Dokter Di Medan Kritik Soal Depresi Mahasiswa PPDS

  • Bagikan
Ilustrasi
Ilustrasi

MEDAN (Waspada): Soal hasil skrining Kementerian Kesehatan soal gejala depresi pada 2.716 atau 22,4 persen dari 12.121 mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), yang dipublikasikan ke media mengundang kisruh di berbagai kalangan.

Hal ini dikarenakan hasil penelitian yang dinilai tidak jelas baik sistem pengambilan sampel, kuesionernya maupun metodologinya.

Salah seorang dokter di Medan, yang juga Sekretaris Ikatan Dokter Indonesia Cabang Medan, dr Galdi Walfi mengatakan, semuanya saat mengenyam pendidikan pasti pernah mengalami stres, baik itu di tingkat sekolah SMA, SMP maupun kuliah dijurusan apapun. Sehingga jika diteliti juga hasilnya juga mirip-mirip.

“Kalau sekolah semuanya sama, mau sekolah apapun pasti ada tingkat stresnya. Karena ini difokuskan aja bidang kedokteran makanya hasilnya depresi. Coba turun lagi ke SMA, SMP ditanyakan dengan hal yang sama pasti hasilnya juga akan mirip mirip. Sementara kedokteran itu jurusannya urusan nyawa manusia bukan mesin, yang diobati orang yang berjalan bukan mesin yang bisa dimatikan kapan aja. Jadi tuntutannya lebih,” katanya.

Tapi katanya pilihan untuk menjalani pendidikan tergantung oleh masing masing, sehingga kalau siap menjalani pendidikan harusnya stres atau depresi itu tegasnya tidak akan terjadi.

“Yang buat stres sebutnya memang ada, tetapi sampai depresi itu dia sendiri yang ngatur. Nah terkait hasil survey bukan tidak setuju dan memang itu hasilnya dan itu bisa diterima. Itu tergantung diri orangnya. Jika dibandingkan jumlah yang depresi dibandingkan dengan jumlah PPDS seluruh indonesia, kenapa gak yang belasan ribu itu kita coba samakan. Mengapa yang jumlah sedikit itu kita permaslaahkan,” ungkap Galdi.

Galdi juga menyebutkan timbulnya stres atau depresi penyebabnya bukanlah karena sistem pendidikannya tetapi yang PPDS hadapi katanya lebih dari itu. “Apalagi ketika jumpa masyarakat dilapangan pasti lebih stres lagi nanti. Jangan berfikir bahwa sekolah itu gampang yang bisa sesuai keinginan kita,” ujarnya lagi.

Belum lagi zaman sekarang masyarakat sangat mudah mendapatkan info. Masyarakat bisa mendebat dokternya misalnya komplin obat yang diberikan, nah itu pasti ada yang terjadi tapi itulah bahagian dari pendidikan juga, tegas Galdi.

Jadi menurutnya, agar tidak stres atau depresi harusnya dari awal jika memilih PPDS harus siap baik fisik maupun mental.

“Bukan melarang menjadi dokter, tapi menjaga kualitas supaya dokter yang dihasilkan oleh masing masing institusi itu bisa melayani masyarakat dengan sebaik baiknya. Intinya hasil penelitian yang dipublikasikan ke media itu tidak lebih penting dari jumlah banyaknya PPDS yang berhasil dan tidak Alami depresi,” Galdi berujar.

Dokter lainnya juga ikut angkat bicara, beliau juga merupakan Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Sumut, Dr.dr Beni Satria, M.Kes, MA,MH.

“Saya lebih melihatnya pada metodologi, kalau itu merupakan hasil penelitian, penelitian itu ada syarat metodologi pengambilan sample kuesionernya apakah itu mewakili seluruh indonesia ataukah hanya beberapa saja. Harusnya juga penelitian itu terpublish di jurnal baru dikatakan valid. Tapi kalau hanya buat mereka internal saja akhirnya membuat ricuh,” jelasnya.

Kemudian ia mengatakan bahwa tidak ada kejelasan samplenya, apakah yang menjadi sample itu mahasiswa semester 1, 2, 3 atau mahasiswa semester akhir. Kalau angkatan pertama pasti depresi.

“Semua begitu, kitapun dulu di awal menghadapi kampus dipastikan stres, nah jika dikatakan depresi itu juga ada levelnya apakah itu ringan, sedang atau berat, sementara PPDS yang disebutkan Alami Depresi hingga ada yang mau mengakhiri hidupnya itu tidak ada kejelasan apakah mereka alami depresi level apa,” tukasnya.

Lanjutnya sampelnya itu juga apakah hanya menggunakan 1 jurusan saja. Padahal di PPDS itu ada banyak jurusan. Ada mata, THT, Bedah, obgin, kebidanan, kulit.

Contohnya kalau dia PPDS jurusan kulit, itu apa yang membuat stres. Penyakit kulit juga sudah jarang. Tapi kalau sample-nya PPDS bedah yang mereka harus membedah, melihat darah bercucuran dan Gawat Darurat , belum lagi saat memegang mayat.

“Publisitas penelitian belum ditemukan jadi menurut saya belum objektif untuk disampaikan ke masyarakat,” tandasnya.

Sementara, kisruh atas publish Hasil penelitian yang mengatakan ada banyak PPDS Depresi ini bukan hanya menimbulkan kekisruhan di Sumatera, Medan namun juga diseluruh Indonesia. (Cbud)

  • Bagikan