Plasma, Masyarakat Dan Perusahaan

  • Bagikan

PANYABUNGAN (Waspada): Aksi massa di areal perkebunan ratusan warga Desa Singkuang 1, Kab. Muara Batang Gadis, Kab. Madina, masih terus berlanjut.

Massa menginap di perkebunan kelapa sawit milik PT RPR. Massa menuntut hak plasma dalam sudah sangat panjang. Hingga hari ini, Senin (4/3), aksi massa sudah memasuki hari ke-15.

“Banyak kecewa dari realitas aturan hukum kita saat ini, menyangkut hak masyarakat atas pembangunan kebun plasma/kemitraan masyarakat oleh perusahaan perkebunan,”
ujar pengamat hukum Mhd Irwansyah Lubis, SH kepada waspada.id dalam percakapan melalui whatsApp.

Ketua DPC PPP Madina mengungkapkan, salah satu contohnya kita sangat berharap dengan terbitnya Permentan Nomor 18/2021 tentang fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar. Permen ini adalah turunan dari UU Ciptaker no.11/2020 dan PP no. 26/2021.

“Kita berharap, dengan adanya Permentan baru ini akan menjadi acuan tetap dan baku dalam pelaksanaan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat oleh seluruh perusahaan perkebunan diseluruh Indonesia,” ujar Irwansyah yang juga mantan anggota DPRD Madina.

Namun faktanya apa? Ketentuan di dalam Permentan ini, kata alumni Fakultas Hukum UMA, belum berlaku untuk semua perusahaan, masih ada pengecualian lewat pasal 43.

Ini, kata lulusan pesantren Musthafawiyah Purbababaru, menerangkan bahwa “Perusahaan Perkebunan yang telah melakukan usaha perkebunan pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini, belum memenuhi kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, wajib memenuhi kewajiban tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Perkebunan”.

Setelah perusahaan dengan kriteria di atas dasar kewajibannya dikembalikan ke Permentan 98/2013, ada lagi kekecewaan berikutnya yang lebih parah dalam Permentan ini. Apa itu?

Ternyata ada lagi pengecualian dari kewajiban yg tertuang dlm pasal 15 ayat (1) sesuai pasal 60 Permentan ini.
Pasal 60 menyatakan “ayat (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) tidak berlaku untuk Perusahaan Perkebunan yang memperoleh izin usaha perkebunan sebelum tanggal 28 Februari 2007 dan telah melakukan pola PIR-BUN, PIR-TRANS, PIR-KKPA, atau pola kerjasama inti-plasma lainnya.
Ayat (2) Perusahaan Perkebunan yang tidak melaksanakan pola PIR-BUN, PIR-TRANS, PIR-KKPA, atau pola kerjasama inti-plasma lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melakukan kegiatan usaha produktif untuk masyarakat sekitar sesuai kondisi wilayah setempat berdasarkan kesepakatan bersama antara Perusahaan dengan masyarakat sekitar dan diketahui gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan”

Artinya apa ini? Dikatakan, kewajiban fasilitasi kebun masyarakat kembali ada pengecualian bagi Perusahaan yg berdiri sebelum 28 Februari 2007 dengan 2 kriteria. Bagi perusahaan yg sdh melakukan kemitraan/fasilitasi tdk diwajibkan lagi. Yang kedua bagi perusahaan yg belum melaksanakan sama sekali, tdk diwajibkan lagi fasilitasi kebun masyarakat, namun hanya “melaksanakan kegiatan usaha produktif masyarakat” dalam bentuk yg luas, umum, fleksibel dan multy tafsir.

Ini yg saya maksud kecewa itu, kata dia, masak sebuah perusahaan yang sudah jelas selama ini tidak melaksanakan kewajibannya malah dibebankan kewajiban yang lebih mudah dan gampang. Tapi itulah faktanya realitas aturan hukum kita, katanya, yang membuatnya adalah perwakilan kita di senayan sana juga, saya yakin ini pasal yang “mahal dan berharga” bagi perusahaan yang masuk kriteria pengecualian ini. “Kalau kita hanya tinggal menerima untuk menaatinya, apalah daya?”

Dikatakan, ada dasar PT RPR masih bisa dibebankan dengan kewajiban membangun kebun masyarakat dengan pola kemitraan. Jadi, ini saya ungkap, kata dia, bukan karena saya memihak kepentingan perusahaan dan tidak pro terhadap aspirasi rakyat, namun sebenarnya cara inilah yg dapat menyelamatkan hak masyarakat setelah 18 tahun, karena memang tanpa ini perusahaan punya argumentasi hukum yang jelas untuk menghindar. tapi setelah dihadapkan pada kewajiban sesuai IUP, baru mereka dapat menerima dan tidak punya argumen hukum untuk menghindar lagi. Tanpa ada penolakan, ownernya menandatangani pernyataan kesedian mengadakan dan membangun kebun masyarakat seluas 600 ha.

Sama halnya juga dlm hal ini upaya memaksakan Permentan 26/2007 itu tidak bisa, karena Permentan ini tidak berlaku lagi setelah terbitnya Permentan terbaru yakni Permentan 98/2013 sesuai asas hukum “Lex Posterior Derogat Legi Priori” (hukum yg baru menyampingkan hukum yg lama).

“Dalam pandangan saya, kita tidak perlu bersikukuh seolah memperjuangkan hak rakyat tapi dengan aturan yang hanya “terlihat enak dan menguntungkan bagi kita” namun faktanya aturannya tidak berlaku lagi dan tidak relevan diterapkan pada kasus ini,” kata Irwansyah.

Itu, kata dia, hanya akan seperti menegakkan benang basah, ujung-ujungnya nanti akan konyol dan membuat kita malu sendiri. Lebih baik menggunakan dasar hukum yg jelas dan mengikat.

“Mengenai ada permintaan lain diluar kewajiban itu, yah…kan bisa dibicarakan dalam forum lobby atau negosiasi namun tanpa ada pemaksaan kehendak, namanya juga negosiasi. Bagaimana agar dapat menemukan jalan tengah dan para pihak sama-sama menang (win-win solution),” ujar M Irwansyah Lubis. (irh)

Plasma, Masyarakat Dan Perusahaan

Teks foto
Waspada/Ist
Ratusan massa Singkuang 1 masih terus melakukan aksi di areal perkebunan kelapa sawit milik perusahaan melewati dua minggu aksi, untuk menuntut hak plasma.

Plasma, Masyarakat Dan Perusahaan

Teks foto
Waspada/Ist
Mhd Irwansyah Lubis, SH, pengamat hukum, Ketua DPC PPP Madina, mantan anggota DPRD Madina.

  • Bagikan