“Ternyata Benar Aceh Utara Itu Miskin”

  • Bagikan
“Ternyata Benar Aceh Utara Itu Miskin"

“Sebenarnya APBK kita itu hanya Rp324,2 miliar saja. Karena hanya yang sebanyak itu yang bisa digunakan bebas. Sedangkan sisanya Rp2,195 teriliun adalah anggaran yang tidak dapat diganggu gugat, karena peruntukan anggaran tersebut sudah jelas. Dan bahkan uang Rp2,195 triliun itu tidak masuk ke kas daerah dan hanya ditulis dan tidak seperti yang terbaca di buku APBK”

KETERANGAN di atas disampaikan oleh Kepala Bidang Anggaran dari Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Kabupaten Aceh Utara, Rabu (25/1) siang di ruang kerjanya. Lebih jauh Nazar Hidayat menceritakan postur atau kondisi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sesuai yang tertera di dalam buku APBK senilai Rp2,5 tiriliun itu.

Dari dana Rp2,5 tiriliun tersebut sebagian besar adalah dana yang tidak bisa digunakan secara bebas. Rincian dana yang tidak dapat digunakan bebas adalah dana BLU Rp110 miliar lebih, JKN yang ada di Puskesmas Rp50 miliar lebih, dana zakat di Baitul Mal Aceh Utara Rp12 miliar lebih.

Kemudian dana BOS Rp80 miliar, dana desa (DD) Rp620 miliar, ADG Rp92 miliar, DAK Fisik Rp.177 miliar, DAK Non Fisik dan BOK Rp347 miliar. Selanjutnya, DOKA yang sudah ditetapkan oleh Provinsi Aceh Rp44 miliar, dana bagi hasil ke gampong (desa) Rp3,4 miliar di luar ADG yang dipotong 10 persen dari PAD.

Kemudian setoran yang harus dibayar setiap tahun ke PLN untuk Penerangan Jalan Umum (PJU) setiap tahun Rp15 miliar. Selanjutnya, dana yang wajib mengikat itu adalah gaji PNS, ASN, PPPK, gaji dewan, gaji bupati dan wakil bupati totalnya Rp2,1 triliun.

“Setelah kita kurangi anggaran yang saklek dan tidak dapat diganggu gugat itu sebanyak Rp2,1 triliun, maka sisa anggaran yang dapat dipergunakan bebas senilai Rp324 miliar. Uang yang ada dalam kas daerah berjumlah sebanyak itu Rp324 miliar saja, yang lainnya hanya tercatat seperti yang terbaca di buku APBD,” ucap Nazar Hidayat.

Masih menurut Nazar Hidayat, di dalam anggaran Rp324 miliar itu dipergunakan untuk hal-hal yang sudah menjadi rutinitas yang harus dibayar pihaknya seperti biaya listrik kantor, BBM kantor, tenaga kontrak yang dibayar 7 bulan dalam setahun butuh dana Rp14 miliar, TPP juga menjadi rutinitas setiap tahun. Selanjutnya tupoksi kantor dan tupoksi dinas.

“Jadi, uang Rp324 miliar itu kita bagi kepada 60 SKPD dan termasuk 27 kecamatan di dalamnya. Inikan bukan yang besar kalau pembangiannya seperti itu,” sebutnya.

Tidak hanya sampai di situ, dari dana Rp324 miliar itu juga membayar honor mukim gampong, tunjangan tengku imum kecamatan, honor guru dayah, honor tenaga Satpol PP, biaya Damkar.

Nah, kata Nazar, kalau ada pertanyaan, apakah cukup dana Rp324 miliar itu untuk memenuhi berbagai kebutuhan di Aceh Utara, maka jawabnya tidak cukup, karena anggaran bebas tersebut sangat minim dan sangat kurang. Banyak sekali persoalan yang tidak bisa ditangani dengan uang yang hanya Rp324 miliar.

“Di luar Rp324 miliar penggunaannya seperti yang sudah saya sebutkan tadi. Semuanya sudah ditetapkan peruntukannya masing-masing dan tidak mungkin kita otak atik Rp2,1 triliun itu. Apa pun cerita dana Rp2,1 triliun itu tidak ada dalam kas daerah. uang yang ada di kas daerah hanya Rp324 miliar saja. Dan di Rp324 miliar itu dipergunakan untuk berbagai kewajiban-kewajiban. Sudah menjadi anggaran rutin yang harus kita bayar,” imbuh Nazar Hidayat.

Ditanya, dari mana sumber anggaran untuk melaksanakan pembangunan cotnohnya membangun jalan, jembatan dan lainnya, Nazar mengatakan, untuk pembangunan seperti itu ada anggaran yang tersedia di DAK fisik dan di DOKA. Semuanya ada pembagiannya masing-masing. Jika berharap dari dana APBD maka angkanya sangat kecil.

“Dari postur APBK yang sudah saya terangkan tadi, saya secara pribadi melihat bahwa Aceh Utara dalam kondisi miskin. Artinya, kemampuan viskal kita belum sanggup kita penuhi kebutuhan minimal masyarakat,” sebutnya lagi.

Dengan beragam permasalahan yang dimiliki Aceh Utara saat ini, maka kata Nazar Hidayat, seharusnya Aceh Utara harus memiliki dana bebas Rp1 triliun. Mengapa demikian, jika diperbandingkan dengan kabupaten atau kota tetangga, contohnya Kota Lhokseumawe dengan APBK sekitar Rp700 miliar yang hanya memiliki4 kecamatan dan 68 gampong (desa). Sementara Aceh Utara memiliki 27 kecamatan di dalamnya terdapat 852 gampong dengan luasan daerah 3200 Km2 dan berpenduduk 600 ribu jiwa, maka anggaran bebas yang dimiliki Aceh Utara Rp324 miliar sangat minim dan timpang.

“Kalau perbandingannya lima kali, maka 700 miliar dikalikan lima, tapi kalau perbandingannya dengan jumlah desa, maka ada berpuluh-puluh kali perbandingan. Aceh Utara butuh dana bebas Rp1 triliun, baru kemudian mampu menjawab persoalan yang ada,” terangnya.

Ditanya adakah upaya khusus yang dapat dilakukan untuk mendapatkan dana bebas Rp1 triliun itu, Nazar Hidayat mengatakan sangat berat. Pasalnya, ada potensi pendapatan di daerah tapi sudah menejadi kewenangan provinsi dan pusat, meskipun secara kewilayahan berada di Aceh Utara. Ada ketentuan dan perundang-undangan yang telah mengatur tentang hal itu.

“Ada potensi pendapatan dari sektor periklanan tidak bisa kita pungut karena ada yang menjadi kewenangan provinsi dan pusat. Dari hasil yang mereka dapatkan kita hanya memperoleh bagi hasil saja. Andalan kita saat ini hanya ditransfer pusat yaitu DAU dan DAK kemudian dari transfer provinsi yaitu DBH dan DOKA. Seandainya dari dua sumber itu tidak ada, maka kita tidakbisa berbuat apa-apa,” tutur Nazar Hidayat.

Dari DAK lah, sebut Nazar, Aceh Utara terbantu dana untuk membuat jalan, jembatan, sekolah dan lain-lain. Pada tahun ini, Aceh Utara hanya menerima jatah DAK Rp44 miliar. Sedangkan pada tahun sebelumnya Aceh Utara menerima di atas Rp100 miliar. Jumlah Rp44 miliar terjadi setelah pengurangan DAK dari 2 menjadi 1 persen terhitung sejak tahun 2023 hingga 2027 nanti. DAK itu bersumber dari DAU nasional.

“Setelah tahun 2027 tidak ada lagi DAK yang diterima oleh Aceh dan seluruh kabupaten/kota,” kata Nazar lagi.

Sekali lagi, pada kesempatan ini, ingin saya sampaikan, sebut Nazar, inilah kenyataan dari APBK Aceh Utara. Dari angka Rp2,5 triliun hanya Rp324 miliar yang dapat digunakan bebas. Selebihnya telah terikat dengan kebutuhan tertentu.

“Jangan melihat angka yang tertera di buku APBD Rp2,5 triliun, tetapi lihatlah berapa dana bebas yang dimiliki Aceh Utara. Saya berharap masyarakat dapat memahami kondisi keuangan Aceh Utara saat ini. Dan DAU yang menjadi jatah Aceh Utara setiap tahun, mulai tahun 2023 sudah ditentukan penggunaannya yaitu dijatahkan untuk tiga bidang saja yakni untuk kesehatan, pendidikan dan pekerjaan umum. Diluar tiga bidang tersebut tidak boleh.”

Yang paling menyulitkan Pemda Aceh Utara adalah untuk gaji PNS telah ditetaplkan dalam DAU sebanyak 12 bulan, namun Pemda Aceh Utara diwajibkan membayar 14 bulan yaitu gaji 13 dan THR. Dan kebutuhan itu harus dipenuhi oleh pemerintah daerah.

“Kondisi ini hampir sama dengan seluruh kabupaten/kota di seluruh Indonesia, kecuali daerah yang memiliki dana viskal yang tinggi. Mereka memiliki sumber penghasilan yang tinggi, contoh daerah perkotaan seperti Kota Medan. Mereka tidak begitu masalah dengan kondisi keuangan ini, karena pendapatan mereka besar dari berbagai penghasilan seperti pariwisata, perhotelan, hiburan, restoran, bioskop dan parkiran dan berbagai pendapatan lainnya. Orang Aceh adalah penyumbang terbanyak untuk PAD Kota Medan, buktinya masyarakat Aceh gemar memakai plat BK yang pajaknya dibakar ke sana semua,” sebut Nazar sedih.

WASPADA.id/Maimun Asnawi, SH.I.,M.Kom.I

FOTO: Kepala Bidang Anggaran dari DPKKD Aceh Utara, Nazar Hidayat. Waspada/Ist

  • Bagikan