Partai Ummat Nilai UU IKN Cacat, Bertentangan Dengan UU 1945

  • Bagikan

JAKARTA (Waspada): Partai Ummat menilai Undang-Undang Ibu Kota Negara cacat secara konstitusional karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karenanya rencana pemindahan IKN harus dibatalkan segera.

“Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945 harus ditolak. Karena dasar dari pemindahan ini adalah Undang-Undang yang cacat, maka Partai Ummat mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana kepindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur,“ tegas Ketua Umum Partai Ummat, Ridho dalam siaran pers yang diterima Waspada di Medan, Jumat (25/5).

“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang,“ jelas Ridho membunyikan dasar yang dijadikan rujukan oleh UU IKN untuk pemindahan ibu kota adalah Pasal 18 Ayat 1 UUD 1945.

Tetapi sayangnya, kata Ridho, para perancang UU IKN hanya berhenti pada Pasal 18 Ayat 1 dan tidak merujuk Ayat 2, 3 dan 4 pasal yang sama pada UUD 1945, yang menjadikan UU IKN cacat secara konstitusional.

“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,” bunyi Pasal 18 Ayat 2 UUD 1945.

“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum,“ bunyi Pasal 18 Ayat 3 UUD 1945.

Sedangkan Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 berbunyi Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Ridho menegaskan Pasal 18 Ayat 3 dan 4 UUD 1945 secara jelas menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Daerah dan kepala pemerintahan daerah dipilih secara demokratis lewat pemilihan, namun UU IKN menyebutkan bahwa IKN baru ini tidak memiliki DPRD dan kepala pemerintahannya ditunjuk langsung oleh Presiden dalam jangka waktu yang tidak terbatas.

Ridho Rahmadi mengatakan ada empat alasan Partai Ummat menolak UU IKN.

Pertama, kata Ridho, Pasal 4 Ayat 1 huruf B UU IKN menyebutkan bahwa Otorita Ibu Kota Nusantara adalah lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, sedangkan Pasal 8 menyebutkan bahwa Penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara adalah Otorita Ibu Kota Nusantara.

Ridho Rahmadi mengatakan pasal tersebut di atas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18 Ayat 4 bahwa penyelenggara pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota. “Tidak satu pun pasal di dalam UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada lembaga bernama Otorita untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah,” lanjutnya.

Ridho menambahkan Pasal 4 ayat 1 UU IKN ini juga bertentangan dengan strata pemerintahan yang menempatkan pemerintah daerah (provinsi IKN) posisinya setingkat dengan kementerian.

Kedua, kata Ridho, Pasal 9 Ayat 1 UU IKN menyebutkan bahwa Otorita Ibu Kota Nusantara dipimpin oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan dibantu oleh seorang Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.

Ridho mengatakan Pasal 9 Ayat 1 UU IKN di atas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18 Ayat 4 yang menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.

“Ibu kota negara yang diakui sebagai daerah provinsi seharusnya dipimpin oleh seorang gubernur, bukan Kepala Otorita. Kepala pemerintahan setingkat gubernur ini dipilih secara langsung oleh rakyat, bukan diangkat oleh presiden,” tambah Ridho.

Ketiga, kata Ridho, Pasal 12 Ayat 1 UU IKN menyebutkan bahwa Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara diberi kewenangan khusus berdasarkan Undang-Undang ini.

Dilanjutkan pada Pasal 12 Ayat 2 bahwa kekhususan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 antara lain mencakup kewenangan pemberian perijinan investasi, kemudahan berusaha, insentif fiskal dan/atau nonfiskal, serta pemberian fasilitas khusus kepada setiap orang yang mendukung pembiayaan untuk persiapan, pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara, dan pengembangan Ibu Kota Nusantara dan kawasan penunjang sebagai penggerak ekonomi masa depan.

“Pasal 12 Ayat 1 dan 2 UU IKN secara jelas mendistorsi arti kekhususan sebuah ibu kota negara. Seharusnya kekhususan diberikan kepada ibu kota negara yang berorientasi pada upaya mendukung dan memfasilitasi berlangsungnya roda pemerintahan, bukan untuk memfasilitasi sektor ekonomi dan bisnis,” tegas Ridho.

“Kekhususan dalam UU IKN adalah kekhususan ibu kota negara, bukan kekhususan kawasan berikat atau kawasan ekonomi,” lanjutnya.

Keempat, kata Ridho, Pasal 13 Ayat 1 UU IKN menyebutkan bahwa daerah otorita IKN dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur daerah pemilihan dalam rangka pemilihan umum. IKN hanya melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, dan pemilihan umum untuk memilih anggota DPD.

“Pasal 13 Ayat 1 UU IKN ini secara jelas menghapuskan hak politik rakyat yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya yaitu UUD 1945. Rakyat tidak diberikan ruang untuk memilih wakilnya di tingkat provinsi (DPRD Provinsi), hak politik hanya diberikan untuk memilih wakil rakyat untuk tingkatan DPR dan DPD,” kata Ridho.

Tidak Layak Secara Ekologis

Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi mengatakan kepindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur juga tidak layak secara ekologis karenanya harus dibatalkan. Partai Ummat menemukan setidaknya ada empat alasan mengapa ibu kota negara baru ini tidak layak secara ekologis.

Pertama, kata Ridho, IKN yang dibangun di kawasan seluas 180.965 hektare itu sangat rawan konflik dan merugikan warga setempat. “Berdasarkan pengalaman, mereka ini rawan untuk digusur begitu saja, karena lahan yang mereka tempati tidak punya dasar hukum positif, melainkan hanya berdasarkan kepemilikan secara turun-temurun.”

Ridho belum pernah mendengar pemerintah berdialog dengan warga yang ada dalam zona IKN, apalagi berdialog dengan salah satu komunitas masyarakat asli, yaitu suku Balik, yang menempati zona inti IKN.

Kata Ridho, masyarakat asli Kabupaten Penajam Paser Utara seperti Suku Balik berada di ring satu. Terdapat 150 keluarga Suku Balik yang tinggal di Kelurahan Pemaluan. “Pertanyaan besar bagi mereka saat ini adalah apa dampak mega proyek IKN pada hidup mereka.”

Dahulu Suku Balik hidup makmur dengan sumber makanan berlimpah lalu kemudian mereka menghadapi hantaman perubahan sosial-ekonmi pertama pada tahun 1960-an ketika perusahaan kayu masuk ke Kalimantan Timur, Ridho menjelaskan.
Ridho mengatakan pemerintah terlihat abai dalam mempertimbangkan dampak perpindahan manusia dalam jumlah besar ke lokasi baru, yaitu mulai dari masalah lingkungan hingga kesenjangan ekonomi antara pendatang atau pegawai pemerintah dengan warga setempat (yaitu masyarakat Paser Balik).

Ridho Rahmadi mengkhawatirkan apa yang dialami masyarakat Betawi di Jakarta juga akan dialami oleh komunitas asli Paser Balik. “Ibu kota baru dapat menjadi hantaman kedua bagi kelangsungan hidup mereka. Di wilayah inti kawasan Ibu Kota Negara ada lima desa yang di antaranya dihuni oleh komunitas ini.”

Ridho mengingatkan bahwa terdapat 26 desa dan kelurahan di Kecamatan Sepaku, 23 desa dan kelurahan di Kecamatan Samboja, delapan desa dan kelurahan di Kecamatan Muara Jawa serta 15 desa dan kelurahan di Kecamatan Loa Kulu.

Jumlah penduduk di masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut: Sepaku sebanyak 31.814 jiwa (2018), Samboja 63.128 jiwa (2017), Kecamatan Muara Jawa 37.857 jiwa (2017), dan Loa Kulu 52.736 jiwa (2017).

Di samping itu, di kawasan 180.965 hektare ini juga terdapat 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU batu bara. Ini belum termasuk tujuh proyek properti di kota Balikpapan.

Hasil penelusuran Partai Ummat menemukan bahwa ada 148 konsesi di kawasan IKN. Di antaranya adalah pertambangan batubara, baik yang berstatus Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan satu di antaranya berstatus Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Izinnya diterbitkan oleh pemerintah pusat dengan nama PT Singlurus Pratama seluas 24.760 hektare yang seluruh konsesinya masuk dalam cakupan IKN.

Selain itu, Ridho melanjutkan, di lokasi IKN juga terdapat 94 lubang bekas tambang batubara yang tersebar di atas kawasan IKN. Dari jumlah tersebut lima perusahaan terbanyak yang meninggalkan lubang tambang adalah PT Singlurus Pratama dengan 22 lubang, PT Perdana Maju Utama 16 lubang, CV Hardiyatul Isyal 10 lubang, PT Palawan Investama sembilan lubang, dan CV Amindo Pratama delapan lubang.

Kedua, kata Ridho, IKN mengancam ketersediaan air untuk Kota Balikpapan, Samarinda, dan kawasan sekitarnya.

“Kawasan IKN merupakan daerah yang memasok air dan menjadi daerah tangkapan air untuk daerah sekitar. Artinya, IKN mengancam pasokan air untuk daerah sekitar yang tanpa IKN pun sudah kekurangan pasokan,” tambah Ridho.

Ridho mengutip hasil kajian Walhi dan LSM lainnya yang menyebutkan lokasi IKN adalah wilayah strategis dan pendukung kebutuhan sumber air bagi lima wilayah, yaitu Balikpapan, Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara wilayah pesisir (khususnya Kecamatan Samboja), Kecamatan Muara Jawa serta Kecamatan Loa Kulu, dan Kota Samarinda (khususnya di bagian selatan).

“Dalam kondisi normal saja Kota Balikpapan seringkali mengalami krisis ketersediaan air bersih dan air minum, yang membuat Panajam Paser menjadi sumber air bagi Balikpapan. Walaupun dalam tata ruang wilayah telah ditetapkan 52 persen wilayah kota adalah kawasan lindung, tetap saja warga Kota Balikpapan mengalami krisis air,” Ridho menjelaskan.

Ketiga, lanjut Ridho, Kawasan IKN sekarang sudah memiliki udara yang tidak sehat yang membahayakan tubuh manusia.

“Pembabatan hutan di hulu dan sedimentasi sungai akibat aktivitas penambangan telah membuat sebagian daratan Kalimantan mengalami degradasi. Sekarang Kalimantan semakin kering dan gersang hingga terancam berubah menjadi gurun pasir di satu sisi dan langganan banjir di sisi lain,” kata Ridho.

Lanjut Ridho, “Bahkan setiap kali kita menghadapi bencana kabut asap, lokasi calon ibukota baru sudah terkena paparan asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Luas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Timur pada 2019 mencapai 6.715 hektare. Per September 2019, ada 1.106 titik panas api. Pada saat yang sama (September 2019) terdapat pula 346 titik panas di Kalimantan Barat, 281 titik di Kalimantan Tengah, dan 105 titik di Kalimantan Selatan.

Laporan BPBD Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) menyebutkan beberapa daerah di PPU yang merupakan wilayah IKN tak lepas dari kebakaran dan bencana asap. Titik lokasinya adalah daerah di sekitar Nenang, Gunung Seteleng, dan Lawe-Lawe.

Ridho menambahkan lokasi IKN tidak saja mendapatkan kiriman asap dari provinsi lain, tetapi juga menjadi sumber kebakaran. Kepala Sub-Bidang Logistik dan Peralatan BPBD Kabupaten Penajam Paser Utara Nurlaila menyampaikan bahwa sedikitnya ada 18 kebakaran lahan di wilayahnya.

Kepala Bappenas menyadari rawannya kondisi kesehatan lokasi IKN dan menyatakan akan mempersiapkan rencana mitigasi. Pemerintah agaknya menganggap hal ini lumrah — karena menurut Bappenas — Singapura dan Malaysia pun sama-sama menghirup kabut asap yang sama.

“Ini argumentasi yang janggal karena negara-negara tetangga kita tak pernah memilih berada di posisi lintasan kabut asap akibat kebakaran hutan di Indonesia yang sudah terbukti tak mampu kita atasi selama bertahun-tahun. Sementara kita sengaja mendatangi lokasi sumber asap,” kata Ridho.

Selain polusi asap, kata Ridho, udara IKN juga bakal dipenuhi limbah energi kotor batubara. Bukti keberpihakan pemerintah terhadap batubara salah satunya adalah dengan terus bertambahnya jumlah penggunaan batubara untuk kebutuhan dalam negeri.

Setiap tahun jumlah DMO (domestic market obligation) batubara kian bertambah. Tahun 2014, 2015, 2016, 2017, 2018 berturut-turut adalah 76 juta ton, 86 juta ton, 91 juta ton, 97 juta ton dan 115 juta ton.

Begitu juga dengan penggunaan energi kotor batubara di Kalimantan. Terdapat dua PLTU batubara di dekat Balikpapan dan Samarinda yang tidak jauh dari lokasi ibu kota baru.
Di Kalimantan terdapat tujuh rencana pembangunan PLTU dengan bahan bakar batubara, yakni Kalselteng 3, Kalselteng 4, Kalselteng 5, Kaltim 3, Kaltim 5, dan Kaltim 6 dengan kapasitas masing-masing 200 MW, serta Kaltimra dengan kapasitas 400 MW,“ kata Ridho.

“Karena dampak lingkungan tidak sehat bersifat lintas batas, maka polusi asap dan udara pun bersifat lintas batas. Ibu kota baru tetap akan terpapar polusi udara dari kebakaran hutan di Kalimantan dan polusi PLTU-PLTU batubara yang sudah dan akan dibangun yang tersebar di Kalimantan,“ kata Ridho.

Keempat, kata Ridho, pembangunan IKN potensial merusak hutan bakau. “Di tengah menguatnya kampanye dunia untuk mewujudkan carbon neutral di mana bakau merupakan tanaman terbaik untuk menyerap emisi karbon, IKN justru sangat potensial memusnahkan hutan bakau di Teluk Balikpapan.“

Kata Ridho, Hulu Teluk Balikpapan adalah termasuk dalam wilayah IKN atau ring dua yang mengancam keberadaan ekosistem hutan bakau. Ekosistem ini membentang sepanjang 17 km dari Kecamatan Balikpapan Barat hingga pesisir teluk di wilayah Kecamatan Penajam.

Total luas hutan bakau ini mencapai 12.418,75 hektare yang memanjang dari daerah aliran sungai (DAS) Somber wilayah administrasi Kota Balikpapan yang mengelilingi Teluk Balikpapan hingga kemudian membentang hingga DAS Riko di wilayah administrasi Kabupaten PPU.

“Padahal kawasan hutan bakau ini sudah direkomendasikan untuk dijadikan kawasan konservasi,“ kata Ridho.

Ridho mengutip kronologi kawasan ini direkomendasikan menjadi kawasan konservasi sebagai berikut.

Pada 2011 kajian RASI bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi mengusulkan Teluk Balikpapan dijadikan kawasan konservasi. Pada 2015 Yayasan RASI merekomendasikan pembagian konservasi kawasan menjadi empat zona di Teluk Balikpapan (tiga kabupaten/kota yaitu PPU, Kota Balikpapan, dan Kutai Kartanegara).

Pada 2017 Koalisi CSO mengusulkan Teluk Balikpapan dijadikan kawasan konservasi. Pada 2019 Walikota Balikpapan mengeluarkan surat rekomendasi untuk Gubernur Kaltim agar Teluk Balikpapan dijadikan kawasan konservasi.

Pada 2019 mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim menulis surat rekomendasi kepada Gubernur Kaltim agar Teluk Balikpapan dijadikan kawasan konservasi. Pada 2019 identifikasi dan inventarisasi DLH, BKSDA, BPEE KLHK mengusulkan sebagian Teluk Balikpapan menjadi kawasan ekosistem esensial.

Pada 2019 staf ahli KLHK Hani Hadiati mengusulkan agar Teluk Balikpapan dijadikan perhutanan sosial.

Judicial Review UU IKN

Berdasarkan alasan konstitusi dan ekologi di atas, Partai Ummat mempertimbangkan untuk melakukan judicial review UU IKN begitu tercatat dalam lembaran negara, dan memohon kepada MK untuk membatalkan UU yang bertentangan dengan UUD 1945 ini.

“Konsekuensi dari permohonan pembatalan UU IKN ini adalah batalnya pemindahan IKN ke Kalimantan Timur. Inilah yang terbaik untuk bangsa dan negara. Partai Ummat berkomitmen untuk melawan kezaliman dan menegakkan keadilan,“ pungkas Ridho. (cdk)

  • Bagikan