Perlukah Pelaksanaan Pemilu Ditunda ?

  • Bagikan

Walaupun di masa pandemi ada beberapa pertimbangan yang dapat dilakukan sehingga pelaksanaan Pemilu tidak perlu ditunda

Wacana menunda Pemilu atau menggesser dari jadwal yang telah ditentukan pastinya perlu dipikirkan dengan matang-matang. Setiap warga negara memang diatur oleh konstitusi untuk mengeluarkan berbagai macam pendapat, namun tentunya haru bersesuaian juga dengan kaidah-kaidah konstitusioanal.

Wacana menunda Pemilu dengan alasan pandemi Covid-19 yang disampaikan tentunya dengan berbagai alasan boleh jadi bahwa hal ini telah dilakukan oleh bererapa negara di dunia. Seperti yang dilansir situs idea.int bahwa dalam periode 21 Februari 2020-21 Februari 2022 setidaknya ada 80 negara dan wilayah di seluruh dunia memutuskan menunda pemilihan nasional dan subnasional karena Covid-19.

Setidaknya 42 negara dan wilayah telah memutuskan untuk menunda pemilihan nasional dan referendum; selanjutnya ada setidaknya 160 negara dan wilayah telah memutuskan untuk menyelenggarakan pemilihan nasional atau subnasional meskipun ada kekhawatiran terkait Covid-19 dengan 130 di antaranya telah mengadakan pemilihan nasional atau referendum.

Yang terakhir, setidaknya ada 65 negara dan wilayah telah menyelenggarakan Pemilu yang awalnya ditunda karena kekhawatiran terkait Covid-19 dimana 33 di antaranya telah menyelenggarakan Pemilu nasional atau referendum.

Berdasarkan data tersebut tentunya pilihan saat ini ada di pemerintah, KPU sebagai penyelenggara Pemilu dan para wakil rakyat yang ada di DPR untuk dapat mengambil keputusan yang paling bijak dengan memperhatikan kondisi pandemi serta kondisi-kondisi lainnya.

Jika menunda maka penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU harus sangat berhati-hati dan tentunya harus mencari parameter-parameter yang konstitusional dan berdasarkan hukum.

Penundaan Pemilu dapat membuat kekhawatiran publik tentang upaya pelegalan terhadap perpanjangan mandat petahana “secara tidak demokratis”. Gejolak yang akan ditimbulkan juga memiliki resiko yang cukup rentan terhadap keberlangsungan demokrasi yang telah dibangun dengan sangat baik di Indonesia dan tentunya hal ini harus dipertimbangkan secara serius.

Namun sebaliknya, memutuskan untuk mengadakan pemilihan dalam keadaan kondisi pandemi juga sangat membatasi gerak kegiatan kampanye dan dapat juga mengakibatkan berkurangnya jumlah pemilih, karenanya hal ini dapat merusak legitimasi lembaga terpilih. Kedua-duanya punya dampak bagi kehidupan berpolitik di Indonesia.

Posisi rakyat tentunya menunggu apakah keputusan yang diambil nantinya tepat atau tidak, yang tentunya rakyat juga sangat memahami arti demokrasi yang sebenarnya dan rakyat tidak menginginkan demokrasi dicederai oleh keputusan di parlemen oleh wakil-wakil yang dipercayakannya.

Penundaan atau tidaknya Pemilu kali ini juga dapat menjadi pertaruhan bagi para wakil rakyat, karena kredibilitas dan pemikiran-pemikiran mereka dinilai oleh rakyat sejauhmana mereka mampu memberikan solusi inovasi baru berkaitan dengan Pemilu ini untuk dapat dilaksanakan sesuai konstitusi.

Dengan kata lain jika penundaan Pemilu dilakukan maka pertaruhan atau resiko politik boleh jadi akan dibayar secara mahal. Inovasi-inovasi tersebut juga merupakan peluang untuk memperkuat praktik Pemilu dan membuatnya lebih tahan terhadap berbagai risiko lainnya.

Jika memperhatikan perkembangan teknologi digital saat ini tentunya penundaan Pemilu tidak perlu terjadi, karena penyelenggara Pemilu di Indonesia dapat mencari inovasi-inovasi baru Pemilu dengan berorientasi pada teknologi yang berkembang saat ini.

Model Teknologi E-Voting yang pernah diterapkan di beberapa negara seperti Estonia, Swiss dan India juga dapat dianggap cocok untuk digunakan pada masa pandemi ini, dengan menyesuaikan teknik-teknik pelaksanaan pembaruan model yang menyesuaikan sosio-kultur masyarakat Indonesia.

Pelaksanaan yang berbasis teknologi digital tentunya akan dapat meminimalisir pembiayaan, lebih transparan dan akuntabel. Walaupun ada kekhawatariran berkaitan dengan kerahasisaan pilihan tentunya hal tersebut dapat didukung dengan membangun infrastruktur sistem Pemilu yang memiliki keamanan berlapis dan hak akses yang diberikan kepada yang akan mengakses system juga harus sangat selektif.

Jika dianalisa secara umum maka setidaknya ada lima hal yang dapat menjadi pertimbangan bahwa Pemilu dimasa pandemic dapat dilakukan seperti manajemen Pemilu yang inklusif dan akuntabel, pengamanan petugas pemungutan suara, kolaborasi antarlembaga, pemantauan Pemilu yang layak dan efektif, dan risiko terjadinya nya kekerasan Pemilu.

Selain itu dapat ditunjukkan bahwa ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh penyelenggara Pemilu dalam melaksanakan Pemilu yang demokratis, transparan dan dan akuntabel dengan aman dalam kondisi pandemi.

Seperti memperbanyak rekruitmen poll-worker, melakukan koordinasi yang intens antar lembaga dan pemantauan Pemilu yang dilakukan secara hibrid sehingga mendukung transparansi, akuntabilitas, dan keamanan Pemilu sehingga harapan rakyat demokrasi sejati dapat tetap berdiri di Indonesia.

Jika dianalisa lebih lanjut memang pelaksanaan Pemilu dalam masa pandemi akan dapat memperbesar biaya pelaksanaannya namun untuk tegaknya konstitusi dan demokrasi maka semua itu akan menjadi suatu keniscayaan.

Karenanya sebelum menuju kepemilunya maka pelaksana Pemilu sudah dapat memikirkan inovasi-inovasi dan model terbaru dalam pelakasanaan Pemilu kedepan ini. Walaupun di masa pandemi ada beberapa pertimbangan yang dapat dilakukan sehingga pelaksanaan Pemilu tidak perlu ditunda, di antaranya:

Pertama, menyediakan tempat pemungutan suara yang proporsional dengan jarak physical dan waktu yang cukup bagi masyarakat pemilih dan petugas pemungutan suara agar pemilihan dapat dilakukan dengan aman, seperti membentuk shift, rotasi petugas KPPS atau petugas di TPS.

Kedua, mengurangi percampuran antara orang-orang dari wilayah geografis dengan tingkat infeksi yang berbeda sehingga jarak physical dan langkah-langkah kesehatan masyarakat dapat terjaga dengan baik. Ketiga, memperlakukan protokol kesehatan sangat ketat seperti yang dilakukan Inggris, Korea Selatan, Singapura dan Israel.

Keempat, perluya kerjasama erat antara penyelenggara Pemilu dengan pihak yang terlibat dalam satuan tugas penanganan pandemi untuk kolaborasi dalam perencanaan dan pelaksanaan prosedur yang aman secara tepat waktu. Juga membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat agar dapat meningkatkan persepsi tentang keselamatan dan sebagai bagian dari promosikan partisipasi politik.

Namun demikian walaupun kolaborasi ini dilakukan namun tetap menimbulkan hambatan bagi administrasi Pemilu, mulai dari ketergantungan politik dan kurangnya otonomi pengambilan keputusan hingga pengikisan kepercayaan publik terhadap Pemilu boleh jadi akan terjadi untuk itu perlu perencanaan yang sangat matang berkaitan dengan otoritas dan integritas dari masing-masing lembaga dalam pelakasanaan Pemilu ini.

Kelima, perlu mempertimbangkan inovasi baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang berbasis AI dan berbasis digital sehingga ada beberapa infrastruktur yang telah mendukung untuk dilaksanakan Pemilu yang berbasis digital.

Seperti KTP yang sudah elektronik, hampir sebagian besar wilayah Indonesia telah terjangkau dengan internet, minimal masyarakat telah memiliki handphone yang berbasis android, tinggal menunggu bagaimana penyelenggara Pemilu memberikan model inovasi terbaru Pemilu Indonesia di masa pandemic dengan basis teknologi.

Semoga demokrasi yang telah terbangun di Indonesia tetap berdiri kokoh dan rakyat Indonesia dapat memberikan aspirasinya menentukan pemimpin Indonesia lima tahun kedepan sesuai konstitusi dan hukum yang berlaku. Walaupun pandemi mendera namun demokrasi tetap tidak boleh disandera dan Pemilu tetap berjalan. WASPADA

Penulis adalah Ketua Jurusan Teknologi Informasi dan Komputer Politeknik Negeri Lhokseumawe.

  • Bagikan