Sengketa Tapal Batas Di Tanah Semen Andalas

Warga Mon Ikeun Lhoknga mengaku tanahnya "dirampas" pabrik semen. Solusi Bangun Andalas siap bertemu di Pengadilan.

  • Bagikan
Jailani menunjuk gunung yang diklaim warga sebagai tanah hak ulayat. Waspada/Rizaldi Anwar
Jailani menunjuk gunung yang diklaim warga sebagai tanah hak ulayat. Waspada/Rizaldi Anwar

TEUKU Saiful Bahri, 70 tahun, masih gesit menembus semak bekas kebun cengkeh yang pernah ia tanami 39 tahun lalu. Tangan kanannya cekatan memegang parang bengkok. Sesekali ia tebaskan parang itu ke ranting tanaman perdu yang sudah menutupi jalan setapak.

Sengketa Tapal Batas Di Tanah Semen Andalas
Teuku Saiful Bahri berdiri di alur pembatas antara tanahnya yang belum diganti rugi dengan tanah warga yang sudah diganti rugi. Waspada/Rizaldi Anwar

Sudah lama Saiful tak mampir di kebun itu. “Sekarang sulit, masuk harus lapor,” katanya.

Kebun yang diklaim Saiful kini masuk area pabrik semen Solusi Bangun Andalas (SBA) di Mon Ikeun, pegunungan Lhoknga, Aceh Besar, sekitar 20 kilometer ke arah barat Banda Aceh.

Cucu ulee balang—kepala pemerintahan di zaman kesultanan Aceh—ini mewarisi banyak harta orang tuanya. Tanah kakek Saiful tersebar di wilayah Lhoknga-Leupung. Pegangan surat tanah mereka sporadik.

Tapi, kondisi saat ini berbeda, tak sebebas dahulu. Ketika hendak melihat kebunnya bersama Sulaiman, 56 tahun dan Jailani, 47 tahun, mereka wajib melapor ke pos security di sisi kanan pintu masuk PT SBA.

Saiful seperti “orang asing” di tanah kakek moyangnya sendiri.

“Berapa orang yang akan masuk ke dalam? Tolong nama-namanya, ya?” kata petugas security yang duduk siaga di pos jaga. Tak lama security lain tiba memarkir mobil double cabin berkelir putih di sisi kiri pos jaga. Ia bersigap mengaktifkan kamera telepon pintarnya. “Maaf, izin kami foto dulu ya Pak, buat dokumentasi,” katanya kepada KBA.ONE, Minggu (4/12).

Tak lama berselang, mobil double cabin hitam tiba dan parkir bersisian, hanya berjarak dua meter dari mobil pertama. “Kita diantar sama security ke lokasi, tidak boleh bawa mobil ke dalam. Nanti pulang dijemput,” sela Jailani, pemandu warga, tim KBA.ONE dan waspada.id.

Sehari sebelum ke lokasi, Jailani sudah berkomunikasi dengan security. Dia bilang akan membawa tim media meninjau lokasi kebun warga yang menjadi sengketa tapal batas dengan PT SBA. Usulan Jailani direspon baik. “Kita bawa juga tiga orang pemilik kebun. Ini mereka semua,” kata Jailani mengenalkan temannya.

Peta klaim tanah yang belum diganti rugi oleh PT SBA versi warga.

Pukul 10.50 WIB, tim tiba di lokasi. Di kebun Teuku Saiful itu, ia menunjuk batas antara tanah yang sudah dibebaskan PT SBA dan yang belum dibebaskan.

“Ini batas tanah kami yang belum diganti rugi,” jelas Saiful sambil menunjuk alur parit sedalam lutut orang dewasa. Panjang parit itu menjulur mengikuti lekuk tanah.

Sengketa Tapal Batas Di Tanah Semen Andalas
Peta klaim tanah yang belum diganti rugi oleh PT SBA versi warga.

Jailani, Saiful, Sulaiman dan Jufri AW mulai membuka cerita sejarah. Katanya, ada sekitar 42 hektare tanah masyarakat yang masuk ke dalam sertifikat milik PT SBA tapi belum diganti rugi. Bertahun-tahun mereka menunggu kepastian dari pihak perusahaan tapi belum ada titik temu.

“Jika mereka bisa menunjukkan pelepasan hak dari ahli waris, kami tidak akan ribut lagi. Tapi, mereka tidak mau menunjukkan, malah menyuruh gugat ke pengadilan,” cerita Jailani di depan Saiful dan Sulaiman.

Jailani dan Saiful kemudian mengarahkan tim media memotret batu dan besi tapal batas bercap BPN dan PT SAI (Semen Andalas Indonesia). Mereka mengaku kecewa dengan Pemkab Aceh Besar yang tidak serius menyelesaikan kasus ini. “Pemkab Aceh Besar sudah membentuk tim, tapi tidak jalan,” kata Jailani.

Sengketa Tapal Batas Di Tanah Semen Andalas
Jailani, Saiful, dan Sulaiman. Waspada/Rizaldi Anwar

Di lokasi kebun, udaranya dingin “menggigit”. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Yang tertangkap di gendang telinga cuma suara sahut-sahutan tonggeret, serangga yang mengeluarkan suara nyaring dari pepohonan.

Tapi di luar kebun, deru mesin eskavator penghancur limer stone meraung dari atas bukit. Bongkahan batu raksasa bekas blasting (peledakan) itu bergelimpangan persis di mulut pintu masuk kebun Saiful.

“Itu sisa ledakan lama. Dulu di bawah gunung itu ada gua kelelawar. Sekarang sudah hilang, dihancurkan untuk bahan baku semen,” kenang Jailani.

Kegiatan blasting ini sempat meresahkan masyarakat karena dentumannya terdengar jauh hingga menyusup ke pemukiman warga. Pada Maret 2020, Pansus DPR Aceh Besar meminta Pemkab Aceh Besar meneliti apakah kegiatan blasting itu sudah sesuai aturan.

“Bahkan, salah satu poin rekomendasi DPRK Aceh Besar mewajibkan PT SBA membayar kompensasi terhadap dampak kerugian kegiatan blasting di sekitar area tambang,” kata Jailani mengutip hasil Pansus DPRK Aceh Besar.

Sejak silang sengketa, Jailani memang dipercaya warga menjadi juru bicara dan ketua tim untuk menyelesaikan konflik itu. “Mungkin karena saya memahami batas-batas daerah ini,” cerita Jailani, mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Di era konflik GAM dengan TNI/Polri, Jailani keluar masuk hutan ini. Dia mafhum setiap jengkal rimba di kaki pegunungan Mon Ikeun, Lhoknga. “Ini lintasan saya ketika konflik dulu. Saya memanggul senjata berat,” katanya meyakinkan.

Pukul 11.57 WIB, tim keluar dari kebun Saiful. Sambil menunggu jemputan, tim rehat menyantap sisa kue, menengguk kopi hitam dan sanger yang sudah tak panas lagi. Matahari siang mulai memanggang tubuh, posisinya sudah berdiri tegak di atas kepala.

Sengketa Tapal Batas Di Tanah Semen Andalas
Para pemilik tanah sedang rehat usai menunjukkan tapal batas sengketa lahan. Dol/KBA.ONE

Sekitar pukul 12.41 WIB, tim tiba di pos penjagaan di tengah hutan pinus setelah berjalan menelusuri tanjakan dan penurunan. “Jemputan mungkin sebentar lagi datang, kita makan dulu ya,” kata Jailani yang sudah memesan 10 nasi bungkus dari luar area pabrik semen, yang terlalu kuat jika menjadi “lawan tanding” mereka dari sisi manapun.

SBA Berpegang kepada Sertifikat BPN

Sengketa lahan antara warga dan PT SBA sempat menjadi perhatian khusus Panitia Khusus (Pansus) DPRK Aceh Besar pada Maret 2020. Pansus ini menyoroti sengketa tapal batas yang masih terus menjadi polemik dan belum menemukan titik temu.

Dewan Aceh Besar mendesak PT SBA segera mengganti rugi tanah-tanah yang berada pada posisi terjepit (wilayah kuasa tambang) dengan memperhatikan wilayah karst karena sumber mata air penduduk. Selain itu, mengganti rugi lahan-lahan yang tidak dapat difungsikan lagi oleh masyarakat.

Kemudian, Pansus Dewan meminta PT SBA, BPN, dan Pemkab Aceh Besar mengukur ulang tanah-tanah yang sudah dibebaskan perusahaan. Poin ini sudah dilaksanakan.

“Tapi, belum menemukan titik temu juga, meski sudah rapat mediasi beberapa kali,” kata Sekretaris Daerah Aceh Besar, Sulaimi. Sekda, atas nama jabatan, ditunjuk sebagai Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Masalah Tanah di PT. SBA yang dibentuk oleh Pemkab Aceh Besar.

Sengketa Tapal Batas Di Tanah Semen Andalas
Sulaimi, Sekda Aceh Besar. Dok/KBA.ONE

Sekda Sulaimi berharap masalah sengketa lahan dan tapal batas di area PT SBA ini bisa diselesaikan secara damai. Ia mengakui bahwa Tim Bentukan Pemkab Aceh Besar ini menemui jalan buntu, dead lock.

“Kedua pihak harus saling jujur dan duduk bersama kembali untuk menemukan solusi terbaik,” kata Sulaimi ketika dihubungi KBA.ONE dan waspada.id via jaringan telepon seluler, Rabu 7 Desember 2022.

Banuara Sianipar, pengacara PT SBA dalam kasus sengketa lahan dengan warga menjelaskan bahwa kliennya berpegang teguh pada sertifikat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh Besar.

“Perusahaan tidak pernah merasa menguasai yang bukan lahannya, tidak pernah menguasai lahan yang ada di luar areal sertifikat,” kata Banuara, kepada KBA.ONE dan waspada.id via telepon selular, Selasa 6 Desember 2022.

Sengketa Tapal Batas Di Tanah Semen Andalas
Tapal batas tanah milik PT Semen Andalas Indonesia-PT SAI (kini PT SBA) yang ditancapkan oleh BPN Aceh Besar. Dok/KBA.ONE

Kemudian, kata Banuara, sepanjang yang ia ketahui, sertifikat muncul biasanya setelah selesai semua masalah ganti rugi. “Jika sudah muncul sertifikat berarti sudah selesailah apa yang disebut masalah lahan yang dimaksud,” jelas Banuara.

Menjawab keinginan warga untuk melihat bukti pelepasan hak sebagai dasar keluarnya sertifikat milik PT SBA, Banuara bilang, “Jika kita mundur kembali dan meminta bukti segala macam, hal itu bisa dilihat di BPN karena semua berkas-berkas sebelum dijadikan sertifikat, terlebih dahulu dijadikan sebagai berkas BPN.”

Kini, Banuara tengah berupaya mengambil jalan tengah lewat mediasi. Pihaknya sudah mengirim surat ke BPN Aceh Besar untuk meminta waktu dan tempat karena ingin menyelesaikan sengketa ini dengan baik-baik.

“Jika mediasi ini tidak bisa diselesaikan maka kita akan mengambil sikap dan meminta kawan-kawan untuk melakukan gugatan ke Pengadilan,” kata Banuara menutup wawancaranya.

Sengketa Tapal Batas Di Tanah Semen Andalas
Banuara Sianipar. | Foto: banuaralawyer.com

Jailani dan kawan-kawan masih terus berjuang mencari keadilan di tanah leluhur mereka. Jika ujungnya harus berakhir di pengadilan, warga siap membuktikan. “Tapi, kan, tidak mungkin warga yang duluan menggugat tanah nenek moyang mereka sendiri. Ini bisa dibuktikan dengan surat sporadik dan kesaksian para pemangku adat dan wilayah di Mon Ikeun, Lhoknga,” kata Jailani.

Jalan terpenuhinya rasa keadilan masyarakat di sekitar area pabrik semen PT SBA masih panjang.

Segunung persoalan sejak kehadiran pabrik semen “raksasa” itu pada 1983, sering memantik kecemburuan sosial. Warga tetap saja menjadi penonton dari balik tembok kekuasaan.

Hidupnya tak ada yang luar biasa. Buat apa tambang jika hak-hak rakyat masih saja dikemplang!

WASPADA.id/Rizaldi Anwar

  • Bagikan