Putusan MK Pupuskan Harapan Kemerdekaan Demokrasi dan Hati Nurani

  • Bagikan
Putusan MK Pupuskan Harapan Kemerdekaan Demokrasi dan Hati Nurani

JAKARTA (Waspada): Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan yang diajukan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, yang diajukan dalam sidang putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024, Senin (22/4) dinilai telah memupuskan harapan Rakyat Indonesia tentang Hari Kemerdekaan Demokrasi dan Hati Nurani.

“Hari yang sejatinya dinantikan oleh jutaan Rakyat Indonesia sebagai Hari Kemerdekaan Demokrasi dan Hati Nurani, pupus sudah,” ujar pemerhati Telematika, Multinedia, AI dan OCB Independen, Dr Roy Suryo dalam keterangan pers, Senin (22/4).

“Meski ada 3 dissenting opinion dari Hakim MK yaitu Prof Saldi Isra, Prof Arief Hidayat dan Prof Enny Nurbaningsih, namun tidak cukup untuk mengubah kesimpulan hasil putusan kontroversial tersebut,” sambung Roy.

Roy mengaku telah memprediksi bahwa MK tidak akan berani dan hanya akan main ‘play safe’ dengan tetap menyetujui Paslon 02 tetap lanjut. Dia sebenarnya berharap setidaknya MK ada kerjanya dengan memerintahkan pemilu ulang untuk 3 pasangan calon presiden dan wakil presiden ini, dibanding hanya membuat putusan seperti sekarang ini.

Menurut Roy, kentara sekali bahwa MK dalam beberapa pertimbangan berusaha ‘buang badan’ dengan terkesan mengembalikan persoalan utamanya ke DPR yang telah membuat Undang-undang, Bawaslu yang harusnya mengawasi KPU dan bahkan Pansel yang dulu telah memilih anggota-anggota lembaga tersebut.

Roy juga menyayangkan bahwa semua kecurangan, kebohongan yang telah diungkap secara jelas dalam aplikasi Sirekap,  tidak terlalu menjadi pertimbangan Majelis Hakim MK.

“Padahal jelas-jelas inti dari angka kemenangan itu hanyalah dibuat dengan teknologi informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan darimana sumber asli atau jejak digitalnya, karena sudah mengalami ratusan ribu modifikasi sesuai temuan para pakar IT independen, diantaranya dari APDI. Benar-benar dianggap sebuah ‘Pepesan Kosong’ belaka,” keluh Roy.

Terkait 50-an lebih Amicus Curiae yang sudah dibuat oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk profesor, guru besar, pakar-pakar dalam bidangnya, ilmuwan, agamawan, budayawan dan banyak lagi, Roy optimistis hal itu tidak sia-sia. Karena meski tidak menjadi pertimbangan bagi MK, namun semua buah karya pemikiran ilmiah dan komprehensif tersebut akan tetap menjadi catatan atau referensi ilmu pengetahuan dan etika yang tidak terpisahkan dan sulit dilupakan oleh seluruh Rakyat Indonesia.

“Bahwa pernah terjadi Dirty Vote dan Dirty Election di negara ini, sebagaimana judul 2 film yg sudah tayang kemarin,” imbuh Roy.

Ini artinya juga, tambah Roy, bahwa ke-2 film yang sama-sama menggunakan kata Dirty karya Trio Pakar Hukum Tatanegara Bivitri, Zainal AM dan Feri Amsari (” Dirty Vote”) dan Karya APDI (Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia) pada Dirty Election’ akan menjadi Legenda Audio-Visual yg tidak akan dilupakan oleh masyarakat dan sejarah demokrasi Indonesia. Karya-karya ini, lanjut Roy, telah berani memotret dengan jujur, berani dan tegas terhadap segala penympangan yg terjadi saat sebelum, saat dan pasca pelaksanaan Pemilu 2024 lalu. (j02/m14)

  • Bagikan