Nasib Pilu Sang Veteran Hingga Air Mata Melati Dua 

  • Bagikan
Nasib Pilu Sang Veteran Hingga Air Mata Melati Dua 

Kulit yang dulunya kencang telah keriput dimakan usia, mata cerah berbinar perlahan keruh, deretan gigi rapi pun rontok tak lagi berseri, pipi yang chubby kini kempot, rambut pun memutih di sana sini menandakan umur tak lagi muda.  

Hidup sebatang kara ‘berselimut’ kemiskinan bukanlah keinginannya, namun apalah daya, nasib veteran ini harus berkata demikian. Tinggal di gubuk reot tak berpintu, berdindingkan terpal plastik, ‘gedek’, dan lempengan triplek menjadi pilihan terakhir sekedar berlindung dari teriknya mentari, dinginnya malam, dan guyuran hujan. 

Tak ada perabotan mewah apalagi sofa mahal, hanya dipan usang satu satunya tempat tidur paling berharga milik kakek uzur itu. Melongok ke dapur, jauh dari kata layak untuk dikatakan tempat memasak, bila harus membandingkannya dengan dapur Sultan Raffi Ahmad dan Nagita, bagaikan langit dan bumi. 

Dulu Ia pejuang kemerdekaan yang gagah berani mempertahankan setiap jengkal tanah negeri ini dari rampasan para penjajah. Kini tubuhnya lemah tak berdaya, bahkan untuk berjalan Ia tak kuasa. Ngesot adalah jalan terakhir untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. 

Pria uzur itu, Mustar Efendi, tinggal di belakang Masjid Syuhada Jln SMA Negeri 3 Kel Gading Kec Datukbandar Kota Tanjungbalai. Dia hidup sendiri, istrinya tercinta telah lama pergi meninggalkannya menghadap sang khalik tanpa dikaruniai anak. 

Nasib Pilu Sang Veteran Hingga Air Mata Melati Dua 

Hidupnya kini ditopang kemurahan hati warga sekitar untuk sekedar menyambung hidup. Tiada emas ataupun permata sebagai penyangga, hanya lencana, baret, topi, seragam, dan tali pinggang khas veteran, barang paling berharga yang ditunjukkannya. 

Dulu bertempur melawan penjajah, kini Ia berjuang mempertahankan hidup dengan kondisi lemah tak berdaya, tanpa sanak famili pula. Kakinya patah, lumpuh, cacat permanen paska tabrak lari beberapa waktu silam. 

Di dalam rumah, veteran berusia 92 tahun ini terpaksa ngesot untuk berpindah, sedangkan di luar menggunakan papan seluas keramik 40 sentimeter yang terpasang empat roda kecil di setiap sudutnya. 

Hanya itu alat bantu yang bisa digunakan untuk sekedar berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Meski didera kepahitan hidup, senyuman sang kakek ternyata tak lekang dimakan oleh kemiskinan dan usia yang mendekati seratus tahun. 

Kisah pilu sang pejuang akhirnya sampai ke telinga Kapolres Tanjungbalai, AKBP Ahmad Yusuf Afandi SIK MM. Polisi nomor satu di Kota Tanjungbalai ini terpanggil hatinya untuk langsung mendatangi rumah Kek Mustar dan bercengkrama lama di sana. 

Akhirnya perwira menengah ini berniat membawa Kek Mustar ke RS Bhayangkara di Tebing Tinggi untuk berobat, namun ditolak halus dengan alasan ingin menghabiskan waktu di gubuknya itu. Tak mau patah arang, perwira berpangkat melati dua di pundak ini berjanji akan datang lagi ke rumahnya dengan membawa bangku roda. 

Kapolres yang dikenal dermawan ini pun menepati ucapannya, Dia kembali ke sana lalu menyerahkan bangku roda modifikasi yang tentunya lebih baik dari sebelumnya. Dengan hati sumringah, Kek Mustar menerima pemberian itu seraya memanjatkan doa agar Kapolres dan jajarannya senantiasa diberikan kesehatan dan kemurahan rejeki. 

“Terimakasih Pak Kapolres atas bantuannya, semoga Allah membalas segala kebaikan yang Bapak buat,” ujar Kek Mustar terbata menahan haru. 


Kapolres pada refleksi akhir tahun kemarin sempat bercerita bahwa kehidupan sebagian masyarakat Kota Tanjungbalai saat ini sangat memprihatinkan. Banyak warga sangat butuh bantuan untuk sekedar menyambung kehidupan di tengah himpitan ekonomi. 

Ia menemukan sejumlah kasus pencurian yang dilatarbelakangi kemiskinan karena ketiadaan lapangan pekerja. Tak mencuri maka tak makan, itulah yang ada di benak para pelaku.  

Tak kuasa menahan sedih melihat fakta di tengah masyarakat itu, kapolres tampak terdiam sejenak, meletakkan mikrofon di atas meja, lalu perlahan menyeka air mata yang tumpah seketika. Setengah terbata, kapolres mengaku tak sanggup menyaksikan banyaknya warga yang membutuhkan donatur dan dermawan. 

Dia sendiri sudah berbuat semampunya, namun apalah daya, tidak semua masyarakat tercover. Sementara, di satu sisi polisi wajib menegakkan hukum, sedangkan di sisi lain harus pula mempertimbangkan rasa kemanusiaan. 

Apalagi saat ini paska Covid-19, hampir semua lini kehidupan terpukul terutama soal ekonomi. Kapolres harus menggunakan hati nurani dalam menegakkan aturan, di samping tetap membantu warga sedaya upayanya. 

“Saya tahu bahwa pemerintah tidak memiliki semua solusi, sehingga solusi nyata tidak datang dari atas ke bawah. Sebaliknya, cara untuk mengakhiri kemiskinan datang dari kita semua. Kita adalah bagian dari solusi,” kata mantan Gubernur Lousiana Amerika Serikat, Kathleen Blanco.   

*Rasudin Sihotang

  • Bagikan