Tafakur Hadis Maudhu’: Menakar Kepalsuan Dalil Hukum

Oleh Dr. Tgk. H. Zulkarnain, MA (Abu Chik Diglee)

  • Bagikan

Hadis Maudhu’ ( حديث موضوع) adalah hadis palsu atau hadis yang dipalsukan. Kata maudhu’ (موضوع) berasal dari bahasa Arab. Maudhu’ merupakan isim maf’ul (اسم مفعول) atau objek (yang dikenai pekerjaan). Maudhu’ berasal dari fi’lul madhi( kata kerja masa lampau) وضع , fi’lul mudhari’ (kata kerja sedang atau akan)nya adalah يضع , dan mashdar (akar kata)nya adalah وضعا.

Artinya adalah الاءسقاط (meletakkan atau menyimpan), الاءفتراء (mengada-ada), الاءختلاق (membuat-buat), الترك (ditinggalkan), المتروك (yang ditinggalkan), المصنوع (yang diciptakan atau dipalsukan). Maudhu’ merupakan kosa kata musytarak (مشترك) atau homonim, yaitu satu kosa kata yang memiliki arti lebih dari satu. Dengan demikian secara etimologi maudhu’ dapat diartikan dengan palsu, dibuat-buat, mengada-ada, meletakkan, menyimpan, diciptakan.

Secara terminologi, hadis maudhu’ oleh Ibnu Shalah di dalam kitabnya, علوم الحديث terbitan Madinah tahun 1982, halaman 253 disebutkan : المختلق المصنوع المكذوب علي رسول الله ص عمدا Artinya, hadis maudhu’ adalah hadis yang dibuat-buat, diciptakan dengan kedustaan atas nama Rasulullah Saw dengan sengaja.

Muhammad ‘Ajaaj al Khatib di dalam kitabnya اصول الحديث, halaman, 415 menyebutkan bahwa hadis maudhu’ adalah: ما نصب الي رسول الله ص اختلاقا و كذبا مما لم يقله اويفعله او يقره. Artinya, apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw secara dibuat buat dan dusta dari apa apa yang Rasulullah saw tidak mengatakannya, tidak melakukannya dan tidak menyetujuinya. Muhammad bin Ali al Maliki menuliskan di dalam kitabnya المنهج اللطيف في اصول الحديث الشريف, halaman,155, hadis maudhu’ adalah : الخبر المختلق المكذوب المنصوب الى رسول الله ص افتراء عليه او الى الصحابى او الى التابعى. Artinya, kabar yang dibuat buat secara dusta yang disandarkan kepada Rasulullah Saw atas namanya atau atas nama sahabatnya atau atas nama tabi’in.

Untuk dapat mengetahui kepalsuan sebuah hadis dari sisi sanadnya ini, di antaranya adalah: 1) Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadis itu hanya diriwayatkan oleh dia.Dan tidak ada satupun perawi yang tsiqah (terpercaya) yang meriwayatkannya. Sehingga dihukum sebagai maudhu’ atau palsu. 2) Pengakuan dari pemalsu hadis, seperti pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam, bahwa ia telah memalsukan hadis hadis tentang keutamaan al Qur’an. Begitu pula dengan pengakuan Abdul Karim bin Abi Auja’ yang mengaku telah memalsukan 4000 hadis.

3) Fakta-fakta yang disamakan dengan pengakuan pemalsuan hadis, contohnya seorang perawi meriwayatkan dari seorang syekh, padahal ia tidak pernah bertemu dengannya atau ia lahir setelah syekh itu meninggal dunia, atau ia tidak pernah berkunjung ke rumah syekh. Hal tersebut dapat diketahui dari sejarah hidup mereka dalam kitab-kitab yang khusus membahasnya.

4) Dorongan emosi pribadi perawi yang mencurigakan serta ta’ashub terhadap suatu golongan. Contohnya seorang syi’ah yang fanatik kemudian ia meriwayatkan sebuah hadis yang mencela para sahabat atau mengagungkan ahlu bait secara berlebihan.

Kepalsuan sebuah hadis dari sisi matan, dapat diketahui melalui : 1) Tata bahasa dan struktur kalimat yang jelek. Padahal Nabi saw dianugrahi Allah Jawami’ul Kalim atau kata ringkas yang mencakup arti dan makna yang luas. 2) Isi hadisnya bertentangan dengan hukum akal atau logika. 3) isi hadisnya bertentangan dengan kaidah kaidah akhlaq yang umum. 4) Isinya bertentangan dengan fakta fakta yang dapat diindra oleh manusia. Contohnya hadis palsu berikut ini, ان سفبنة نوح طفت با لبيت سبعا و صلت خلف المقام ركعتين Artinya, Adalah kapal Nabi Nuh as mengelilingi Ka’bah tujuh kali, lalu shalat dua reka’at di belakang maqam Ibrahim.

5) Bertentangan dengan al Qur’an dan hadis, contohnya adalah hadis maudhu’ (palsu) berikut ini : ولد الزنا لا يدخل الجنة الى سبعة ابناءذ Artinya, Anak zina tidak dapat masuk surga sampai tujuh keturunan. Hadis palsu ini bertentangan dengan al Qur’an surat Fathir, ayat 18 yang berbunyi : و لا تزر وازرة وزر اخرى Artinya, Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

6) Isinya bertentangan dengan fakta sejarah secara umum maupun bertentangan dengan fakta sejarah pada zaman Rasulullah Saw., contohnya hadis yang mengatakan bahwa Nabi saw membatalkan kewajiban membayar jizyah (pajak) atas orang Yahudi Khaibar yang katanya ditulis oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan disaksikan oleh Sa’ad bin Mu’adz.

Padahal telah mafhum diketahui dalam sejarah bahwa jizyah itu belum disyari’atkan pada saat perang Khaibar terjadi. Perang Khaibar terjadi pada tahun ke-7 Hijriah, sedangkan jizyah baru disyari’atkan pada tahun ke-9 Hijriyah pada saat perang Tabuk. Lucunya lagi, di dalam hadis palsu itu disebutkan bahwa Sa’ad bin Mu’adz menjadi saksi, padahal Sa’ad bin Mu’adz telah meninggal dunia ketika perang Khandaq (tahun ke-5 Hijriyah) atau dua tahun sebelum petistiwa perang Khaibar.

Di sisi yang lain, Mu’awiyah bin Abi Sufyan baru masuk Islam pada saat Fathu Mekkah tahun ke-8 Hijriyah, bagaimana mungkin Mu’awiyah bin Abi Sufyan menulis pembatalan jizyah pada perang Khaibar, sedangkan ia pada saat itu masih belum Islam.

7) Menyebutkan pahala yang terlalu besar untuk amal yang terlalu ringan. Atau menyebutkan adzab yang terlalu berat terhadap dosa yang terlalu kecil. Para ulama ahli hadis yang dapat mendeteksi kepalsuan hadis melalui ilmunya yang mendalam tentang hadis.

Sementara faktor penyebab munculnya hadis maudhu’ adalah: 1) Usaha kaum Zindiq yang membenci Islam. 2) Pertentangan politik. 3) Ashabiyah atau kefanatikan kelompok yang ultra. 4) Upaya mempengaruhi kaum awam dengan kisah kisah dan nasihat nasihat yang dibuat buat. 4) Perselisihan dalam Fikih dan Ilmu Kalam. 5) Membangkitkan gairah beribadah, tanpa pertimbangan nilai nilai kebenaran dalil. 6) Menjilat Penguasa atau pihak tertentu.

Adapun upaya-upaya yang dilakukan ulama ahli hadis untuk penyelamatan hadis dari kepalsuan adalah: Memelihara sanad hadis, menerangkan keadaan para perawi, mengetahui tokoh tokoh pemalsu hadis, studi kritik sanad dan rawi, meningkatkan kesungguhan dalam meneliti hadis, mengetahui kriteria hadis maudhu’, menyelidiki dan membongkar praktek pemalsuan hadis, membuat kaidah kaidah tentang hadis maudhu’.

Sedangkan beberapa kitab yang memuat hadis maudhu’ di antaranya, kitab Al Maudhu’ Al Kubra, karya imam Ibnu al Jausy, ini kitab tertua yang memuat tentang hadis hadis maudhu’ (palsu). Kitab Al La’ali Al Mashnu’ah fi Al Hadits Al Maudhu’ah karya imam Jalaluddin al Suyuthi. Kitab Tanzihu Al Syari’ah Al Marfu’ah ‘An Al Hadits Al Syari’ah Al Maudhu’ah, karya imam Ibnu ‘Iraq Al Kittani. Kitab Silsilah Al Hadits Al Dha’ifah wa Al Maudhu’ah, karya Nashruddin Al Baani.

Keabsahan dalil hukum harus ditakar eksistensi dan tingkat kualitasnya. Harus diuji maudhu’ (palsu) atau asli, sehingga akhirnya dapat disimpulkan, apakah hadis tersebut maqbul (dapat diterima) atau mardud (ditolak) untuk digunakan sebagai dalil hukum. Wallahu’alam. WASPADA.id

Penulis adalah Dosen Hadits Ahkam dan Hukum Keluarga Islam di Asia Tenggara Pascasarjana IAIN Langsa

  • Bagikan