PGRI : RUU Sisdiknas Harus Tegas Cantumkan TPG Bagi Guru

  • Bagikan

JAKARTA (Waspada): Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta agar tunjangan profesi guru (TPG) tetap diberikan kepada guru dan dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang Sisdiknas.

“Karena tidak dinyatakan secara tertulis, menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru apakah Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan memberikan tunjangan “fungsional” untuk guru?”ujar Ketua Umum PGRI, Prof Unifah Rosyidi dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (17/9/2022).

Memang, dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Sisdiknas Pasal 145 Ayat (1) dinyatakan, “Setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen SEBELUM UNDANG-UNDANG INI DIUNDANGKAN, tetap menerima tunjangan tersebut sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Dalam pandangan kami, frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan”, artinya tunjangan profesi guru akan hilang, jika RUU Sisdiknas ini diundangkan. Jika Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan tetap memberikan TPG, maka frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan harus dihapus,” tegas Unifah.

Penghapusan ini, lanjut Unifah, sekaligus agar substansi RUU Sisdiknas tidak bias dan multi tafsir  serta ada jaminan guru tetap menerima tunjangan profesi.

Selama ini, landasan hukum TPG sangat kuat yakni  Pasal 16 Ayat (1)  Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang berbunyi, “Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik…”. Kemudian pada Pasal 16 Ayat (2) ditegaskan, tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan  yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja dan kualifikasi yang sama.”

Unifah menambahkan, jika besaran tunjangan profesi diikat oleh undang-undang sebesar satu kali gaji, bagaimana dengan tunjangan fungsional Selama ini tidak pernah ada penjelasan dari Kemendikbudristek, apalagi dinyatakan secara tegas dalam undang-undang sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru.

Kekhawatiran ini, lanjut Unifah, bisa dipahami karena ketentuan yang sudah tertulis secara tegas dalam undang-undang pun tidak dilaksanakan. Misalnya, dalam Pasal 82 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan, guru yang belum mendapat sertifikat pendidik wajib memiliki sertifikat pendidik paling lama 10 tahun sejak Undang-undang tersebut diberlakukan.

“Artinya, persoalan sertifikat pendidik mestinya sudah selesai pada tahun 2015,” tambah Unifah.

Kenyataannya, Kemendikbudristek mengakui sampai 2022 masih ada 1,6 juta guru yang belum mendapat sertifikat pendidik. Jadi, siapa yang lalai dalam menjalankan amanat Undang-undang Guru dan Dosen? Begitupun janji untuk mengangkat satu juta guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), kenyataannya jauh dari pernyataan yang dulu disampaikan dengan sangat manis.

Lebih memprihantinkan lagi guru-guru sekolah swasta. Pengaturannya akan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tidak ada lagi kekhususan untuk dunia pendidikan dan profesi guru, melainkan disamakan penghasilannya dengan buruh.

Selain itu Kemendikbudristek mengesampingkan atau tutup mata terhadap kondisi sekolah swasta di Tanah Air. Tidak semua sekolah swasta kondisinya baik secara ekonomi. Banyak sekolah swasta yang kondisinya memprihatinkan, namun dilandasi semangat pengabdian yang tulus para pengurusnya, mereka tetap memberikan pelayanan pendidikan terbaik kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi.

“Kemdikbudristek memang menjanjikan akan memberikan tambahan Biaya Operasional Sekolah (BOS) kepada sekolah-sekolah swasta tersebut. Namun bagi kami BOS itu adalah anggaran dari peserta didik untuk peserta didik, penggunaannya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah, bukan diperuntukan bagi gaji guru,” tandas Unifah.

PGRI sangat setuju dan berkomitmen untuk mendukung Kemendikbudristek dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru.

Karena itu Pedidikan Profesi Guru (PPG) tidak dilakukan dengan metode yang rumit, namun melihat kompetensi dan profesionalisme guru di kelas.

Karena itu, sertifikasi harus merupakan bagian integral dari pengembangan profesi guru.  Guru harus terus-menerus mendapat pelatihan  terstruktur yang diselenggararakan oleh lembaga khusus dan professional.

“Jadi untuk meningkatkan kesejahteraan guru, sudah selayaknya tunjangan profesi guru tidak dihapuskan. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas guru, sistem pembinaan profesi yang harus diperbaiki. Melalui kedua langkah tersebut, kita mengharapkan akan tercipta guru-guru yang sejahtera dan berkualitas sehingga akan membawa kemajuan bagi Indonesia,”pungkas Unifah (J02)

Editor: Dian W
  • Bagikan