Jokowi: Presiden Tidak Dilarang Memihak Dan Kampanye

  • Bagikan
Jokowi: Presiden Tidak Dilarang Memihak Dan Kampanye
Lat/Net

JAKARTA (Waspada): Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut seorang presiden tidak dilarang untuk memihak dan berkampanye selama masa pemilihan presiden (pilpres). Namun demikian, seorang presiden menurutnya harus tetap berpedoman pada aturan kampanye, serta tidak menggunakan fasilitas negara.

Respons Jokowi itu ia sampaikan saat menjawab pertanyaan soal kritik terhadap menteri aktif namun menjadi bagian dari tim sukses salah satu paslon.

Selengkapnya, berikut pernyataan Jokowi dalam sesi tanya jawab dengan media di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1).

Ada pandangan bahwa ada menteri yang tidak ada hubungannya dengan politik, tapi menjadi bagian dari salah satu timses?

Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh, tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Boleh.
Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh.

Bagaimana cara untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan?

Itu saja, yang mengatur hanya tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Itu saja.

Kalau pak Presiden memihak atau tidak?

Gimana? itu yang saya mau tanya, memihak ndak? hehehe.

Banyak rekomendasi agar para menteri yang ikut kampanye mundur?

Semua itu pegangannya aturan, aturan. Kalau aturannya boleh ya silakan. Kalau aturannya tidak boleh, tidak, sudah jelas itu. Jangan di ini loh, ‘wah apa, presiden tidak boleh berkampanye’, boleh, itu boleh. Memihak juga boleh. Tetapi kan dilakukan atau tidak dilakukan itu terserah individu masing-masing.

Memang Diperbolehkan

Presiden dan Wakil Presiden yang masih menjabat memang diperbolehkan ikut serta dalam kampanye pasangan calon presiden-calon wakil presiden di Pilpres 2024.

Ketentuan ini sudah diatur dalam Pasal 281 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Meski diperbolehkan ikut kampanye, presiden dan wapres yang masih menjabat harus memenuhi pelbagai persyaratan. Di antaranya harus cuti di luar tanggungan negara serta tak menggunakan fasilitas dalam jabatannya.

Persyaratan yang sama juga harus dilakukan oleh para menteri dan para kepala daerah tingkat provinsi hingga kabupaten/kota bila ingin terlibat dalam mengampanyekan kandidat peserta pemilu.

“Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan: a. Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara, dan b. menjalani cuti di luar tanggungan negara,” bunyi pasal 281 ayat (1).

UU Pemilu juga mengatur secara spesifik soal jadwal cuti bagi presiden/wapres dan pejabat negara yang hendak berkampanye bagi kandidat. Jika ingin memutuskan cuti, maka harus memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

“Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU,” bunyi pasal 281 ayat (3).

Gugatan Di MK

Pada Desember 2023, seorang advokat bernama Gugum Ridho Putra pernah menguji aturan kampanye dalam UU Pemilu. Gugatan itu tercatat dengan Perkara Nomor 166/PUU-XXI/2023.

Pemohon menjelaskan, presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota sepatutnya dilarang mengikuti kampanye keluarganya yang menjadi peserta pemilu.

Sebab menurutnya, hal ini telah diatur Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menginginkan pemilu dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil.

Dia mengatakan, pembiaran bagi presiden dan pejabat lainnya untuk mengikuti kampanye anggota keluarganya bertentangan dengan prinsip pemilu yang bebas, jujur, dan adil.

Menurutnya, kehadiran secara fisik para pejabat itu akan menjadi perintah non-verbal yang sangat kuat kepada khalayak bahwa sang pejabat secara tidak langsung meminta seluruh masyarakat mengikuti pilihannya untuk turut mendukung keluarganya yang ikut dalam kontestasi pemilu.

“Untuk alasan itu, ketiadaan larangan ini jelas melanggar asas pemilu bebas,” kata Iqbal Sumarlan, kuasa hukum pemohon, dikutip dari situs resmi Mahkamah Konstitusi RI.(cnni)

  • Bagikan