Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Perlu Terus Disosialisasikan

  • Bagikan
Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Perlu Terus Disosialisasikan

JAKARTA (Waspada): Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) secara bertahap mulai menjalankan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota. Kuota ini ditentukan berdasarkan potensi sumber daya ikan dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Kuota ini juga sangat mempertimbangkan pemanfaatan sumber daya ikan.

Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No 11/2023. Sebelum aturan ini dijalankan secara penuh, KKP berupaya mensosialisasikan lewat focus group discussion (FGD).

Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Ridwan Maulana mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur adalah upaya untuk mengendalikan penangkapan ikan secara proporsional berdasarkan kuota yang telah ditetapkan.

“Dengan pengendalian ini diharapkan terjadi optimalisasi dari seluruh aspek biologi, sosial ekonomi, dan lingkungan,” ujar Ridwan dalam focus group discussion (FGD) tentang ‘Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Bagi Nelayan Bitung’, Kamis (16/11/2023).

Adapun komponen kebijakan penangkapan ikan terukur adalah, pengaturan pendaratan ikan pelabuhan, perizinan dan bagaimana kontribusi sektor perikanan negara yang lebih baik.

Sebelum ada PIT, lanjut Ridwan, izin penangkapan ikan bukan berdasarkan kuota. Sehingga untuk mengukur kapasitas tangkapan hanya didasarkan pada perkiraan kemampuan alat tangkap ikan pada kapal nelayan.

Metode ini membuat pemerintah tidak bisa mengawasi eksploitasi dalam penangkapan ikan. Ekploitasi inilah yang pada akhirnya menguras sumber daya ikan.

“Melalui kuota ini, diharapkan tidak ada unsur perkiraan lagi dan loss controldalam penangkapan ikan,” imbuh Ridwan.

Pembagian kuota penangkapan ikan dibedakan atas tiga jenis, yaitu kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota non-komersial. Kuota industri berlaku di wilayah perairan yang jaraknya lebih dari 12 mil.

Sedangkan untuk nelayan lokal di bawah 12 mil sebagai batas kewenangan pemerintah. Di antara itu, ada batas non-komersial untuk keperluan penelitian.

Dengan kebijakan penangkapan ikan terukur, data-data dari perizinan yang dicatat di Pelabuhan menjadi kredibel. Data-data ini tentu sangat membantu perencanaan dan pengembangan perikanan yang lebih baik.

“Sehingga pada akhirnya sumber daya alam menjadi lebih terkontrol,” lanjut Ridwan.

Dalam kesempatan yang sama, Walikota Bitung, Sulawesi Utara, Maurits Mantiri menceritakan adanya penurunan kinerja industri perikanan akibat tidak efisiennya tata kelola perikanan. Akibatnya, tingkat keberlanjutan perikanan tidak seimbang antara ekologi dan ekonomi.

Menurut Wali Kota Bitung pada 2014 produksi ikan olahan kaleng mencapai 70 ton perhari. Namun saat ini tingkat produksi hanya berkisar antara 20-40 ton saja.

“Ini penurunan yang sangat jauh dan mengakibatkan 14 ribu pekerja dirumahkan,” kata Maurits.

“Bagaimana jalan keluar yang akan diberikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan agar kondisi perikanan di Bitung dapat membaik?”sambungnya.

Kepala Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Utara Tienneke Adam menyampaikan, Bitung adalah kota pelabuhan yang memiliki banyak industri perikanan, baik perikanan tangkap maupun pasca-tangkap. Pengolahan ikan yang dimiliki sebanyak 111 unit yang terdiri dari processing untuk produk kaleng, frozen tuna, fresh, dan smoke fish.

“Dengan potensi ini, Bitung berpeluang untuk menguasai perikanan dunia,” kata Tienneke.

Secara geografis, Sulawesi Utara memiliki posisi strategis untuk mengekspor produk perikanan ke Cina, Korea, Jepang, dan negara-negara lain.

“Karena itu, perlu ada kebijakan baru yang mendukung produksi olahan perikanan,”ujar Tienneke.

Kepala Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung Ady Candra optimistis pelaksanaan kebijakan PIT  dapat dilaksanakan secara penuh. Kebijakan ini tentu akan mengubah pola kerja di lapangan karena itu diperlukan koordinasi dengan pemerintah daerah masing-masing.

Terkait aturan PIT, kekhawatiran soal keberlanjutan usaha perikanan disampaikan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Ketua Bidang Perikanan dan Peternakan Apindo, Hendra Sugandhi khawatir jika pemberlakuan PIT justru membahayakan keberlanjutan usaha perikanan. Sebab saat ini pasokan bongkar dan ekspor mulai menurun karena diterapkannya penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Seharusnya kita memprioritaskan pemanfaatan sumber daya alam yang ada, hal ini agar persebaran kapal yang merata,” katanya. Sehingga data pascaproduksi diterapkan terlebih dahulu dibandingkan penerapan kuota agar tidak memberatkan nelayan,” kata Hendra.

Menurut Hendra, ketentuan penangkapan ikan terukur harus dijelaskan lebih lanjut dalam aturan teknisnya. Misalnya saja tentang kuota yang diperbolehkan. Ia merasa ada perbedaan antara apa yang disosialiasikan kepada pengusaha dengan ketetapan pada PP No 11 Tahun 2023.

“Jangan sampai aturan ini jadi kontraproduktif,”pungkas Hendra.(J02)

  • Bagikan