Singa Ompong Bernama PBB

  • Bagikan

Oleh Dr Yati Sharfina Desiandri, S.H., M.H.

Tindakan ofensif zionis Israel ini tampak “mencemooh” Resolusi Majelis Umum PBB
Direktur Komisi Tinggi HAM PBB pun memilih mundur dari jabatannya sebagai bentuk protes atas apa yang terjadi di Gaza

Dalam beberapa minggu ini diwarnai berita-berita yang sangat menyedihkan. Penyerangan yang dilakukan zionis Israel terhadap warga Gaza membuat geram Masyarakat internasional, meskipun ada pula yang mendukung serangan tersebut.

Zionis Israel beralasan penyerangan tersebut adalah bentuk tindakan balasan (reprisal) karena Hamas dianggap “menyentil” mereka. Dalam hukum humaniter, reprisal bukanlah hal yang dilarang, tetapi reprisal tersebut dilarang menargetkan penduduk sipil dan non kombatan lainnya. Pada Ketentuan Umum Protokol Tambahan I terdapat pengaturan yang melarang serangan membabi buta dan reprisal terhadap: penduduk sipil dan orang-orang sipil; objek-objek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk sipil; benda-benda budaya dan tempat-tempat relijius; bangunan dan instalasi berbahaya; serta lingkungan alam. Larangan penggunaan senjata atau proyektil yang menyebabkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu “unnecessary suffering” juga sudah tercantum pada Konvensi Den Haag pasal 23 huruf e.

Serangan terhadap rumah sakit, rumah dibadah, rumah penduduk, sekolah, serta fasilitas umum lainnya yang menyebabkan korban luka dan tewas menunjukkan bahwa zionis Israel tidak menghormati “aturan main” dalam berperang yang tercantum dalam hukum humaniter. Zionis Israel beralasan bahwa penyerangan tersebut dilakukan karena pejuang Hamas bersembunyi dan berlindung di wilayah Gaza. Alasan tersebut seakan dipaksakan, karena tidak ada bukti nyata bahwa pejuang Hamas berada di wilayah tersebut, malah penduduk sipil dan petugas medis yang ada wilayah tersebut. Penyerangan tersebut disinyalir hanya menjadi alasan agar zionis Israel menyerang wilayah yang sebenarnya tidak dibenarkan dalam hukum humniater yang akhirnya mengakibatkan korban luka dan tewas yang berasal dari penduduk sipil dan non kombatan lainnya.

Sebagai organisasi terbesar di dunia, PBB dianggap mempunyai peran dalam menghentikan perang yang terjadi di Gaza. PBB mempunyai 193 anggota negara yang menggantikan Liga Bangsa-bangsa (LBB) atau League of Nations yang didirikan pada 1919. Namun LBB dibubarkan pada 1946 karena gagal mencegah Perang Dunia II. Menjelang berakhirnya PD II, negara-negara Blok Sekutu sepakat membentuk organisasi global yang menangani urusan antarnegara. Nama “United Nations” tadinya dipakai untuk melawan negara yang bertentangan dengan Blok Sekutu. Musuh sekutu yakni Jerman, Italia dan Jepang.

Pendirian PBB terkait dalam hal perwujudan perdamaian dunia serta penegakan HAM, hal ini tercantum dalam Pasal 1 Piagam PBB menjabarkan tujuan organisasi dalam empat bagian:

Untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional (termasuk mencegah dan menghilangkan ancaman, menekan tindakan agresi, dan menyelesaikan perselisihan)
Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa berdasarkan penghormatan terhadap persamaan hak dan penentuan nasib sendiri.

Untuk mencapai kerja sama internasional dalam memecahkan masalah ekonomi, sosial, budaya, dan kemanusiaan (termasuk meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan) menjadi pusat harmonisasi tindakan negara-negara dalam upaya mencapai tujuan tersebut.

Sedangkan Peran PBB dalam bidang keamanan dan kemanusiaan adalah:
Memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Memupuk hak asasi manusia (HAM) Menanggulangi ledakan penduduk yang dapat menyebabkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Jika melihat isi tujuan dan peran PBB, maka tampaklah bahwa PBB sudah gagal dalam melaksanakan tugasnya. Banyaknya peristiwa perang selama PBB berdiri menandakan pekerjaan yang dilakukan PBB hanya “omong kosong” belaka. Apa yang menimpa warga Gaza sudah menunjukkan bahwa PBB mampu bertindak sesuai tujuan yang tercantum dalam Pasal 1 Piagam PBB. Padahal, sudah jelas bahwa perbuatan yang dilakukan zionis Israel merupakan pelanggaran HAM berat dan sudah melanggar ketentuan yang tercantum dalam hukum humaniter.

Bahkan PBB pun tidak dapat menindak ataupun memberikan peringatan kepada Amerika yang secara terang-terangan memberikan support terhadap zionis Israel. Amerika adalah salah satu negara yang dianggap “badung” oleh masyarakat internasional tetapi PBB seakan-akan menutup mata akan kelakuan Amerika tersebut. Ini menunjukkan bahwa PBB tidak memiliki nyali kepada negara-negara adikuasa yang notabene sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB. PBB hanya berani kepada negara-negara lemah yang tidak memiliki hak veto (angota tidak tetap Dewan Keamanan PBB). Statetement dan kunjungan Joe Biden terang-terangan menunjukkan dukungannya terhadap perbuatan zionis Israel.

Karena perannya dalam mendirikan PBB, Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok, Perancis, dan Rusia mendapat status khusus sebagai anggota tetap Dewan Keamanan. Mereka juga diberi hak suara khusus: “hak untuk memveto.” Artinya, jika salah satu dari lima negara anggota tersebut memutuskan untuk memberikan suara “tidak” di Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara, maka keputusan atau solusi tersebut tidak akan dilanjutkan.

Suatu keputusan dapat mendapat dukungan dari setiap anggota kecuali satu dari lima Anggota Tetap, namun hak veto mereka menghentikan keputusan tersebut. Ketika suatu keputusan melibatkan isu hak asasi manusia yang sering kali terjadi maka hak veto menjadi penting. Sistem veto kontroversial dan sering diperdebatkan. Pada tahun 2018, Negara-negara Anggota menyerukan penghapusan hak veto dan memperluas kursi permanen Dewan Keamanan, namun usaha tersebut kandas.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui resolusi yang menyerukan gencatan senjata kemanusiaan segera di Gaza antara Israel dan Hamas. Resolusi tersebut juga menuntut akses bantuan ke Jalur Gaza dan perlindungan warga sipil. Resolusi tersebut dirancang oleh negara-negara Arab dan diadopsi dengan suara 120 mendukung, 45 abstain, dan 14 menolak. Tentu saja, zionis Israel dan Amerika Serikat termasuk di antara negara-negara yang menolak resolusi tersebut. Resolusi tersebut menyerukan gencatan senjata kemanusiaan yang segera, dalam jangka panjang dan berkelanjutan yang mengarah pada penghentian permusuhan. Resolusi tersebut juga menuntut semua pihak untuk mematuhi kewajiban mereka berdasarkan undang-undang kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional, termasuk melindungi warga sipil dan infrastruktur penting.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa gencatan senjata dalam perang Israel melawan Hamas “tidak akan terjadi”. Artinya, negara tersebut akan mengabaikan resolusi Majelis Umum PBB yang bertujuan memenuhi “kebutuhan kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya”. Pasukan darat Israel bertempur di Jalur Gaza dan serangan udara menghantam wilayah Palestina yang dikuasai Hamas sebagai tanggapan atas serangan tanggal 7 Oktober 2023 serangan paling mematikan dalam sejarah Israel. Operasi militer yang semakin intensif telah meningkatkan ketakutan terhadap 2,4 juta penduduk Gaza, di mana kementerian kesehatan yang dikuasai Hamas mengatakan lebih dari 8.300 orang telah terbunuh. Netanyahu mengatakan gencatan senjata berarti menyerah kepada Hamas, yang kelompok bersenjatanya menewaskan 1.400 orang dan menyandera lebih dari 230 orang, menurut angka terbaru Israel.

Tindakan ofensif zionis Israel ini tampak “mencemooh” Resolusi Majelis Umum PBB
Direktur Komisi Tinggi HAM PBB pun memilih mundur dari jabatannya sebagai bentuk protes atas apa yang terjadi di Gaza. Craig Mokhiber sempat berkata di platform X bahwa genosida yang terjadi di Gaza dipicu karena Amerika Serikat dan Barat memberikan kekebalan kepada Israel.

“Genosida yang kita saksikan di Palestina adalah produk dari impunitas Israel selama puluhan tahun yang diberikan AS dan pemerintah Barat lainnya, dan puluhan tahun dehumanisasi dari rakyat Palestina oleh media korporat Barat. Kedua hal itu harus selesai sekarang. Angkat suara untuk HAM,” ujar Craig Mokhiber. Maka, wajarlah ada pendapat bahwa menjadi anggota PBB hanya seperti mengikuti “arisan bergengsi” yang jika menjadi anggota maka akan dianggap mempunyai posisi yang penting di kancah interasional. Anggota “arisan bergengsi” itu hanya memberikan tempat yang sangat strategis kepada negara-negara anggota Dewan Keamanan tetap, sedangkan jika hanya menjadi anggota tidak tetap hanya letih bersuara tanpa ada yang akan mendengar dan menanggapi.

Negara lemah tidak bisa bersuara dan berbuat di forum PBB. Anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB hanya bisa “gigit jari” jika salah satu anggota tetap Dewan Keamanan mengeluarkan “kartu sakti” yakni Hak Veto. Apapun resolusi Majelis Umum ataupun produk PBB lainnya seakan-akan menjadi sia-sia jika Hak Veto sudah dikeluarkan. Resolusi Majelis Umum PBB pun terkadang hanya sekedar “angin lalu” bagi negara adikuasa dan sekutunya.

Jika Liga Bangsa-Bangsa dibubarkan akibat gagalnya mencegah Perang Dunia ke-II, maka PBB pun harus dibubarkan akibat pecahnya perang (konflik bersenjata) di jalur Gaza yang banyak menimbulkan korban dari penduduk sipil terutama anak-anak serta non kombatan lainnya. Bukti nyata terpampang bahwa zionis Israel melakukan pelanggaran HAM yang menjurus Genosida dan pelanggaran hukum hunaniter tidak membuat PBB lebih reaktif dan responsif.

Banyak masyarakat internasional berharap kepada PBB untuk bergerak dan bertindak sebagai organisasi terbesar dan terhomat, namun nyatanya PBB tak berdaya oleh kekuatan politik zionis Israel serta sekutunya terutama Amerika. PBB telah gagal dalam menjalankan peran dan tugasnya untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia, sehingga wajar ada anggapan bahwa PBB adalah organisasi internasional yang tidak berguna (useless).

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  • Bagikan