BI Bahas Agenda Prioritas Presidensi G20 Tentang Exit Strategy

  • Bagikan

MEDAN (Waspada): Bank Indonesia (BI) menggelar seminar yang membahas tentang agenda prioritas Presidensi G20 Indonesia di antaranya Exit Strategy to Support Recovery dan Adressing Scaring Effect to Secure Future Growth yang merupakan dua dari 6 agenda prioritas G20.

Pembahasan kedua agenda tersebut guna merumuskan kebijakan bersama untuk keluar dari krisis atau exit strategy yang tepat dan akan mampu mengatasi dampak berkepanjangan atau scarring effect akibat pandemi Ccovid-19.

Oleh karena itu, upaya untuk merumuskan exit strategy yang tepat guna mendukung pemulihan dan upaya penanganan scarring effect dalam perekonomian untuk mendukung pertumbuhan yang lebih kuat di masa depan.

Seminar Strategic Issues in G20: Exit Strategy dan Scarring Effect Post Covid-19 dengan menghadirkan Leader’s Insight Gubernur BI, Perry Warjiyo, Keynote Speech & Welcoming Remarks Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo dan Gubernur Sumatera Utara, H. Edy Rahmayadi, serta narasumber Seminar, Kepala Bank Indonesia Institute, Yoga Affandi, Pendiri CORE Indonesia, Hendri Saparini, Ph.D, Ketua ISEI Medan, Prof. Dr. Ramli SE, MS, yang digelar secara online dan offline di Hotel Adi Mulia Medan, Senin (21/3).

Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo menyampaikan, pemerintah telah mengidentifikasi 3 agenda utama dalam rangka mewujudkan G20 Concrete Collaboration tersebut, yakni: 1) Global Healh Architecture, Digital transformation, dan Energy transition.

Selain itu, Indonesia juga mengusung 6 Agenda Prioritas Jalur Keuangan dalam Presidensi G20 Indonesia 2022, dengan fokus dan gambaran ouput yang akan dihasilan, antara lain mencakup Exit Strategy to Support Recovery; Adressing Scaring Effect to Secure Future Growth; Payment System in Digital Era; Sustainable Finance; Financial Inclusion; dan International Taxation.

“Exit Strategy to Support Recovery, membahas bagaimana G20 melindungi negara-negara yang masih menuju pemulihan ekonomi (terutama negara berkembang) dari efek limpahan (spillover) exit policy yang diterapkan oleh negara yang lebih dahulu pulih ekonominya (umumnya negara maju),” ujarnya.

Kemudian Adressing Scaring Effect to Secure Future Growth, bagaimana mengatasi dampak berkepanjangan (scarring effect) krisis dengan meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan jangka panjang, memperhatikan ketenagakerjan, rumah tangga, sektor korporasi, dan sektor keuangan.

Terkait exit strategy, lanjutnya, untuk memitigasi dampak pandemi dan menopang perekonomian, negara-negara di seluruh dunia telah mengeluarkan kebijakan fiskal, moneter, dan peraturan yang sifatnya extraordinary dan belum pernah terjadi sebelumnya untuk melindungi masyarakat dan dunia usaha.

“Saat ini, kegiatan ekonomi mulai berangsur pulih. Namun, pemulihan tersebut tidak berjalan dengan laju yang sama atau tidak sinkron. Di negara maju, pertumbuhan ekonomi pulih lebih cepat disertai inflasi yang juga melonjak,” sebutnya.

Kondisi demikian, lanjutnya, mendorong negara maju melakukan normalisasi kebijakan lebih dulu antara lain dengan menaikkan suku bunga kebijakan. Implikasinya bisa signifikan, karena berpotensi mendorong arus keluar modal dari negara berkembang di tengah kebutuhan pembiayaan yang besar untuk mendukung pemulihan.

“Kondisi ini menandakan perlunya exit strategy yang terkalibrasi dengan baik (well calibrated), terencana (well planned) dan terkomunikasikan dengan baik (well communicated) untuk recover together, recover stronger,” ucapnya.

Terkait scarring effect, Pandemi Covid-19 telah menyebabkan gangguan ekonomi global yang mendalam, baik di sisi penawaran maupun permintaan. Pandemi telah menyebabkan perubahan struktural dari aspek investasi yang tertunda tidak hanya modal fisik, namun juga human capital. (m31)

  • Bagikan