“Saya Disebut Gila”

  • Bagikan
Pimpinan Dayah Modern Arun (DAMORA) Ustadz Arif Rahmatillah Jafar, Lc. Dipl. M.E.I bertausiyah di SMA Negeri 3 Putra Bangsa Aceh Utara di Lhoksukon dalam acara Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Waspada/Maimun Asnawi
Pimpinan Dayah Modern Arun (DAMORA) Ustadz Arif Rahmatillah Jafar, Lc. Dipl. M.E.I bertausiyah di SMA Negeri 3 Putra Bangsa Aceh Utara di Lhoksukon dalam acara Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Waspada/Maimun Asnawi

“Semua buku pelajaran milik saya, saat sekolah di MTsN Matang Geulumpang Dua, saya bawa keluar dan saya tumpuk di halaman rumah. Lalu saya siram minyak tanah. Saya ingin membakar buku-buku tersebut sambil mengatakan, good bye…saya tidak akan pernah sekolah lagi. Tapi keinginan itu berhasil dicegah oleh ayah saya.”

CERITA itu keluar dari mulut Pimpinan Dayah Modern Arun (DAMORA) Ustadz H Arif Rahmatillah Jafar, Lc. Dipl. M.E.I saat memberikan tausiah pada peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad Saw di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Putra Bangsa Kabupaten Aceh Utara di Lhoksukon, Selasa (12/12) pagi dengan tema ‘Semoga Terjadi Restorasi Mental Gen-Z Seperti Watak rakyat Aceh tempo Doeloe’

Lalu perlahan-lahan Ustadz Arif mengulang kisah hidupnya di hadapan ratusan pelajar dan tamu undangan. Dia memberitahukan bahwa dia hidup bersama orang tuanya di gampong (desa) dan menimba ilmu pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) yang ada di desanya.

Selesai dari sana, Arif melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Matang Geulumpang Dua, Kabupaten Bireun (dulu masih Aceh Utara). Lulus dari MTsN tersebut, Arif berkeinginan melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah (MA) di Banda Aceh. Saat mengutarakan keinginan tersebut kepada ayahnya, Arif tidak mendapat restu, karena dominan anak-anak yang bersekolah di MA tersebut merupakan anak-anak dari kalangan orang berada. Sedangkan Arif berasal dari keluarga miskin.

“Ayah…izinkan saya untuk tes ujian masuk saja. Kalau saya lulus, maka Alhamdulillah dan jika pun tidak lulus, tidak menjadi masalah dan saya puas. Tapi ayah saya tetap melarang dan tidak memberi restu. Kondisi itu membuat saya merajuk hingga saya tidak mau makan, tapi begitu ayah dan ibu saya pergi ke sawah saya keluar kamar dan makan. Pulang ayah dan ibu dari sawah, saya pura-pura lemas lagi dan mengurung diri,” cerita Arif mengenang masa lalu yang disambut tawa hadirin.

Karena sudah berkali-kali minta izin untuk ikut tes ujian masuk ke MA tidak mendapat restu dari orang tua, akhirnya Arif mengambil semua buku-bukunya saat belajar di MTsN dan ditumpuk di halaman rumah. Lalu buku-buku itu disiram dengan minyak tanah sambil mengucapkan good bye…dan berjanji tidak akan pernah sekolah lagi.

Melihat kegilaan anaknya itu, akhirnya ayahnya pun luluh dan melarang Arif membakar buku-bukunya itu dan mengizinkan Arif untuk ikut ujian masuk ke MA yang dinginkan Arif. Mendengar itu, Arif mengaku bahagia dan tersenyum. Keeskokan harinya dia berangkat untuk ikut ujian masuk dan hasilnya Arif berhasil lulus.

“Dari 400 peserta saya lulus dan nama saya ada di nomor 23. Padahal waktu itu saya tidak bisa berbahasa Indonesia. Maklum saya orang kampung dan sehari-hari berbicara Bahasa Aceh, tapi ternyata itu bukan sebuah kendala,” ucap Ustadz Arif.

Setelah 3 tahun menimba ilmu di MA tersebut, Arif lulus dan ketika itu, teman-teman seangkatan dengannya berangkat melanjutkan pendidikan ke Mesir. Dan Arif pun memiliki keinginan yang sama; ingin melanjutkan pendidikan ke Mesir. Setelah mengambil ijazah, Arif kecil pulang ke kampungnya di Matang Geulumpang Dua. sampai di rumah, Arif kembali mengutarakan keinginannya melanjutkan pendidikan S1 nya di Mesir.

“Ayah…bolehkah Arif melanjutkan pendidikan ke Mesir ayah. Lalu ayah saya menjawab, boleh katanya. Tapi ayah melanjutkan, bukan ke Mesir tapi ke Meuse boleh. Meuse itu kata ustadz Arif, nama sebuah gampong (desa) di kawasan Krueng Panjo. Artinya, ayah tidak mengizinkan saya ke Mesir,” sebut Ustadz Arif yang kembali disambut tawa hadirin.

Namun begitu, Arif kecil tidak berputus asa. Ada seseorang yang mengajak dirinya untuk belajar Bahasa Arab dan menghafal Qur’an dengan cara mondok 2 tahun. Sambil belajar di pondok tersebut, Arif kembali coba-coba ikut tes di Universitas Azman di Yaman dan hasilnya lulus tapi tidak bisa berangkat karena tidak punya biaya. Tapi Arif kembali ikut tes di Universitas Antar Bangsa di Sudan dan kembali lulus dan dipanggil.

“Karena lulus dan saya ingin sekali ke Sudan, maka saya cari beasiswa ke PT Arun NGL. Kebutuhan biaya tiket pesawat Rp.6 juta. Bantuan yang diberikan PT Arun hanya Rp.1 juta. Tapi setelah keluarga mencari ke sana kemari,uang Rp.6 juta terkumpulkan. Begitu beli tiket, harganya naik menjadi Rp.12 juta. Itu tahun 1998. Karena itu saya gagal berangkat dan cita-cita saya ke sudah kandas, tapi saya selalu berdoa kepada Allah agar saya bisa sekolah di luar negeri,” kata Ustadz Arif mengenang.

Saat sedang dihinggapi perasaan sedih, datang seseorang yang menawarkan saya ikut ke Malaysia dan sekolah di sana. Dan akhirnya saya pun ikut orang tersebut (Arif tidak menyebut nama). Berbekal biaya seadanya, Arif pergi ke Malaysia dan diterima di sebuah kampus dengan jumlah mahasiswanya 6 orang pada semester itu yang seangkatan dengannya. Tapi Arif mengaku beruntung, karena semua dosennya di sana semua orang Arab.

Saat libur kuliah, kata Arif, dia mengaku pulang ke rumah kawannya dan tinggal di sana selama empat hari. Pada hari ke empat, kata Arif, bapak pemilik rumah meminta dirinya untuk mengambil surat di kamarnya sambil memberitahukan kunci kamar tersebut. Lalu Arif bergegas menuju kamar tersebut. Sampai di dalam kamar, Arif melihat banyak sekali perhiasan dan uang ringgit. Arif mulai tergoda untuk menguasai perhisan dan uang ringgit itu.

“Meskipun saya berasal dari keluarga miskin, tapi ayah dan ibu saya selalu berpesan dan selalu melarang mengambil harta orang lain dan pesan itu berkali-kali dan setiap hari dismapaikan. Kata ayah saya, lebih susah daripada mengambil harta orang lain. Jangan dan jangan, kata ayah dulu. Dan Alhamdulillah karena teringat pesan itu, saya tidak berpikir yang aneh-aneh dan segera saya ambil surat yang dimaksud bapak pemilik rumah dan segera turun menyerahkan surat,” cerita Arif.

Setelah surat itu diterima dari Arif, bapak pemilik rumah pergi dan baru kembali setelah 2 jam. Saat pulang bapak itu tersenyum kepadanya dan Arif pun membalas senyuman tersebut. Malamnya, semua keluarga besar di rumah itu berkumpul dan mereka membuat sebuah rapat dan dalam rapat itu membahas tentang Arif.

“Setelah rapat kelaurga selesai, bapak pemilik rumah memberitahukan kalau saya diangkat menjadi anaknya dan mereka siap membiayai pendidikan saya selama kuliah di Malaysia bahkan sampai melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya sampai selesai dan sampai kapanpun. Bapak itu adalah Ketua Pengusaha Muslim Malaysia dan isterinya adalah Sekretaris di Kementerian Pendidikan Malaysia. Dengan beasiswa itu saya selesai kuliah di Malaysia selama 4 tahun,” sebut Ustadz Arif.

Lulus dari kampus itu, saya kemudian ditanya mau melanjutkan pendidikan kemana lagi dan Arif mengatakan ingin belajar ke Mesir. Dan Arif diberikan tiket pergi tanpa uang saku.karena diberi tiket, maka Arif pun pergi ke Mesir. Sebelumnya, Arif telah minta izin kepada ayah dan ibunya di Matang geulumpang Dua di Aceh Utara ketika itu. Dan hasil urunan dengan keluarga, ayahnya berhasil mengumpulkan Rp.2 juta dan dikirim untuk Arif.

Setelah mengantongi tiket, Arif dan kawan-kawannya membawa koper pakaian bak gaya orang-orang kaya. Padahal, Arif berangkat hanya berbekal uang Rp. 2 juta kiriman dari kampung dan selembar tiket pesawat. Keberangkatan saya ke Mesir diantar oleh salah seorang ustadznya saat kuliah di kampus sebelumnya. Sampai di bandara, ustadz tersebut bertanya kepada Arif.

“Arif mau ke Mesir, berapa banyak uang yang Arif bawa. Saya menjawab, kalau saya bawa uang banyak sekali Rp.2 juta. Lalu ustadz tersenyum dan mengatakan, uang Rp.2 juta itu setelah ditukar dalam ringgit maka menjadi 500 ringgit. Bagaimana bisa kamu ke Mesir, biaya sewa rumahs saja 1000 ringgit. Bagaimana dengan biaya hidup kamu di sana. Lalu saya jawab, ustadz doakan saja saya, saya tidak takut mati dan kalaupun mati, saya mati dalam keadaan menuntut ilmu dan kalau mati dalam menuntut ilmu Allah menjanjikan masuk surga,” jawab saya yakin dan teguh pendirian.

Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara petugas bandara yang memberitahukan penumpang atas nama Arif Rahmatillah tidak boleh berangkat karena tidak memiliki visa. Padahal saat pengumuman itu disampaikan, koper pakaian Arif sudah dinaikkan dalam pesawat oleh petugas. Dan petigas bandara pun bertanya, bagaimana dengan kopernya.

“Saya jawab, biarkan koper baju saya tetap di pesawat dan biarkan pakaian saya lebih dulu berangkat dan saya pasti akan menyusul ke Mesir. Pesawat berangkat dan saya pulang bersama ustadz untuk mengurus visa dengan uang Rp.2 juta kiriman orang tua,” kisahnya.

Keeskokan harinya, Arif mengurus visa dan mengahbiskan waktu hingga minggu. Uang Rp.2 juta kiriman dari kampung habis untuk keperluan pengurusan visa dan untuk membeli pakaian, karena pakaian miliknya telah diterbangkan pesawat ke Mesir. Rp.2 juta uang itu habis. “Setelah saya dapat visa dan saya berguman, saya harus pergi dan tetap harus pergi walau tanpa uang sepeserpun. Saya kembali diantar oleh ustadznya ke bandara,” kata Arif memberitahukan hadirin.

Sampai di bandara dan ketika akan naik ke pesawat, ustadznya kembali bertanya kepada Arif, benarkah kalau dia berangkat ke Mesir tanpa uang sepeserpun. Lalu Arif meminta ustadznya itu untuk memeriksa seluruh kantong celana dan bajunya untuk memastikan bahwa dia memang tidak memiliki uang sedikit pun.

“Saya tidak punya uang ustadz. Saku saya ini kosong, tapi saya tepat berangkat ustadz, Insya Allah saya berangkat. Mendengar jawaban saya itu, ustadz gelang-gelang kepala sambil mengatakan kalau saya orang gila. Orang Aceh yang gila,” katanya.

Dan ternyata rencana keberangkatan Arif pada hari itukembali gagal,karena tiket pemberian orang tua angkatnya belum terkonfirmasi. Lalu bersama dengan ustadz, Arif pulang dan mengurus tiket. Setelah mengurus tiket, ustadznya yanf setia kembali menemani Arif ke bandara. Dan hari itu, Arif benar-benar berangkat.

Ketika Arif mau naik pesawat, ustadznya kembali bertanya, apakah benar kalau Arif tidak punya uang sedikitpun, dan Arif kembali menjawab, bahwa dia hanya punya tiket pesawat dan tidak ada uang sedikitpun. Lalu Arif pamit ke ustadznya itu, tapi kemudian ustadz tersebut kembali memanggilnya.

“Hai orang gila…kemarilah. ini ambil. Ustadz menyodorkan sebuah amplot yang lumayan tebal. Ustadz kembali meberitahukan saya, amplop itu sumbangan jamaah di pengajian semalam. Setelah ustadz menceritakan kisah hidup dan kegilaan saya, para jamaah pengajian iba dan memberikan donasi mereka untuk saya. Setelah itu saya pamit pergi dan ustadzpun kembali ke rumahnya. Sampai di dalam pesawat saya membuka amplop tersebut dan setelah saya menghitung, jumlahnya 1500 dolar,” kata Arif tercengang atas kasih sayang Allah kepadanya.

Sampai di Mesir, dengan uang 1500 dolar itu, kata Arif dia menyelesaikan S1. Sebagian dari uang tersebut dijadikan modal untuk membuka usaha restoran sate Matang. Dan warung sate Matang pertama di Kairo adalah Sate Matang miliknya. Usaha itu dia jalani sambil kuliah di sana. Selesai S1 di Mesir, Arif stop beasiswa dari orang tua angkatnya di Malaysia. Dan memberitahukan orang tua angkat dan orang tuanya di kampung bahwa dia ingin menikah.

“Setelah mendapat izin orang tua, saya mencari jodoh dengan salah satu mahasiswi asal Indonesia di sana di kampus dia kuliah, dan itu harus cepat-cepat saya lakukan. Kenapa begitu, karena jumlah mahasiswa setiap tahun 450 orang dan 30 orang diantaranya mahasiswi.kalau satu menit terlambat rugi setahun,” kata Arif disambut gemuruh tawa hadirin.

Setelah itu Arif berproses untuk mencari calon istri dari salah satu adik letingnya. Dan kemudian ditemukan. Kemudian Arif bertanya kepada mahasiswi itu, apakah dia bersedia menikah dengannya dan membertahukan kalau Arif adalah pemuda miskin. Dan gadis bercadar itupun menjawab bahwa dia bersedia menikah dengan Arif. Dan Arif mengaku sama sekali tidak tahu apakah gadis itu cantik atau tidak, karena semua mahasiswi di sana pakai cadar.

“Saya menikah dan kami tidak pernah pacaran. Saat itu kami masih sama-sama kuliah. Dari rumah sama-sama berangkat ke kampus. Sampai di kampus gandengan tangan mengantarkan dia ke kelasnya. Sampai di depan kelasnya, saya cium keningnya dan dia cium tangan saya. Romantis sekali,” kata Arif sambil mengatakan, adek-adek jangan membayangkan itu, tapi selesaikan dulu pendidikan kalian.

Tidak lama kemudian, istri hamil dan melahirkan anak pertama kami di Kairo. Saat isterinya akan melahirkan, dia membawa isterinya ke rumah sakit paling mewah di Kairo. Padahal uangnya tidak seberapa untuk biaya persalinan di rumah sakit itu. Tetapi Arif tetap yakin dan semangat bahwa dia mampu untuk membiayainya

Di rumah sakit itu, persalinan isterinya ditangani oleh spesialis kandungan, Dr dr. Aidah. S1 nya dokter spesialis kandungan, masternya bidang hadist dan doktornya bidang tafsir. Setelah selesai proses persalinan, Arif dengan semangat menanyakan biaya persalinan dan seakan-akan langsung bayar. Padahal jika diminta Arif harus pulang dan ngutang dulu ke teman-temannya. Tapi lagi-lagi, kata Arif, Allah berikan kasih sayangnya.

“dr Aidah bilang, kalau seluruh biaya persalinan sudah dilunasi oleh lembaga zakat di Kairo. Begitulah negara orang. Lembaga zakat mereka menyediakan biaya seperti itu. Biaya yang ditanggung lembaga zakat Kairo untuk istri saya lebih dari Rp.20 juta. Dan perlu saya sampaikan di sini, kalau kita semangat, Allah pasti kasih jalan,” kata Arif mengingatkan dengan nanda ditekan.

Setelah lahir anak pertamanya, Arif dan istrinya sepakat untuk pulang ke Aceh, tapi visanya telah 2 tahun mati. Kalau tertangkap petugas maka dipenjara bawah tanah. Tapi dengan modal nekat, Arif berangkat ke Imigrasi bersama istri dan anaknya. Sampai di sana,petugas imigrasi memberitahukan kalau visanya telah mati dua tahun lalu. Dan Arif memberitahukan petugas imigrasi bahwa dia dan kelaurganya harus pulang ke Aceh, Indonesia. Dan memberitahukan bahwa Aceh baru saja dilanda tsunami dan banyak ulama di sana yang meninggal dan Arif mengaku ke petugas kalau dia ingin pulang karena ingin mengajar Ak-Qur’an kepada masyarakat menggantikan peran ulama yang sudah meninggal dalam musibah gempa dan tsunami.

“Mendengar alasan saya, petugas imigrasi itu mentes air matanya dan dia masuk ke salah salah ruangan.keluar dari ruangan itu dia menyerahkan uang 200 dollar sambil mengatakan pulanglah dan uang ini untuk jajan anakmu. Setelah itu kami pulang,” kata Arif.

Ternyata, kata Arif omongannya kepada petugas imigrasi membuat dirinya rugi. Mengapa demikian, setelah dari sana, Arif mendapat telepon dari Malaysia dan meminta Arif untuk tidak pulang ke Aceh dan kembali ke Malaysia. Di Malaysia kata orang itu telah disiapkan pekerjaan sebagao dosen di kampusnya dulu. Selain diberikan gaji 3700 ringgit per bulan juga diberikan rumah dan fasilitas hidup lainnya.

“Meskipun tergoda saya tetap pulang ke Aceh, karena saya sudah berjanji untuk pulang. Sampai di Aceh, saya mengajar dengan gaji Rp.500 ribu per bulan untuk biaya istri dan anak. Dan itu bukan masalah bagi kami. Saya berpesan kepada anak-anakku di sini, pergilah menuntut ilmu setinggi-tingginya hingga menjadi profesor di luar negeri, tapi setelah berhasil pulanglah ke Aceh. Aceh membutuhkan orang-orang cerdas. Jadilah seperitu orang Palestina, jumlah mereka sedikit tapi banyak diantara mereka yang bergelar profesor. Otak mereka cerdas-cerdas, karena mereka tidak sibuk main game. Tidak seperti kita di sini. Kemudian,kemanapun kalian pergi,jangan pernah meninggalkan shalat,” katanya.

Cita-cita Ingin Menjadi Wartawan Antar Bangsa

Kata Arif kepada pelajar SMA Negeri 3 Putra Bangsa dan tamu undangan, bahwa dirinya tidak pernah bercita-cita ingin menjadi guru, tapi cita-citanya adalah ingin menjadi wartawan antar bangsa. Kata dia, menjadi wartawan antar bangsa akan membuat hidupnya menjadi sangat indah. Betapa tidak, dalam bertugas dia akan berpindah dari satu negara ke negara lain.

“Tapi ternyata cita-cita tinggal cita-cita. Setelah lulus di Mesir kami harus kembali ke Aceh dan mengabdikan diri menjadi pengajar. Dan itu kami syukuri karena menjadi pengajar adalah profesi yang mulia. Saya pernah menjadi pimpinan di Pondok Pesantren Al Muslimun dan sekarang diperayakan menjadi pimpinan dayah Modern Arun (DAMORA),” katanya.

Minta DPRA Dan Pemerintah Aceh Tambah Jam Pelajaran Agama Di Sekolah Umum

Jujur, kata Arif Rahmatillah Jafar, kalau saat ini dirinya merasa sedih dan miris, jam pelajaran pendidikan agama di sekolah umum hanya 3 jam pelajaran. Dengan 3 jam tersebut, masyarakat berharap akan tumbuh anak yang saleh, dengan 3 jam tersebut akan muncul anak-anak yang hormat pada guru, dengan 3 jam tersebut diharapkan akan tumbuh generasi pejuang masa depan, dan dengan 3 jam pelajaran agama di sekolah diharapkan lahir pemimpin masa depan yang taat agama.

“Ada cerita miris dan cerita ini nyata adanya. Saya pernah tes salah seorang guru agama yang lulus mengajar disalah satu lembaga pendidikan agama islam, dan setelah saya tes ternyata dia tidak bisa mengaji. Miris tidak, sedih tidak,” tanya Arif.

“Saya melalui panggung kecil ini meminta Anggota DPR dan Pemerintah Daerah untuk menambah jampelajaran agama islam di sekolah-sekolah umum. Anak-anak SMA sederajad baru dinyatakan lulus kalau sudah bisa mengaji. Kalau tidak, jangan banyak bicara.”

Arif melanjutkan, dulu para pejuang Aceh dengan heroik mengusir (menyerang) penjajah dari Bumi Serambi Mekah. Mereka itu seperti Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Teuku Umar dan lain sebagainya, tapi sekarang, sambung Arif, orang Aceh malah mengundang penjajah ke negerinya sendiri.

Saat ini, kata Arif, tanpa sadar telah terjajah oleh pola pikir negatif yang sengaja dikirim bangsa asing dengan nama liberalisme. Apa itu liberalisme yaitu hidup bebas tanpa ikatan agama. Kondisi ini telah membuat masyarakat Aceh malu hidup sebagai orang islam. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan terjadi terlalu lama dan harus segera dilawan.

Kemudian, kepada para hadirin Arif kembali minta izin bercerita kisah yang pernah dialaminya dulu waktu kembali dari Mesir dan tinggal di kampungnya di Matang Geulumpang Dua. kalau dia ingin ke Lhokseumawe, kata Arif, naik angkutan umum Bireun Exspres (BE) Cenderawasih (sekarang tinggal kenangan).

Saat naik ke angkutan umum tersebut, Arif mengaku memberi salama kepada penumpang yang lain. Dan salamnya tidak dijawab dan semua penumpang di mobil itu terdiam dan melongo. Lalu Arif mengulang salamnya lebih keras. “Assalamamualaikum,” ucap Arif. Baru kemudian salam itu dijawab tapi jawabannya nyinyir, karena mereka menganggap dirinya adalah orang yang bodoh atau seseorang yang sedang mencari sedekah.

Lalu Arif memilihtempat duduknya sambil membuka Al-Qur’an kecil untuk dibaca di dalam angkutan umum tersebut. Semua penumpang, kata Arif melihatnya dengan tatapan yang aneh. Mungkin ketika itu, kata Arif dia membaca Qur’an tanpa pakai peci ditambah lagi baju kausnya yang dimasukkan dalam celana. Tidak terlihat penampilan sebagai seorang ustadz. Kejadian ini terjadi saat usia Arif baru 24 tahun. “Semua heran meliat saya. Ini terjadi di negeri yang 100 persen melaksanakan Syariat Islam. Saya kasih salam dan membaca Qur’an di bus dianggap aneh. Ini salah satu pengaruh pola pikir liberalisme,” katanya.

Selanjutnya, Arif juga memberikan contoh bahwa masyarakat Acehtelah terjajah oleh pola pikir liberalisme yaitu gaya pakaian yang dipakai oleh gadis remaja saat ini. Mereka pakai jilbag tapi jilbabnya yang terlilit dileher hingga sulit bernafas. Ada juga yang pakai jilbat dengan satu pentol di bawah leher di bawahnya terbuka. Saat mengendarai sepeda motor jilbabnya diterbangkan angin dan terlihat lehernya.

Kisah Nyata Santri Rela Tidak Kuliah Karena Diminta Berfoto Tanpa Jilbab

Di panggung itu Arif bercerita sebuah kisah nyata yang dialami oleh salah seorang santriwatinya. Setelah lulus dari pondok pesantren, santriwatiitu mendaftar di salah satu kampus yang telah dicita-citakannya sejak kecil. Setelah mengikuti ujian masuk dan santriwati ini dinyatakan lulus di kampus itu.

Tapi untuk melanjutkan pendidikan di sana,panitia penerimaan mahasiswa baru mewajibkan setiap calon mahasiswa untuk membuat pas foto tanpa jilbab, jika tidka mau berfoto tanpa jilbab, maka dianggap gugur. Kisah yang membuat Arif ingin menceritakan kisah ini kepada para ssiwa dan tamu undangan.

Santriwati itu menolak untuk berfoto tanpa jilbab dan rela gagal kuliah di kampus kebangaannya itu. “Maaf ayah, saya tidak mau berfoto kalau harus melepaskan jilbab saya ayah. Saya ga apa-apa ayah tidak kuliah di kampus ini. Lalu ayahnya mengatakan, kenapa kamu tidak mau, kan tidak masalah hanya sebentar melepaskan jilbab. Setelah itu kamu pakai lagi. Lalu anak menjawab, kenapa ayah bisa berbicara begitu. Ayah lupa, ayah dulu membawa saya belajar ke dayah dan di selama belajar di dayah, para ustadz dan ustadzah selalu berpesan agar kami santriwati tidak boleh melepaskan jilbab, tidak boleh menampakkan aurat. Apa makna 6 tahun saya belajar agama Islam di dayah. Saya keluar ayah dan saya tidak ikut,” kata anak itu kepada ayahnya.

Tiba-tiba kata Arif, air mata ayah dari santriwati itu menetes membahasihi pipinya dan dia langsung memeluk anak gadis kesayangannya. “Ayah anak itu bercerita kepada saya. Ini kisah nyata. Ayah itu mengaku bahagia kepada saya, bahwa anaknya telah berhasil belajar agama selama di pondok yang saya pimpin. Buktinya, anaknya rela tidak kuliah kampus kesukaannya hanya karena diminta berfoto tanpa jilbab. Hikmah dari cerita ini ada pesan,lebih baik mati dripada membuka aurat,” sebut Arif.

Prostitusi Marak Di Aceh

Di ujung ceramahnya, Pimpinan Dayah Modern Arun (DAMORA) itu menyebutkan, sekarang ini di Aceh sedang marak terjadinya prostitusi yang dilakoni oleh para mahasiswi. Mengapa masalah ini bisa diketahuinya, tanya Arif, jawabnya, karena dirinya tahu dengan dunia itu. Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang tersebut kerap membangun komunikasi dan konsultasi terkait dunia gelap itu.

Hasil konfirmasi dengan lembaga yang menangani maslah tersebut, Arif mengetahui, itu terjadi di kalangan mahasiswi Aceh karena ingin mendaptkan uang tambahan karena pengaruh gaya hidup.

“Sementara kita sibuk setiap hari di masjid, generasi kita tidak terlindungi dari terkaman para pemangsa. Kita lupa ada tanggungjawab lain selain ke masjid. Maka oleh karena itu, duniapendidikan untuk apa. Dunia pendidikan perbekalan persiapan diri untuk menjadi generasi terbaik. Karena itu bagi kalian yang sedang sekolah dan kuliah jangan pikir pekerjaan. Kalau sekolah sekolah. kalau kuliah maka kuliahlah, jangan mikir kerja,’ pinta Ustadz Arif Rahmatillah Jafar. WASPADA.id/Maimun Asnawi, SH.I.,M.Kom.I

  • Bagikan