Kenapa RUU Sisdiknas Panen Kritik, Ini Dia 10 Problematikanya

  • Bagikan

JAKARTA (Waspada): Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) masih terus dikritisi pegiat pendidikan. Indra Charismiadji dari Vox Populi Institute merunut 10 problematika fundamental yang dimiliki RUU Sisdiknas.

“RUU Sisdiknas ini punya sedikitnya 10 problematika yang sangat fundamental. Karena itu pembahasan dan evaluasinya masih harus terus dilakukan oleh pemerintah. Tidak bisa terburu-buru,” ujar Indra dalam keterangannya, Senin (19/9/2022).

Sepuluh problem fundamental RUU Sisdiknas itu adalah:

1. RUU Sisdiknas mengaburkan peran pemerintah sebagai pelaksana dan penanggungjawab usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam draf RUU Sisdiknas versi Agustus 2022  pasal 1 ayat 13
Wajib Belajar adalah program Pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia.

Sementara dalam  pasal 1 ayat 19 disebutkan bahwa menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pendidikan.

Padahal, dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas  pasal 1 ayat 18 disebutkan bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Demikian juga  pasal 1 ayat 30 tegas menyatakan bahwa menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.  

2. Penghapusan Peran Aktif Masyarakat dalam Sistem Pendidikan Nasional yang harusnya ditingkatkan. Hal itu dibuktikan dengan dihapusnya Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

Terkait hal ini, Indra memberi alternatif kepada pemerintah untuk membentuk  distrik sekolah.

3. Tidak ada kajian akademis yang komprehensif tentang problematika dan kondisi pendidikan Indonesia saat ini dan solusi nyata yang ditawarkan.
Naskah akademik hanya mengambil potongan-potongan pikiran dari beberapa tokoh yang hanya diarahkan untuk melegitimasi program-program Kemendikbudristek sendiri. Bahkan Profil Pelajar Pancasila bukan merupakan turunan ekslisit dari sila-sila Pancasila,

4. Sistem pendidikan nasional yang disusun masih lebih condong ke sistem persekolahan nasional. Harusnya ada keseimbangan antara pendidikan di rumah, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan rumah dan masyarakat harus lebih banyak ditingkatkan porsi dan implementasi nyatanya.

5. Miskonsepsi tentang Wajib Belajar menjadi kewajiban orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya dan ikut menanggung biayanya. Seharusnya, dalam hal ini negara menyediakan akses pelayanan pendidikan formal untuk semua warga negara dan dibiayai penuh oleh negara.

Indra lantas memberi beberapa alternatif kebijakan baru. Yakni pembukaan charter school (sekolah piagam) yaitu sekolah yang dikelola masyarakat tetapi biaya 100 persen ditanggung negara.

Selanjutnya, sekolah negeri berubah menjadi sekolah negara dan statusnya menjadi satuan kerja instansi pemerintah (satker) sehingga tidak perlu diberi dana BOS melainkan 100 persen menjadi tanggungan pemerintah.

6. Tidak ada upaya nyata untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia seperti rekomendasi lembaga-lembaga kajian internasional.

Indra merekomendasi untuk meningkatkan prestasi belajar dengan meningkatkan kualitas mengajar, meningkatkan kualitas siswa yang terjun ke dalam profesi mengajar dan kualitas pelatihan pra-mengajar, menyediakan program mentoring yang secara terus-menerus memperbaiki kualitas belajar dan mengajar, memastikan keberhasilan implementasi kurikulum pendidikan yang baru (K13) melalui guru sebagai agen utama kurikulum, membuat profesi guru semakin atraktif dalam rangka menarik para kandidat yang lebih baik dan meningkatkan kualitas pelatihan guru dengan menitikberatkan pada pengembangan kompetensi guru

7. Sistem Pendidikan Nasional masih Multi Sistem dan bertentangan dengan amanat Konstitusi. Perpres nomor 1O4 tahun 2021 masih menunjukkan bahwa anggaran pendidikan tidak pernah masuk dalam Sistem Pendidikan Nasional.

8. Tidak transparan.
Sampai hari ini belum ada penjelasan tim penyusun RUU Sisdiknas dari pemerintah.

9. Tidak ada Pelibatan Publik yang Bermakna. Kemendikbudristek justru sibuk membuat meme, flyer, postingan medsos, menggunakan influencer, membuat video penjelasan, membuat hadir di diskusi RUU Sisdiknas untuk kalangan yang mendukung saja. Alih-alih seperti itu, seharusnya Kemendikbud memberi keleluasaan akses untuk menyampaikan dan didengarkan pendapatnya (right to be heard) khususnya bagi pihak-pihak yang mengkritisi naskah akademik dan draf UU Sisdiknas yang dibuat pemerintah.

“Perlu juga dipertimbangkan pendapat, khususnya untuk para pakar dan tokoh pendidikan untuk RUU Sisdiknas ini,” kata Indra.

10.  Belum adanya Cetak Biru  atau Grand Design Pendidikan Indonesia. Untuk itu, lanjut Indra, perlu dibentuk panitia atau kelompok kerja nasional yang isinya para pakar pendidikan, tokoh pendidikan, perwakilan masyarakat daerah, akademisi, organisasi profesi, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, perwakilan etnis, perwakilan kelompok / golongan, organisasi pelajar  dan mahasiswa, pemerintah (pusat dan daerah), dan lain sebagainya sebelum menyusun RUU Sisdiknas.(J02)

Editor: Dian W
  • Bagikan