Spiritualitas Damai Dalam Beragama

Oleh Prof Muzakkir, Dosen Fakultas Ushuluddin Dan Studi Islam UIN SU

  • Bagikan
<strong>Spiritualitas Damai Dalam Beragama</strong>

“Maka disebabkan rahmat Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (QS. Ali Imran: 159)

Salah satu penyebab terjadinya persoalan umat Islam di Indonesia sekarang ini adalah keringnya dimensi spiritualitas dalam keberagamaannya. Kekeringan dimensi spiritualitas menyebabkan ; Pertama, keberagamaan cenderung pada formalitas (eksoteris), mengedepankan aspek syari’ah yang seringkali kehilangan ruh dan rasionalitasnya.

Kedua, berkembangnya sektarianisme yang  cenderung melihat sisi perbedeaan diantara aliran atau kelompok agama meskipun intern agama yang sama (tidak bisa mencari titik temu, rawan  kekerasan dan konflik). Ketiga,  sulit medapatkan ketenangan dan kedamaian dalam beragama yang hakiki dan mengira ketenangan dan kedamaian itu dapat diperoleh melalui ”tiga ta” (harta, tahta dan wanita) atau (hub al-dunya).

Keempat, hubungan ulama dengan umat semakin bersifat transaksional. Spiritualitas dengan demikian merupakan ”ruh” suatu agama, menjadi kunci keberhasilan dakwah/missi suatu agama dan merupakan kunci untuk mencapai tujuan beragama itu sendiri, yaitu kepasrahan, kedamaian, keselamatan (islâm).

Di tengah-tengah maraknya peradaban materialistis yang disertai banyak kekerasan, kata ”perdamaian”  menjadi kata yang dirindukan  dan didengungkan setiap orang yang masih memiliki hati nurani. Peradaban yang materialistis cenderung anti kemanusiaan dan sekaligus tidak menghargai perdamaian. Karena itu untuk menciptakan perdamaian dunia diperlukan peran agama sebagai basis spiritual dan moralitas.

Tanpa dimensi spiritualitas mewarnai peradaban manusia, manusia akan dihinggapi kebingungan antara mendambakan perdamaian dengan fakta peperangan yang semakin mengganas, sebagaimana syair lagu ”Perdamaian” dari group Qasidah Nasyida Ria: ”banyak yang cinta damai, namun perang semakin ramai…” Sejarah telah membuktikan kepada kita tentang betapa mahalnya sebuah perdamaian.

Tema dominan sejarah adalah konflik dan peperangan. Dinamika sejarah seakan ditentukan oleh pergumulan mendapatkan kekuasaan dan siklus sejarah pada umumnya digerakkan motivasi motivasi penguasaan dan balas dendam. Fenomena penodaan terhadap perdamaian dan hak-hak asasi manusia memang senaniasa menjadi berita besar, karena berkaitan dengan ancaman terhadap esensi kemanusiaan.  

Spiritualitas bagaikan ”suara hati” dalam diri manusia. Agama-agama dan  jeritan para filosof bagaikan suara hati dalam kehidupan umat manusia. Agama dan spiritualitas mengajarkan kehidupan yang damai. Nabi Ibrahim AS mendambakan agar Makkah menjadi negeri yang aman, demikian juga  para filosof,  al-Farabi mendambakan masyarakat utama (al-mujtama’ al-fadlilah) dan Thomas More berimajinasi tentang negeri yang damai dan tenteram.

Namun seruan perdamaian ini hanya bagaikan suara azan yang sayup-sayup terdengan oleh serunya peradaban materialistis yang kata perdamaian, hak-asasi manusia, demokrasi, lingkungan hidup dan gender hanya dijadikan justifikasi untuk menghegemoni bangsa lain.  

Fenomena kekerasan itu dalam masyarakat nuansanya sangat kompleks. Ada kekerasan yang terencana serta terorganisasi dan ada yang tidak terencana atau spontanitas, ada kekerasan individual atau perorangan dan sosial atau komplotan; ada yang legitimit atau disyahkan oleh peraturan dan ada yang tidak legitimit.

Kekerasan yang legitimit atau kekerasan struktural seperti pembatasan-pembatasan yang dilakukan terhadap hak-hak warga atau berbagai bentuk rekayasa agar warga menuruti suatu kehendak. Termasuk dalam kekerasan legitimit adalah peraturan yang mengabsyahkan atau memungkinkan adanya sekelompok orang tertentu untuk tetap mempunyai hegemoni sehingga memungkinkan praktek korupsi, kolusi, nepotisme, monopoli, dan bentuk-bentuk lain yang membelenggu emansipasi warga dalam memenuhi martabat kemanusiaannya.

Bentuk-bentuk kekerasan lain berupa kekerasan fisik terhadap masyarakat seperti pembunuhan, pemerkosaan dan ancaman bom. Sementara kekerasan psikis menyangkut berbagai bentuk fitnah dan adu domba. Kekerasan juga bisa dalam bentuk pengrusakan fasilitas umum dan kekerasan terhadap barang seperti perampokan, pencurian, pembakaran dan lain sebagainya.

Walaupun kekerasan bukan hal yang asing bagi manusia, namun hakikatnya manusia adalah makhluk yang tidak menyukai kekerasan dalam berbagai bentuknya. Karena itulah kekerasan yang akhir-akhir ini semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya tentu saja sangat memprihatinkan.

Ada kecenderungan menggunakan kekerasan sebagai bahasa ketertindasan, bahasa kesenjangan, bahasa politik dan bahasa kekuasaan. Kekerasan dihadapi dengan kekerasan dan pada gilirannya melahirkan kekerasan yang lebih luas. Islam dalam wataknya yang asli adalah anti kekerasan.

Islam mengajarkan agar manusia memiliki sikap sosial luhur; pengabdian menggantikan kekuasaan, pelayanan menggantikan dominasi, pengampunan menggantikan permusuhan, cinta kasih menggantikan kebencian, derma menggantikan keserakahan, keadilan menggantikan kezaliman, dan kesabaran menggantikan kekerasan.

Walaupun Islam membolehkan pembalasan yang setimpal dan tidak melampaui batas, tetapi pengampunan adalah lebih baik dan lebih dekat kepada taqwa. Memang, perjuangan mengatasi peristiwa yang menyakitkan dalam hidup dengan memberikan maaf dan berintroapseksi diri  hanya dapat dilakukan dengan pendekatan spiritualitas tingkat tinggi.

Pada umumnya orang atau komuitas akan melakukan balas dendam dan bisa jadi melampaui batas sebagaimana dilakukan atas peristiwa 11 September 2001. Watak agama yang asli sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau hijrah ke Thaif. Sesampai di Thaif Beliau dilempari batu oleh sebagian penduduk sampai berlumuran darah, namun Beliau SAW tidak mengutuk mereka melainkan justru mendoakan petunjuk, dan rahmat bagi mereka.

Demikian juga ketika terjadi perang Uhud, Rasulullah saw tidak membenci para pemanah yang tidak setia pada perintah Beliau SAW yang mengakibatkan kekalahan, melainkan beliau berlaku lemah lembut dan tetap mengayomi mereka. Rasul-rasul Allah yang pengampun terhadap kesalahan umatnya terbukti lebih berhasil dalam misinya dari pada yang sebaliknya.

Allah SWT berfirman: “Maka disebabkan rahmat Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Q.S. Ali Imran: 159).

Sikap lemah lembut dengan penuh kasih sayang sudah sepatutnya dipercontohkan oleh para orangtua, para pendidik dan komunitas lembaga pendidikan lainnya sebagai manivestasi ajaran agama yang diyakininya. Kekerasan seharusnya tidak boleh terjadi di lingkungan sekolah. Agama mengajarkan kasih sayang dan kelemah lembutan serta pengampunan.

Allah SWT berfirman: “… Dan jika kamu memaafkan akan lebih dekat dengan taqwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Baqarah: 137). Dalam Kehidupan dunia ini manusia cenderung bersifat ekstrim, yaitu cenderung menekankan pada satu aspek dan kurang atau bahkan meninggalkan aspek lainnya.

Misalnya mengutamakan dunia dan melupakan akhirat atau sebaliknya mengutamakan akhirat dan melupakan dunia. Ada paham materialisme yang berpendapat materi sebagai segala-galanya, rasionalisme yang menganggap rasio segala-galanya, sosialisme yang mengabaikan hak-hak individu dan lain sebagainya. Ada juga paham humanisme yang menafikan Tuhan dan sebaliknya terdapat paham theosentrisme yang menafikan manusia.

Islam datang untuk memberikan yang terbaik, yaitu jalan tengah dari kecenderungan ekstrimitas yang ada. Islam menawarkan konsep keseimbangan atau equilibrium, yaitu keseimbangan Dunia-Akhirat, individu-sosial, jasmani-rohani, dan keseimbangan antara dimensi kemanusiaan dan ketuhanan dalam perbuatan.

Dalam pandangan Islam, setiap permasalahan harus dilihat dari dua perspektif-dialektis: objektifikasi dan transendensi, demokrasi dan teokrasi. Objektifikasi maksudnya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh komponen bangsa harus ta’aruf atau saling mengerti dan memahami; syura harus bermusyawarah untuk memecahkan persoalan bersama, ta’awun, harus saling bekerjasama, tolong-menolong dan berkoperasi; maslahah berbuat yang menguntungkan masyarakat; dan adil, senantiasa menjaga keseimbangan, keharmonisan dan keserasian.

Objektivikasi menuntut masing-masing kelompok kepentingan dalam masyarakat untuk menahan diri, tidak memaksakan kehendak apalagi menafikan pihak lain. Sebab manusia secara ontologis (dalam realitasnya) terdiri dari berbagai bangsa, suku, agama, kelas, partai, golongan dan sebagainya.

Sedangkan yang dimaksud dengan transendensi adalah kesadaran bahwa manusia itu memiliki fitrah dan hanief. Keyakinan fitrah tidak hanya mengatakan bahwa manusia berasal dari Tuhan, melainkan lebih dari itu bahwa manusia adalah “miniatur Tuhan”. Agama telah menyebutkan bahwa manusia adalah Khalifah-Nya di muka bumi. Karena itu dalam kompleksitas pelaksanaan tugas kekhalifahan manusia perlu menginternalisasi nilai-nilai ketuhanan seperti berlaku adil, kasih sayang, menegakkan kebenaran dan kearifan.

Transendensi juga bermakna bahwa tindakan manusia itu bersifat taklif, karena itu manusia harus senantiasa memiliki responsibility dan accountability baik secara vertikal di hadapan Tuhan maupun secara horisontal kepada sesama manusia. Karena itulah Islam memberikan resepnya bahwa dalam berta’aruf harus didasari rasa taqwa kepada Allah SWT, dalam bermusyawarah harus didasari rasa kasih sayang sesama, dan dalam tolong-menolong harus bermanfaat bagi sesama dan dalam menuju taqwa, tidak diperbolehkan tolong-menolong dalam berbuat anarki dan melanggar batas-batas ketentuan Allah SWT. Allahu a’lam bi al-Shawab.

  • Bagikan