Tafakur Kumandang Takbir Idulfitri: Refleksi Atas Jati Diri Dan Kemanusiaan

Oleh Dr. Tgk. H. Zulkarnain, MA (Abu Chik Diglee)

  • Bagikan
Tafakur Kumandang Takbir Idulfitri: Refleksi Atas Jati Diri Dan Kemanusiaan

Jika kumandang takbir sayup-sayup bergema, merdu dan syahdu. Itu pertanda matahari terakhir bulan Ramadan 1445 Hijriah telah terbenam, Maghrib pertama bulan Syawal pun akan tiba. Idul Fitri akan menjelma dalam wujud isyarat hilal baru di atas ufuk senja.

Pada saat itu, kumandang takbir akan bergema, dan di kala itu, Ramadan telah pergi jauh meninggalkan kita. Ia pergi untuk waktu yang lama, sebelas bulan ke depan baru dapat kembali menyapa. Tidak ada di antara kita yang tahu, apakah kita masih beruntung untuk bisa kembali berjumpa dengannya atau tidak.
Wallahu’alam, hanya Allah Swt yang Maha Mengetahui hakikat sejatinya sesuatu, kita hanya hamba hamba-Nya yang lemah.

Di dalam surat al Baqarah ayat 185 Allah Swt berfirman : و لتكملوا العدة و لتكبروا الله على ما هداكم و لعلكم تشكرون. Artinya, dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. Mengumandangkan takbir di akhir Ramadhan pada saat hilal bulan Syawal telah tiba, merupakan perintah Allah atas hamba hamba-Nya yang beriman.

Kumandang takbir Idulfitri, bukanlah kumandang takbir yang biasa, ada getaran yang mengguncang batin, membawa tetesan air mata keharuan, kesedihan dan kebahagiaan. Semuanya mengakumulasi menjadi satu dalam rengkuhan jiwa. Sedih karena ditinggalkan Ramadan, haru karena berpengharapan untuk bisa ketemu kembali dengan Ramadan tahun berikutnya dan gembira penuh sukacita, karena telah kembali suci, menemukan jati diri kemanusiaan. Kumandang takbir Idulfitri adalah kumandang takbir yang terlahir dari jiwa-jiwa yang telah tersucikan oleh basuhan ibadah puasa, tarawih, berbagi bukaan, dzikir, do’a, lantunan bacaan ayat ayat suci Alqur’an, zakat fitrah, dan berbagai amal shalih lainnya.

Idulfitri adalah hari merayakan kemenangan, karena umat Islam telah berhasil melampaui masa-masa sulit bergulat melawan dan mengekang hawa nafsu serta godaan iblis untuk tidak makan, minum, menyalurkan hasrat biologis di siang hari, tidak bertutur kata rafats (kotor), dan tidak berbuat lagha (hal yang sia sia). Selain itu, Idulfitri adalah manifestasi kemenangan iman, akal sehat, dan ilmu atas gejolak hawa nafsu buruk yang liar.

Di samping itu, Idulfitri perpaduan dua kata Arab yaitu ied (عيد ), yang artinya kembali atau merayakan dan fitri ( فطر), yang artinya pemecahan, pemutusan, suci, dan berbuka. Umat Islam kembali berbuka dan sarapan pagi seperti biasa, setelah sebulan penuh selama Ramadan mereka hanya berbuka setelah matahari terbenam di waktu Maghrib tiba. Dengan Idulfitri, umat Islam telah kembali suci dan telah kembali kepada fitrah kesadaran terdalam tentang kemanusiaannya. Karena hal tersulit di dalam kehidupan manusia adalah memanusiakan manusia atau memanusiakan dirinya sendiri.

Mengembalikan kesadaran jati diri, bahwa manusia adalah makhluk sosial berakal budi, yang seharusnya mengabdi kepada Allah Yang Maha Pencipta. Sangat tidak pantas jika manusia sebagai makhluk sosial berakal budi, mewujud menjadi homo homoni lupus est (manusia adalah serigala bagi manusia lain) seperti yang dikatakan oleh Plautus di dalam karyanya yang berjudul Asinaria (195 SM).

Lihatlah bagaimana kenestapaan perih saudara-saudara kita di Gaza Palestina, mereka belum dapat merasakan kegembiraan Idulfitri 1445 Hijriah sebagaimana mestinya, karena ulah keserakahan, kebiadaban, dan keganasan zionis Israel terhadap mereka. Dengan Idulfitri orang-orang Islam dan beriman, dikembalikan kepada prinsip homo homoni socius (manusia adalah sahabat yang sakral bagi manusia lain), sebagaimana yang disebutkan oleh Seneca. Dengan demikian, kemakmuran dan kesejahteraan bumi serta peradaban yang ada di atasnya, akan terpelihara kelestariannya.

Di akhir Ramadan sebelum shalat Idulfitri ditegakkan, umat Islam telah diwajibkan secara syari’at untuk menunaikan zakat fitrah. Ibadah zakat fitrah adalah ibadah yang mencerminkan kepekaan dan kepedulian sosial. Karena realitas sosial kehidupan, ikut bercerita tentang orang-orang fakir dan miskin, yang sangat membutuhkan uluran tangan saudara-saudaranya yang lebih beruntung. Berbahagia dan beruntunglah kita, jika mampu membahagiakan kedua orangtua, saudara, karib kerabat, fakir dan miskin. Karena dengan cara itu, kita bisa merasakan arti eksistensi dari kehidupan.

Para hamba Allah yang tidak memiliki kepekaan sosial, egois, dan serakah, sejatinya adalah para budak nafsu yang berjiwa kelam, hitam, dan pekat. Idulfitri juga medium yang dapat mengantarkan seorang hamba yang beriman untuk kembali menemukan nilai-nilai kedamaian dalam silaturahmi dan rajutan kasih sayang keluarga, sanak saudara, karib kerabat, jiran tetangga, dan handai tolan. Idulfitri membuat para hamba Allah yang merantau jauh, teringat kepada kedua orangtua dan kampung halamannya.

Kemudian, Idulfitri mampu menggugah kenangan dan memperbaharui ingatan akan setiap ikhtiar kehidupan, dengan segala riak dan tantangan gelombang kehidupan yang dihadapi. Idulfitri membuat ribuan orang rela mudik, karena diterpa kerinduan akan kampung halaman.

Jika tidak ada lagi ayah bunda di kampung halaman, paling tidak di kampung halaman masih menyisakan sanak keluarga dan pusara yang perlu untuk dikunjungi dan diziarahi. Idulfitri tahun 1445 Hijriah adalah Idulfitri yang ke 1443 kali dalam interval waktu tahun Hijriah. Karena Idulfitri untuk pertama kali ada di tahun ke-2 Hijriah, bertepatan dengan selesainya perang badar yang dimenangkan oleh kaum Muslimin.

Dalam hitungan Masehi atau Miladiah, Idulfitri telah berlangsung 1400 kali sejak pertama diadakan Idulfitri pada tahun 624 Miladiah. Merujuk kepada hadits riwayat imam al Bukhari dari sahabat Jubair Bin Nufair (جبير بن نفير), pada era Nabi Saw dan para sahabat, perayaan Idulfitri dan Iduladha diiringi do’a saling mengucapkan تقبل لله منا و منكم .

Artinya, semoga Allah menerima ibadah kami dan menerima ibadah kamu (Lihat imam Ibnu Hajar al Asqalani, Fath al Baari Syarh Shahih al Bukhari, Jilid,2, Kitab al ‘Idain, Bab,13, Beirut, Dar al Ma’rifah, t.t., halaman, 439-463). Pada era dinasti Abbasiyyah berdasarkan tulisan Robin Santos Doak di dalam bukunnya Empire Of The Islamic World, perayaan Idulfitri di Baghdad dipenuhi gema suara takbir yang menyentuh kalbu, dan perayaan itu dimeriahkan dengan berbagai macam atraksi keahlian, seperti bermain pedang, melempar tombak, adu ketangkasan memanah, lomba pacuan kuda, pembacaan sya’ir sya’ir yang berisi nasihat agama dan wawasan keilmuan.

Selain itu, Ege Yayinlari di dalam bukunya Discover Islamic Art In The Mediterranean menuliskan, bahwa para sultan yang berkuasa dari dinasti Mamluk (1250-1517 M) di Mesir membagi-bagikan pakaian, uang, dan berbagai hadiah yang menyenangkan dan menggembirakan bagi seluruh rakyat pada saat Idulfitri. Di India pada era dinasti Mughal, para sultan turun ke jalan-jalan, berarak-arakan bersama masyarakat umum, sehingga para fakir dan miskin bisa bergembira bersama, berbaur yang kaya dan miskin dalam meneguk dahaga kebahagian Idulfitri.

Pada era dinasti ottoman di Turki, gema takbir Idulfitri di awali oleh dentuman tembakan meriam sebagai isyarat hari kemenangan telah tiba, umat Islam bersukaria karena mereka telah berhasil menundukkan nafsu jahat yang liar pada dirinya. Di Indonesia negeri kita tercinta, kumandang takbir bergema di seluruh pelosok negeri, dimulai dari istana dan masjid Istiqlal di kota Jakarta, sampai surau-surau dan meunasah-meunasah kecil di dusun-dusun.

Shighat atau bentuk lafadz takbir di dunia Islam juga bervariasi, ada yang panjang dan ada yang pendek. Ada yang mengikuti shighat takbir dari Abdullah Bin Mas’ud berikut ini الله اكبر الله اكبر لا اله الا الله و الله اكبر الله اكبر و لله الحمد atau الله اكبر الله اكبر الله اكبر لا اله الا الله الله اكبر و لله الحمد. Ada yang merujuk kepada shighat takbir Abdullah Ibnu Abbas berikut ini الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد الله اكبر و اجل ا
الله اكبر على ما هدانا
Ada dari Salman al Farisi الله اكبر الله اكبر الله اكبر كبيرا dan ada juga yang mengumandangkan shighat takbir yang panjang.

Itulah kumandang takbir Idulfitri hari kemenangan, yang dirayakan dengan penuh khidmat dan penghayatan. Ada kesucian dan makna kemanusiaan di dalamnya.

Akhirnya penulis menyampaikan selamat Idulfitri 1445 Hijriah, semoga ridha dan insya Allah senantiasa menyertai hari-hari dalam kehidupan kita dan semoga kita terus menjadi pemenang kehidupan dengan ketakwaan yang berakhir dengan husnul khatimah. Aamiin Ya Rabbal’alamin. Wallahu’alam. WASPADA.id

Penulis adalah Dosen Hadits Ahkam dan Hukum Keluarga Islam di Asia Tenggara Pascasarjana IAIN Langsa

  • Bagikan