Alam Semesta Bertasbih

Oleh Prof Muzakkir - Guru Besar Fakultas Ushuluddin & Studi Islam UIN SU

  • Bagikan
<strong>Alam Semesta Bertasbih</strong>

“Langit yang tujuh, Bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Mahapenyantun lagi Mahapengampun” (QS.Al-Isra : 44)

Kerusakan lingkungan sebagaimana yang kita saksikan akhir-akhir ini sudah menjadi gejala umum hampir di seluruh kawasan di Indonesia, bahkan dunia. Banjir, tanah longsor, gempa bumi, polusi, ketidakmenentuan cuaca sering kali terjadi. Alam yang mulanya bersahabat dengan manusia, bahkan diperuntukkan untuk manusia dalam batas-batas tertentu, justru kini bersifat destruktif dan menjadi ancaman sangat serius bagi kehidupan manusia.

Bencana alam akibat krisis lingkungan, yang silih berganti, sesungguhnya merupakan peringatan bagi segenap manusia untuk mereorientasi hidup mereka yang terus saja merusak alam, bahkan tega berbuat kefasikan dan kemaksiatan di atas bumi. Semua itu terjadi karena perilaku manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. ar-Ruum [30]: 41). Jika rusaknya lingkungan terus berlanjut baik dalam skala lokal maupun global dan tidak ada aksi global secara spesifik, maka manusia terhalang sebagai makhluk terpilih atau sebagai wakil Tuhan di muka Bumi, dan eksistensi kemanusiaan menjadi tanpa makna.

Bencana-bencana yang terus menimpa belakangan ini dan kian memburuk menandai padamnya kesadaran menuju ke arah Tuhan, manusia, dan alam semesta. Perubahan cuaca sudah dapat kita rasakan setiap hari. Iklim yang semula datang dalam siklus yang teratur tiba-tiba datang tanpa bisa diprediksi. Longsor, gempa bumi, banjir dan tsunami tidak terbendung, hingga likuifaksi, yaitu berubahnya tanah menjadi seperti cair dan menenggelamkan apa saja yang ada di atasnya, bencana pun datang silih berganti.

Rasulullah SAW bersabda: “Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah Swt). Maka sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian. Dan siapa yang tidak menyangi [ciptaan Allah] diapun tak kan disayangi [sang pencipta]” (HR. Abu Dawud).

Ada tiga fungsi Alam diciptakan Allah SWT untuk manusia, Pertama, alam sebagai barakah (sumber kebaikan dan manfaat).  Betapa sungguh besar artinya alam bagi kita, tanpa alam kita tidak akan mampu hidup bahkan sesaat saja dari hidup kita. Tiba-tiba kita akan terperangah oleh berkah alam yang tak terhitung banyaknya yang telah alam karuniakan kepada kita, yang memungkinkan kita untuk melakukan aktivitas kita sehari-hari.

Dengan berbagai jenis tumbuhan dan hewan alam memberi kita nutrisi yang kita butuhkan untuk menopang hidup kita. Dari mereka kita dapat mengkonsumsi sayur-sayuran, daun-daunan, buah-buahan, daging dan minuman susu segar. Demikian juga, alam memberi kita udara, air, api, dan tanah yang kesemuanya sangat vital bagi kelangsungan hidup kita. Selain itu, Allah SWT telah memberi kita melalui alam sinar matahari, yang tanpanya tidak ada pohon yang akan tumbuh, tak ada hewan bisa hidup dan pada gilirannya tak akan ada manusia yang pernah akan hidup di Planet ini, alam telah begitu dermawan kepada kita.

Karena itu kewajiban kita untuk berterima kasih kepadanya dan Penciptanya, dengan cara memberinya respek dan memperlakukannya dengan semua kelembutan, kesantunan dan kebaikan. Sesungguhnya manusia telah diperlakukan baik oleh alam maupun oleh Tuhan dengan cara yang sangat istimewa.

Dan Tuhan sendiri yang mengatakan bahwa Ia telah menciptakan semua yang ada di muka bumi untuk manusia. Dan Ia telah menundukkan matahari dan bulan juga untuk kepentingan manusia, kita dapatkan pada alam karunia yang melimpah dan nikmat yang tak terhitung banyaknya yang telah Allah SWT berikan kepada kita, sehingga apabila kita ingin menghitungnya niscaya tidak akan mampu melakukannya.

Kedua, alam sebagai ayat (tanda-tanda kekuasaan Allah SWT). Islam tidak pernah melihat alam sebagai sebuah realitas independen yang tidak punya hubungan apapun dengan realitas-realitas lain yang lebih tinggi. Sebaliknya, Islam memandang alam sebagai tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Sementara manusia modern cenderung melihat alam dari aspek fisik dan kualitatifnya, para sufi melihatnya sebagai simbol yang mengisyaratkan pada realitas-realitas yang lebih tinggi.  “Sesungguhnya dalam penciptaan Langit dan Bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS. Ali Imran: 190).

Ketiga, alam sebagai mi’raj. Alam sebagai tangga untuk melakukan pendakian spiritual (miraj) menuju puncak wujud, yaitu Allah SWT, Pencipta alam semesta. Dia lah yang Awal, tempat kita berasal, dan Dia lah yang Akhir, tempat kita kembali. Spiritualitas pengelolaan alam antara lain adalah sebagai berikut; Mahabbah. Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh manusia bersumber dari tidak adanya rasa mahabbah (cinta) terhadap alam lingkungannya.

 Dalam pandangan manusia yang oportunis, alam adalah barang dagangan yang menguntungkan dan manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap alam. Menurutnya, alam dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kesenangan manusia. Sebaliknya, manusia yang religius akan menyadari adanya keterkaitan antara dirinya dan alam lingkungan. Manusia seperti ini akan memandang alam sebagai sahabatnya yang sangat dicintainya yang tidak bisa dieksploitasi secara sewenang-wenang.

Uzlah. Padatnya aktivitas seseorang yang mungkin hanya menyisihkan beberapa hari saja untuk beristirahat dari sebulan bekerja, sejatinya dimanfaatkan dengan hal-hal yang bernuansa ibadah (spiritual) lewat “tadabbur alam”. Orang itu mungkin dapat pergi ke suatu tempat yang jauh dari keramaian untuk merenung, ber-tafakkur atas alam ciptaan Allah yang sangat luas, sembari mengisinya dengan berbagai ritual, sebagai bentuk lahir dari dedikasinya kepada Allah SWT.

Dengan ber-uzlah seseorang sedang hijrah dari kehidupan sosial untuk menyusun strategi baru dalam menanggulangi kenestapaan dan kecerobohan masa lalu. Aplikasi uzlah yang selama ini hanya diartikan sebagai pengasingan diri dari keramaian harus dikontekstualisasikan dalam bentuk wisata alam atau dengan istilah tadabbur alam yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa mahabbah (cinta) pada objek-objek alam, karena alam semesta juga bertasbih kepada Sang Penciptanya, sebagaimana QS.Al-Isra : 44.

Ketiga, zuhud. Konsumerisme dan pola hidup serba instant memberi andil besar terhadap kerusakan alam. Jika seorang Muslim menghayati konsep zuhud, semestinya mereka bisa menahan diri dari mengeksploitasi alam, keserakahan, dan menjadikan alam sebagai arena kemaksiatan dan kesombongan karena kerugian yang ditimbulkannya akan menyengsarakan semua pihak.

Konsep zuhud diharapkan bisa digunakan sebagai dasar pijakan (moral dan spiritual) dalam upaya penyelamatan lingkungan. Sains dan teknologi saja tidak cukup dalam upaya penyelamatan lingkungan yang sudah sangat parah dan mengancam eksistensi dan fungsi planet bumi ini. “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. al-A’raaf [7]: 56).

Keempat, ma’rifat. Difahami sebagai pondasi dan gerakan moral yang dapat melahirkan konsep keadilan, keseimbangan, keselarasan dan kemaslahatan untuk menjaga etika lingkungan dengan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap alam yang harus dirawat dan dikasihi, bukan dieksploitasi tanpa moral dan etika. Itulah tugas sejati kekhalifahan manusia di Bumi, karena bumi dan segala isinya pun bertasbih kepada Allah SWT.

  • Bagikan