Berani Malu, Tak Tahu & Tak Punya Malu

  • Bagikan

Oleh Zulkarnain Lubis

Perihal berani malu adalah apa yang dilakukan mereka yang tidak konsisten antara ucapan dan perbuatan, mereka mengaku sekaligus mengajak berpolitik dengan budi pekerti tapi justru mereka yang berbuat cara-cara yang tidak berbudi dan tidak memiliki pekerti

Banyak orang berani malu mungkin juga tak tahu malu atau sudah tak punya malu, tapi bisa juga suka membuat malu. Mereka berani malu dengan berani berjanji tapi tak malu tidak menepati janji. Mereka berjanji ke sana ke mari, tetapi hanya sekedar janji. Mereka punya nyali dan berani tidak menepati janji dan berusaha menutupi dusta dengan dusta lagi, mereka tidak menyadari bahwa akhirnya mereka ibarat bersembunyi “di balik kaca bening”, sehingga terang benderang terlihat isi hati yang penuh dengan ambisi dan segala niat yang tak terpuji. Mereka tak peduli jadi gunjingan. Mereka juga acuh saja jika ada yang menyinyiri dan mengkritisi, bahkan bergeming jikapun ada yang mengancam membawa mengadukannya ke polisi. Tentu mereka tak takut karena apapun yang akan dilakukan terhadap mereka, semuanya mereka anggap tak punya arti, mereka merasa sudah bisa mengatur dan punya strategi dan akan bisa mengantisipasi.

Cobalah lihat janji yang diumbar mereka yang berniat mengambil hati rakyat, terutama menjelang Pemilu. Para kandidat yang mengikuti kontestasi, mereka asal berjanji, meskipun tak akan tahu bagaimana caranya jika ditanya langkah yang dilakukan untuk merealisasi. Ada yang ingin menggratiskan BPJS untuk rakyat, ada yang ingin melipatkandakan dana Bangdes, ada pula yang berjanji menaikkan gaji guru secara fantastis. Tapi kalau ditanya darimana sumbernya, pasti tak bisa menjawab dan bingung “setengah mati”. Persis seperti pada sebuah acara diskusi, sang tokoh hanya terdiam ketika ditanya masalah desa, ditanya soal fragmentasi penanganan desa di tiga kementerian. Jawabannya adalah “diubah”, tapi ketika ditanya dengan cara apa mengubahnya, ia diam seribu bahasa, menatap nanar, entah apa di benaknya.

Ada pula yang rasa malunya entah kemana berbicara tanpa bernalar dan seperti hilang logika, ketika harga beras melambung tinggi. Sang pejabat menyuruh makan pisang rebus atau ubi rebus sebagai pengganti, tentu ini bukan solusi. Karena sejak lahir makanan utama rakyat adalah nasi, jikapun mereka makan pisang, jagung, ataupun ubi, itu tentu dengan suka rela memakannya karena suka dan dengan senang hati, tidak dimaksudkan pengganti nasi. Memang sering digulirkan melakukan diversifikasi, untuk mengurangi konsumsi nasi diganti makanan lain sebagai sumber kalori dan energi, bisa kentang, gandum, roti, ataupun ubi. Tapi inikan tidak bisa dengan jalan pintas, karena terkait kebiasaan, budaya, dan selera.

Lagi pula diversifikasi bukan soal harga beras yang melambung tinggi, apalagi karena tingginya harga adalah akibat dari kebijakan yang perlu direvisi. Sering karena manipulasi, spekulasi, atau terindikasi adanya kolusi bahkan terkait dengan korupsi yang tujuannya untuk memperkaya diri. Jadi diharapkan pemerintah tidak asal bunyi, lebih baik cari solusi yang substansial, efektif, mendasar, dan komprehensif dan sesuai akar permasalahan. Senada dengan kasus ini, sebelumnya kita disuguhi ide yang dikeluarkan ibarat menuang kendi tanpa isi, harga cabai melambung, rakyat disuruh tanam cabai. Bahkan ada pejabat menyuruh rakyat makan keong sawah ketika harga daging melambung tinggi. Ketika harga telur mahal, ayam yang disalahkan, ada cacing dalam ikan kaleng, justru dibilang cacingnya mengandung protein.

Cerita berani malu lainnya adalah tentang orang yang tak paham apa pengertian dinasti politik dan politik dinasti, tapi merasa paling paham dan paling mengerti. Sehingga berani berpendapat bahwa bukan dinasti politik namanya jika sudah beda rumah dan sudah memiliki keluarga sendiri. Artinya yang berbicara betul-betul tak paham tapi ingin sekedar bersuara untuk mengambil hati pemilik dinasti. Dia tidak paham bahwa politik dinasti adalah perilaku berpolitik atau cara berpolitik yang mengupayakan berbagai cara agar kedudukan atau jabatan politik yang dimiliki bisa diwarisi anak, istri, adik, atau famili dan keturunannya, baik dengan melanggar aturan, etika serta melanggar kepatutan yang terbungkus dengan rapi, sehingga seolah wajar dan tak ada aturan dan etika yang dilangkahi. Jadi terang benderang bahwa dinasti politik tak terkaitan dengan beda rumah, beda KTP, ataupun sudah punya bini atau suami.

Orang yang mengatakan bukan dinasti politik jika sudah beda rumah apalagi anak dan keluarganya sudah memiliki keluarga sendiri, rasanya hanyalah orang yang betul-betul tidak paham makna politik dinasti, orang yang sok tahu atau orang ngeles atau orang yang ingin dilihat serba tahu. Jadi orang demikian adalah memang orang yang tidak punya malu dan tak tahu malu, dan memalukan. Mereka perlu diingatkan kembali bahwa secara defenisi politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga dan berusaha untuk meregenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu yang tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.

Politik dinasti merupakan pergantian kepemimpinan yang mirip dengan kerajaan sebab kekuasaan diwariskan secara turun temurun dari pemilik dinasti kepada ahli warisnya agar kekuasaan bisa tetap berada di lingkaran keluarga, hanya saja jika pada kerajaan, pewaris ditunjuk langsung oleh pemilik dinasti, maka pada politik dinasti, pewarisnya mengikuti jalur politik prosedural dengan masuk melalui partai politik, sehingga politik dinasti ini disebut juga oleh beberapa kalangan sebagai neopatrimonialistik. Politik dinasti di Indonesia secara terang benderang telah melahirkan beberapa dinasti politik di berbagai tempat dan berbagai kedudukan, baik posisi garis lurus, menyamping, ataupun garis sejajar. Para pelaku politik dinasti tersebut membangun dinasti politik dengan cara yang tak tahu malu dan berani malu karena mereka berdalih dan berargumen bahwa tidak ada aturan yang dilanggar, tetapi sesungguhnya mereka telah melanggar moral, etika, kepatutan, kepantasan, bahkan melanggar keadilan.

Persoalan politik identitas juga sering membuat malu bagi orang yang tak tahu malu atau berani malu. Terminologi politik identitas sering dijadikan alat untuk menuding dan mendiskreditkan lawan politiknya. Sayangnya orang yang melontarkan tuduhan politik identitas banyak yang merupakan orang yang tidak punya malu atau mungkin juga tidak tahu malu. Kita dapat simpulkan, mereka tidak memahami apa pengertian dari politik identitas, bahkan mereka terkesan sangat yakin politik identitas adalah perbuatan haram dan ilegal. Padahal sejatinya politik identitas hanyalah sebuah strategi politik yang memfokuskan pada pembedaan dan pemanfaatan ikatan primordial sebagai kategori utamanya. Politik identitas adalah cara berpolitik yang didasarkan pada kesamaan identitas dan mengacu kepada kepentingan pribadi dan atau kepentingan kelompok identitasnya, baik identitas ras, agama, etnis, gender, hobi, dan selera, maupun sosial atau budaya.

Jadi, politik identitas merupakan alat politik suatu kelompok identitas seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, baik sekedar alat menunjukkan jati diri kelompoknya ataupun sebagai wadah memperjuangkan hak, suara, serta aspirasi anggota dan kelompoknya. Secara keseluruhan yang dicirikan oleh identitas yang melekat dengan kelompok tersebut. Jadi berdasarkan pengertian tersebut, tidak ada yang salah dengan politik identitas, dan politik identitas adalah sah, legal, dan tidak membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejak zaman dahulu, baik di negara lain, maupun di negara kita, politik identitas sudah biasa dipraktekkan, dan tidak membahayakan. Justru yang salah adalah politisasi terhadap identitas yaitu yang mempertentangkan antar kelompok identitas seperti mempertentangkan antar etnis, mempertentangkan antar suku, dan mempertentangkan antar agama serta menjadikannya sebagai senjata yang ampuh untuk menurunkan popularitas dan keterpilihan rival politik dalam upaya mendapatkan dukungan politik dari publik. Akan lebih berbahaya jika politisasi ini digunakan memicu dan memancing kemarahan dan sentimen massa dengan menyebarkan isu dan berita yang mengadudomba antaretnis, suku, kedaerahan, agama dan antar kelompok. Tetapi yang mestinya buat mereka lebih malu adalah mereka sendiri paling getol mempolitisasi identitas mengadudomba untuk saling membenci dan saling mencurigai.

Perihal berani malu adalah apa yang dilakukan mereka yang tidak konsisten antara ucapan dan perbuatan, mereka mengaku sekaligus mengajak berpolitik dengan budi pekerti tapi justru mereka yang berbuat cara-cara yang tidak berbudi dan tidak memiliki pekerti. Mereka teriak paling Pancasilais dan menuduh orang lain tidak Pancasilais, tapi tindakan mereka yang justru tidak sejalan dengan sila-sila Pancasila. Ada lagi yang menyebut keluarganya tidak berminat masuk ke kancah politik, tapi anggota keluarganya justru berlomba-lomba menjadi politisi dan berlomba meraih dan mendapatkan kekuasaan baik di pemerintahan maupun di partai politik. Lebih parah lagi, mereka berani malu untuk merekayasa dan menyesuaikan peraturan dengan cara yang seolah benar untuk membuat anak dan keluarganya memungkinkan untuk ikut merebut singgasana kekuasaan.

Ada lagi orang yang terang-terangan melanggar tata krama dan etika, mereka tertangkap berbuat asusila tapi masih saja ketawa ketiwi di layar kaca seakan yang dilakukannya adalah hal biasa. Ada yang sudah nyata-nyata tertangkap basah melakukan kesalahan, tapi tetap berusaha mencari kambing hitam dan tidak mengaku bersalah atas apa yang dilakukan. Mereka adalah orang yang bersembunyi di balik kaca transparan, sehingga nampak jelas siapa wujudnya, bagaimana kelakuannya. Contoh nyata adalah seorang pejabat yang merupakan salah satu penjaga keadilan soal rasuah, dengan entengnya membantah telah “ada apa-apanya” padahal sudah jelas “apa adanya”, bahkan belakangan menjadi viral fotonya saat mereka lagi bersama. Lagi-lagi pejabatnya dengan penuh keberanian untuk malu, enteng saja seolah tidak terjadi apa-apa, padahal kode etik mereka melarang untuk jumpa dengan pihak yang berperkara.

Bila ingin diperpanjang rasa tidak punya malu dan tak ada malu tersebut, sosok pimpinan yang sesungguhnya gagal dan tidak berhasil menjalankan kepemimpinannya, tapi tetap saja ngotot ingin memperpanjang kekuasaannya, meningkatkan jangkauan kekuasaannya ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa pernah mengoreksi diri, tanpa mau bermuhasabah diri, dan tak mengukur diri. Mereka ini sama tidak tahu malunya dengan orang yang sesungguhnya tak punya kompetensi, tak memenuhi kualifikasi, dan tak pantas dari segi kualitas diri, serta tak layak dari segi prestasi, tetapi berbekal ambisi, sekeranjang amunisi, serta merasa punya jaringan dan koneksi, ditambah lagi gosokan kawan di kanan dan kiri dan berkhayal hidup seperti sultan di negeri mimpi. Merekapun mengadu untung dan memajukan diri berkontestasi di eksekutif maupun di legislatif. “Sialnya” bagi rakyat, mereka pulalah yang banyak mendapatkan kursi, kepada mereka pulalah nasib bangsa ini dipertaruhkan nanti.

Satu lagi yang sering jadi kontradiksi dan senjata men-downgrade lawan politiknya adalah tuduhan intoleransi. Ini juga sering karena ketidakpahaman orang yang memberi argumentasi, atau memang mereka paham makna dari intoleransi. Tapi tuduhan dan tudingan intoleransi tetap diarahkan agar lawan politik bisa menuai benci dan bisa terdepriasi. Tuduhan intoleransi memang efektif jadi amunisi karena merupakan isu sensitif yang langsung ke jantung hati. Tapi mereka tak sadar “boomerang sering arahnya berbalik ke arah asalnya kembali”. Mestinya mereka paham bahwa toleransi adalah cara menghargai, membolehkan, membiarkan pendirian pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan yang berbeda dengan dirinya.

Sesungguhnyalah bahwa dengan sikap toleransi, kita akan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan di dalam masyarakat. Jadi dalam bertoleransi, yang ada adalah menghargai, membolehkan, dan membiarkan, dan memberi kesempatan, tidak sampai membenarkan meskipun tidak menyalahkan, tidak mengakui dan mengikuti, meskipun tidak menghalangi dan merintangi. Justru sikap dan perilaku tuduhan intoleran dan menghalangi orang lain untuk berkegiatan di seluruh wilayah Indonesia sesuai identitasnya adalah perilaku intoleran yang sesungguhnya yang sering dipertontonkan dan dipamerkan. Jadi, mereka yang menghalang-halangi atau yang sampai membubarkan acara diskusi, ceramah, apalagi dalam koridor akademik adalah justru merekalah yang sesungguhnya yang intoleran dan tak menghargai pendapat dan pandangan orang lain. Merekalah orang-orang yang tak tahu malu atau berani malu itu.

Sikap orang-orang yang tidak percaya diri akan popularitasnya dan elektabilitasnya dengan terus merengek untuk didukung atau di-endorse oleh orang lain adalah juga hal yang tak punya malu atau sikap berani malu. Sesungguhnya, silahkan saja membujuk, merayu, dan meminta orang mendukungnya menjadi apapun, baik untuk jadi presiden, gubernur, bupati, wali kota, atau jadi pemimpin partai ataupun jadi petugas partai. Akan tetapi dukungan tersebut haruslah proporsional, tidak dengan memaksakan jabatan seseorang untuk mendukung, jika tak mau dianggap orang yang tak tahu malu. Silahkan minta dukungan kepada orangnya, tapi jangan minta dukungan kepada jabatannya, karena sejatinya jabatan publik atau jabatan di birokrasi adalah netral dan tidak berpihak. Presiden, gubernur, wali kota, bupati, menteri, direktur, kadis, ka biro, dan seterusnya sampai ke camat dan lurah harus netral dan tidak etis jika jabatan dibawa-bawa untuk cawe-cawe atau dukung mendukung terhadap kontestan dalam Pemilu.

Perbuatan minta dukungan atau memberi dukungan terhadap pejabat publik, apalagi pemimpin pemerintahan adalah perbuatan yang membuat malu, sehingga untuk tidak menanggung malu, tak perlulah berani malu. Sikap pejabat yang tidak proporsional yang tidak mampu membedakan dirinya pribadi dengan jabatannya apalagi sampai menggunakan jabatan dan fasilitas yang melekat dengan jabatannya untuk mendukung atau ikut cawe-cawe terhadap kepentingan pilihan pribadinya adalah juga perbuatan tak tahu malu dan berani malu.

Akhirnya, dihimbau kepada kita semua, dari pada menjadi pasukan berani malu lebih baik menjadi pasukan berani benar, menjadi pembela yang benar yang memang diyakini kebenarannya, meskipun tidak sampai seperti Socrates dan John Huss, dua orang filsugf yang rela dibunuh dengan dipaksa minum racun dan dibakar hidup-hidup demi mempertahankan kebenaran yang mereka yakini. Jadi, mari kita menjadi pasukan pembela kebenaran dan maju tak gentar membela yang benar, bukan pasukan berani malu membela yang tak tahu malu pula.

Penulis adalah Guru Besar UMA dan Rektor Institut Bisnis IT&B.

  • Bagikan