Nek Kali, Cerita Belanda Dan Jepang Di Pijorkoling

  • Bagikan
Nek Kali, cerita kisah di masa penjajahan Belanda dan Jepang di Pijorkoling. (Waspada/Sukri Falah Harahap).
Nek Kali, cerita kisah di masa penjajahan Belanda dan Jepang di Pijorkoling. (Waspada/Sukri Falah Harahap).

“Di sini Belandanya cuma dua orang, selebihnya Belanda Hitam atau orang pribumi yang bergabung bersama pasukan tentara penjajah. Ada dari Manado dan Ambon, orang sini juga banyak”.

Nagari Siregar alias Nek Kali, warga Desa Huta Koje, menceritakan itu ketika ditemui di pondok kolam ikan pinggir Perumnas Pijorkoling, Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, Kota Padangsidimpuan.

Usianya sudah di atas 80, tanggal bulan dan tahun kelahirannya dia tidak pernah tau secara persis. Namun masih ingat suasana haru di Pijorkoling manakala kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.

Situasi tiba-tiba berubah. Orang-orang yang bergerilya dan mengungsi di hutan sudah pulang ke kampung. Bendera merah putih ukuran kecil ditempel di pohon-pohon kayu. Katanya, Indonesia sudah merdeka.

Saat itu, Pijorkoling sampai ke Sibulele, Angkola Jae dan Angkola Julu dikuasai tentara Jepang. Terbesit kabar, Hirosima dan Nagasaki dibom atom tentara sekutu.

“Sebagian orang tentara Jepang pulang ke negaranya dan beberapa lagi masih tinggal di sini. Ada yang menikah dengan warga setempat,” kata Nek Kali.

Di awal-awal penjajahan, tentara Jepang ini sangat kejam. Sempat satu ketika, semua hasil panen dan pakaian warga diambil paksa. Katanya, dibuang ke laut dan saat itulah sebagian warga terpaksa mengenakan pakaian dari kulit kayu atau laklak ni hayu.

“Tentara Jepang bermarkas di dekat rumah Raja Pijorkoling, bekas markas pasukan Belanda di pinggir jalan utama penghubung Sidimpuan ke Panyabungan. Pakaian dan hasil panen warga dikumpul di sana dan dibuang ke laut Sibolga,” kenang Nek Kali.

Pada masa itulah warga hanya makan sedikit nasi dicampur jagung dan ubi. Meski hasil panen diambil Jepang, warga berhasil menyembunyikan sedikit-sedikit.

Seiring waktu, tentara Jepang mulai melunak. Sebab, sudah banyak warga yang bergabung menjadi pasukan mereka. Nek Kali masih ingat, setiap pagi semua tentara (Jepang dan pribumi) dibariskan dan menundukkan kepala sebentar menghadap matahari yang baru terbit.

“Di sini, Jepang berkuasa sekitar 2 tahun. Setelah Hirosima dan Nagasaki dibom atom, mereka melunak dan berbaur bersama masyarakat. Kita semua tunduk ke kepemimpinan Raja Pijorkoling,” ujarnya.

Usia 10 tahun atau lebih, Nek Kali masuk sekolah Zending di Desa Huta Lombang, sekira 2 kilometer dari Pijorkoling. Kiri kanan jalan masih hutan. Murid belasan orang dan belajar dalam satu ruang kelas beratap ilalang.

“Hanya belajar menulis dan berhitung. Usia tidak menentukan boleh masuk sekolah. Jika tangan kanan ditekuk dari telinga ke atas kepala dan ujung jari menyentuh telinga kiri, berarti sudah boleh masuk sekolah,” kenangnya.

Nek Kali, Cerita Belanda Dan Jepang Di Pijorkoling
Pada masa penjajahan, di komplek Gereja Desa Limbong ini pernah berdiri tiga lokal Sekolah Rakyat (SR). Nek Kali salah satu muridnya. (Waspada/Sukri Falah Harahap)

Setahun di sekolah Zending, Nek Kali bersama 18 orang kakak dan adik kelas pindah ke Sekolah Rakyat (SR) yang baru dibangun di komplek Gereja Desa Limbong (sekira 1 kilometer dari Pijorkoling).

Tidak jauh dari sekolah itu ada makam para pejuang yang saat ini sebagian besar sudah dipindah ke Makam Pahlawan. Di sana ada satu makam yang sering mereka datangi dan beri hormat. Yakni makam Sersan Mayor (Serma) Hengki Siregar.

Serma Hengki pejuang yang gagah berani. Ia menjadi target penjajah dan tewas tertembak di sekitar Huta Lombang. Konon katanya, di lokasi itu juga ada makam Pahlawan Tanpa Nama.

Saat Nek Kali pindah sekolah ke SR itulah tentara Belanda kembali hadir menguasai bekas markasnya yang diduduki Jepang di dekat rumah Raja Pijorkoling. Warga menyebut masa-masa itu sebagai Agresi ke-II (sekitar tahun 1949).

“Di Pijorkoling ini Belandanya cuma dua orang, selebihnya Belanda Hitam atau orang pribumi yang bergabung bersama tentara penjajah. Ada dari Manado, Ambon dan orang sini. Mereka-mereka itulah yang kejam menindas warga,” katanya.

Sejak itu pula, para pejuang kembali bergerilya dan bersembunyi di hutan. Bedanya, para pahlawan kita itu sudah memiliki senjata api. Tidak seperti saat perlawanan melawan Belanda sebelumnya.

“Tentara Jepang yang tinggal di sini bergabung bersama gerilyawan melawan Belanda. Senjata api didapat dari tentara Jepang, mereka yang mengajari pejuang kita memakai senjata api,” terang Nek Kali yang bersama orangtua dan warga sering mengungsi ke hutan.

Pertempuran antara gerilyawan melawan tentara Belanda sering meledak. Nek Kali masih sempat melihat Mayor Bejo, alumni perang Medan Area, memimpin pejuang kita melawan penjajah di Pijorkoling.

“Mayor Bejo itu perawakannya tinggi dan gagah. Berkharisma dan ramah kepada warga, tegas kepada anggota dan hebat dalam pertempuran,” terang Nek Kali.

Duka merundung para pejuang ketika suatu di dini hari tentara Belanda datang menyerang Mayor Bejo dan pasukannya di Benteng Huraba.

“Jenazah pejuang kita diangkut pakai pedati. Jumlahnya cukup banyak, karena markasnya dikepung saat beristirahat di Benteng Huraba,” kenang Nek Kali.

Pada saat pasukan Belanda yang merasa puas dan sukses menggempur pejuang itu hendak pulang ke Pijorkoling, gerilyawan mengintai di jembatan sekitar Muaratais Tapanuli Selatan.

Seorang tentara Jepang sangat marah dan menawarkan diri berada di barisan depan untuk menggempur tentara Belanda. Ia sembunyi di balik dinding jembatan dan menembak mati satu orang Belanda yang berada di kursi depan mobil pasukan penjajah.

“Satu dari dua Belanda yang bermarkas di Pijorkoling tewas ditembak orang Jepang. Mereka sembunyikan kematian itu dengan cara mendudukkan jenazah di tengah pasukan dengan posisi dijepit dan seolah memegang senapan,” kata Nek Kali.

Selain itu, puluhan pasukan Belanda Hitam atau warga pribumi juga tewas. Sehingga perbandingan gerilyawan yang tewas di Benteng Huraba menjadi imbang.

Ditegaskan Nek Kali, tidak semua Belanda Hitam itu kejam. Masih ada yang mau menyeludupkan obat-obatan dan peluru dari gudang Belanda untuk diberikan ke gerilyawan. Di Pijorkoling, jumlahnya ada tiga orang yang seperti itu.

Nek Kali menamatkan sekolahnya di SR Pijorkoling, yang dibangun warga secara bergotong royong usai penjajah Belanda meninggalkan Padangsidimpuan.

“Jumlah semua muridnya 18 orang dan kami yang tamat SR itu delapan orang, sehingga tinggal 10 lagi,” kisah Nek Kali.

Dimintai pendapatnya tentang generasi muda dan pemerintahan di 78 tahun kemerdekaan Indonesia saat ini, Nek Kali diam dan kemudian geleng-gelang kepala.

“Parah dan tidak menghargai pengorbanan pejuang kita memerdekakan bangsa ini,” tutup Nek Kali yang juga merasakan pahitnya hidup di masa pemberontakan. WASPADA.id/Sukri Falah Harahap

  • Bagikan