Urgensi Penundaan Pemilu?

  • Bagikan

Apapun alasannya, tidak ada urgensi penundaan Pemilu 2024. Karena hakikatnya, rakyatlah yang berdaulat dalam setiap Pemilu dari masa ke masa

Ada ungkapan yang mengatakan bila Anda tidak bisa membantu seseorang, lebih baik diam saja atau jangan membuat ricuh. Barangkali ungkapan bijak ini cocok dialamatkan bagi partai politik (Parpol) di Indonesia.

Meskipun tidak ditujukan ke semua parpol, setidaknya kepada 3 Parpol yang memiliki ‘kursi’ di DPR RI. Adapun ketiga Parpol tersebut yakni Partai Golkar, PKB, dan PAN yang sudah dianggap membuat ricuh terkait wacana penundaan Pemilu.

Adalah Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar yang menyatakan sebaiknya Pemilu 2024 ditunda saja. Alasannya karena ada usulan dari para pengusaha yang menginginkan iklim ekonomi Indonesia saat ini masih baru mulai bangkit. Dimana selama 2 tahun ini, akibat pandemi Covid-19 kondisi perekonomian Indonesia sangat terpuruk.

Membaca dan mendengar statement Ketum PKB itu, pastinya bukan sebuah kerangka wacana yang hanya berdiri sendiri. Mengingat, jauh sebelum keluarnya statement tersebut sudah ada muncul wacana perpanjangan jabatan presiden menjadi 3 periode. Lalu akhirnya, wacana tersebut harus disandingkan dengan penundaan Pemilu sampai ke tahun 2027 atau 2028.

Tentunya, usulan ini akan membawa konsekwensi politik yang besar. Karena yang menyampaikannya adalah seorang Ketum Parpol terbesar, tertua, dan Parpol yang lahir dari buah reformasi.

Adapun Parpol terbesar dan tertua itu adalah Partai Golkar dan Parpol yang lahir dari buah reformasi itu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Terkesan, para Ketum Parpol tersebut sudah merasa frustasi dengan belum dan tidak pernah tercapainya ambisi politik pribadinya selama ini.

Ambisi politiknya tersebut yakni untuk bisa menembus bursa calon presiden di Pemilu mendatang, maka strategi propaganda murahan itu dianggap menjadi pilihan yang rasional. Padahal, propaganda tersebut bisa dipastikan sangat tidak produktif. Justru penulis menilai, propaganda yang dimunculkan sangat kontra produktif.

Mengingat, propaganda yang disampaikan berikut segala macam alasannya jauh dari landasan normatif yang secara bersama sudah disepakati di dalam UUD 1945 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bahwa jabatan presiden itu hanya 2 periode dan Pemilu Serentak dilaksanakan pada tahun 2024.

Frustasi Politik

Melihat propaganda dari ketiga Parpol tersebut, penulis beranggapan bahwa mereka sudah merasa frustasi. Kondisi frustasi politik ini sebenarnya sudah mulai terlihat sejak Pemilu tahun 2014 lalu. Dimana saat itu, bursa calon presiden hanya bertumpu pada 2 poros politik yakni antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.

Dan kedua poros politik ini juga yang kembali menguat pada Pemilu 2019 dengan kemenangan Jokowi di periode keduanya sebagai presiden RI. Diprediksi juga, dua kekuatan ini kelihatannya juga masih akan berlanjut di Pemilu 2024.

Dimana di dua kekuatan politik ini masih sangat dominan untuk memenangkan kontestasi Pemilihan Presiden mendatang. Sungguh, kondisi ini menjadi sebuah sinyal keprihatinan kepada kita bahwa Parpol belum bisa melahirkan calon pemimpin nasional.

Akibatnya, membuat ruang demokrasi di Indonesia kini hanya diisi oleh para Ketum Parpol yang karakternya lebih pragmatis dan transaksional. Dampak lebih dalamnya lagi, publik sering disuguhkan oleh miskinnya gagasan dan rasa malu dari Parpol itu sendiri.

Padahal, negara sudah memberikan bantuan anggaran kepada setiap Parpol yang memiliki ‘kursi’ di DPR RI. Tapi balasan Parpol malah sebaliknya, malah lebih suka membuat kericuhan dalam setiap UU yang dihasilkan. Bahkan yang lebih tragisnya lagi, Parpol tidak mampu melahirkan seorang negarawan (melahirkan koruptor).

Dari banyaknya contoh buruk yang ditunjukkan oleh Parpol tersebut, maka wajar saja frustasi politik yang dipertontonkan tersebut dianggap sesuatu hal yang biasa oleh para Ketum Parpol. Mereka menganggap kuasanya bisa mengalahkan akal sehat yang dimiliki oleh masyarakat.

Akibatnya, perilaku frustasi politik tersebut seolah sudah menjadi sebuah ekosistem baru dalam tatanan demokrasi di Indonesia. Inilah barangkali yang semakin membuat iklim demokrasi di Indonesia terus mengalami kemunduran.

Lihat saja contoh dari kasus lahirnya UU Cipta Kerja yang sudah dianulir oleh putusan Mahkamah Konstitusi dan proses kilat lahirnya UU Ibukota Negara yang prosesnya bisa diselesaikan selama 43 hari di DPR RI.

Menghukum Parpol

Dengan adanya rasa frustasi politik-menunda pemilu-maka rakyat perlu menyatukan tekadnya secara bersama untuk menghukum ketiga Parpol tersebut (Partai Golkar, PKB, dan PAN). Ajakan ini tentunya sangat beralasan karena memang tidak ada urgensinya menunda Pemilu.

Mengingat, kondisi negara juga tidak dalam kondisi darurat. Karena itu, memberi hukuman kepada Parpol yang ingin menunda Pemilu sangat cocok. Jenis hukuman disini bukan dalam bentuk pelaporan kepada polisi, tapi hukuman sosial.

Caranya bisa dengan mengampanyekan tolak Parpol yang menginginkan penundaan pemilu. Selanjutnya, tolak calon legislatifnya untuk Pemilu 2024, tolak calon gubernur dan wali kota/bupatinya di Pilkada 2024. Dengan mengkampanyekan penolakan tersebut, niscaya masyarakat semakin melek secara politik.

Apalagi bagi Parpol yang dilahirkan dari buah reformasi, jangan lagi dipilih di setiap Pemilu dan Pilkada berikutnya. Tentunya, kerja-kerja kampanye ini membutuhkan proses yang panjang.

Bagi pemerintah, ketiga Parpol tersebut selayaknya diberikan sangsi penghentian pemberian anggaran dana dari APBN. Asalkan, sangsi ini juga harus berlandaskan pada regulasi yang mengikat dalam sebuah Peraturan Pemerintah atau yang sejenisnya.

Upaya ini penting untuk dilakukan oleh pemerintah sebagai sebuah terobosan baru dalam mengatur Parpol yang dianggap bisa membuat kericuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sudah saatnya, publik diberikan mandat yang penuh dan diberikan ruang untuk menghukum Parpol yang frustasi. Dengan demikian, generasi bangsa ini tidak lagi dicekoki oleh statement para elit Parpol yang menyesatkan. Apapun alasannya, tidak ada urgensi penundaan Pemilu 2024. Karena hakikatnya, rakyatlah yang berdaulat dalam setiap Pemilu dari masa ke masa. WASPADA

Penulis adalah Alumnus Fakultas Ilmu Budaya USU, Peminat Pemilu.

  • Bagikan