal di Simeulue, akan ada bencana, smong atau tsunami dalam bahasa Jepangnya.

Tak ayal semua bergegas, berlari menuju gunung dan bukit terdekat dengan tanpa lagi sempat membawa bekal yang banyak. Hal serupa juga oleh para tetangga. Seakan punya feeling dan komando yang sama meskipun tak berkoordinasi.

Kecuali penulis, mengambil arah berbeda mengengkol “kereta” (red-sepeda motor) menuju Kota Sinabang, Ibu Kota Kabupaten Simeulue.

Maklum, belum lama menjadi reporter Waspada, jiwa Muda, ingin mendapat foto-foto yang berkelas, akibat gempa dan juga ingin mewartakan secepat mungkin kondisi Simeulue pagi itu.

Betapa tidak, belakangan diketahui smong yang melanda Simeulue menerjang lima belas negara; Yakni; Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand, Somalia, Myanmar, Maladewa, Malaysia, Tanzania, Seychelles, Bangladesh, Afrika Selatan, Yaman, Kenya, dan Madagaskar.

Indonesia adalah negara yang dampaknya paling parah selain Sri Lanka, India, dan Thailand. Organisasi dunia (PBB) 4 Januari 2005, mengeluarkan taksiran awal bahwa jumlah korban tewas akibat tsunami Aceh melebihi angka 200.000 jiwa.

Kembali ke awal belum setengah perjalanan menuju Kota Sinabang, tepatnya di atas jembatan Sefoyan, warga berteriak. Ketika berhenti melihat air sungai mengalir bukan lagi ke hilir melainkan berbalik ke hulu. “Masya Allah” hati kecil berucap.

Usai mengambil beberapa foto di situ. Didorong semangat kerja yang masih membara kondisi “seram” yang sudah terlihat jelas oleh mata tak mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanan. Menggeber tunggangan si-kuda besi, RX-King dengan kecepatan tinggi.

Setiba di kota, dari kejauhan yang lebih tinggi tampak Waspada suasana Kota Sinabang pagi menjelang siang itu sudah centang perenang dan hiruk pikuk.

Betapa tidak sebagian kota sudah tenggelam. Air laut sudah mencapai tengah kota. Melihat alam yang sedang marah. Rasa berani tadi berubah keder.

Di tengah memaksa diri mengambil sejumlah foto, hati berkecamuk dan was was memikirkan keselamatan ibu dan ayah beserta keluarga semua di kampung. Putar arah sembari mencari jalan, berpacu dengan pasangan surut smong yang pasang surut menghantam sebagian ruas jalan pulang ke Kampung Sibao.

Entah bagaimana, jelasnya berkat pertolongan Allah Assawajallah karena jika dikenang memang dalam kondisi normal hari ini, jalan waktu itu yang di waktu kering tak mungkin bisa dilewati karena berseliweran papan, tonggak kayu bahkan tiang dan tali listrik.

Konon waktu itu smong juga menerjang jalan. Tapi sekira matahari sedikit miring ke ufuk barat, penulis telah tiba di kampung Sibao. Kereta tunggangan ku semula kuparkir di sebuah sisi jalan yang berada sedikit di ketinggian.

Gelombang tsunami hari itu terus bergerak pasang surut. Di saat jeda aku dan beberapa pemuda di kampung kami menaiki sebatang pohon kuini besar di belakang rumah yang sudah hilang disapu gelombang pagi itu.

Saat bertahan di atas batang kuini sembari memantau pergolakan gelombang di mana gempa susulan terus mengguncang meski bersekala rendah. Sempat terbesit di hati, Ini kah hari kiamat?

“Tapi mengapa sebagaimana disampaikan para Ustadz seperti dalam Alquran. Kiamat bermula dengan tiupan sangkakala. Kemudian 40 hari sebelumnya gelap gulita. Muncul Dabba dan beberapa tanda lain semua itu belum ada. Ah, ini berarti bukan lah kiamat,” hati sendiri bicara, menolak.

Uang Tak Laku

Cerita hari itu 26 Desember 2004, sore dan malamnya hingga beberapa hari setelah itu, nyata terasa uang di Kampung Sibao tak laku, emas dan perhiasan lainnya juga tak bernilai.

Segenggam beras, sebungkus mie instan, satu potong roti sebuah pisang dan bahkan sepotong ubi jauh lebih bernilai.

Pohon kelapa yang tersisa oleh hantaman smong di Kampung Sibao sangat menolong untuk bertahan. Kelapa muda, kelapa tua dan kelapa belum berisi menjadi alternatif, itulah cerita masa itu.

Kini Kampung Sibao, Simeulue yang dulu nyaris hilang disapu smong alias tsunami kini sudah mulai pesat, bahkan jika dibilang jumah penduduk dan rumah yang berdiri jauh lebih banyak.

Cerita sedih dan trauma akibat gempa dahsyat yang kemudian disusul smong, pas 26 Desember 2022 terekam jelas Waspada di lapangan tak ada lagi.

Semua berjalan seperti hari-hari biasa. Bahkan anak-anak termasuk yang sudah beranjak dewasa yang konon hari smong mendera, mereka semua belum lahir membuat suasana jauh di Kampung Sibao jauh berbeda.

Ketika libur sekolah, halnya 26 Desember 2022 mereka bermain riang bersama tampak tak ada sedikitpun ada rasa was-was akan smong seperti halnya 18 tahun silam yang nyaris menyapu bersih Kampung Sibao.

WASPADA.id/Rahmad


  • Bagikan