Bambang Triyogo Menggebrak Pasar Dalam Diam

  • Bagikan

WAKTU Ali Sadikin menggusur Kebun Binatang Cikini ke Ragunan lalu membangun pusat kesenian bernama Taman Ismail Marzuki, apakah yang ada di kepala para seniman Jakarta ketika itu?

Mereka yang selama bertahun-tahun hanya bisa memanfaatkan meja-meja warung kopi di seputar Pasar Senen, untuk mendiskusikan kesenian dan membincangkan gagasan-gagasan kreatifnya, terlonjak gembira kemudian berkata; Inilah gubernur kita!

Waktu gedung kesenian di Jalan Bali dimusnahkan sedang kondisi Taman Budaya Sumatera Utara sebagai penggantinya tetap saja memperihatinkan, kemanakah Gubernur Sumut? Di mana pula Wali Kota Medan berada? Dan para senimannya, ke mana mereka “melarikan diri” dari kebekuan apresiatif aparatur pemerintahan itu?

Dua dari tiga pertanyaan di atas telah menjadi pertanyaan klasik yang sudah bertahun-tahun tak menemukan jawaban. Birokrasi pemerintahan di daerah ini rupanya telah demikian “ruwet” untuk hanya menjawab pertanyaan sederhana itu.

Tapi soal ke mana para senimannya melarikan diri, tak susah menemukan jawabannya. Para seniman itu punya cara sendiri menyiasati keadaannya. Pelukis Bambang Triyogo salah satunya.

Ketika pembangunan ekonomi dipacu dalam macam-macam bentuk infastruktur, ketika pembangunan politik melahirkan beragam Perda dan Pergub, ketika itu pula pembangunan seni budaya terpinggirkan.

Selama masa itu pula, sudah macam-macam paket kebijakan ekonomi mikro dan makro dikeluarkan. Sudah berbagai pembangunan infrastuktur dikebut pengerjaannya. Ironisnya, tak sekali pun lahir kebijakan komprehensif terkait pembangunan kesenian dan kebudayaan. UU Nomor 5 Tentang Pemajuan Kebudayaan yang dibanggakan-banggakan pemerintah itu, di tingkat daerah, tak terkecuali di Sumut, justru macet implementasinya.

Bertahun-tahun sudah pejabat pemerintah di Sumatera Utara, Kota Medan khususnya, kehilangan semangat apresiasinya. Bertahun-tahun aktivitas kesenian (kalaupun itu boleh disebut kesenian) hanya diserahkan pada instansi pemerintah daerah sekelas UPT.

Sejumlah seniman mencoba tetap berkompromi dengan situasi itu sambil mengelus dada. Tapi sebagian lainnya tak bisa hanya diam dan berpasrah diri. Mereka lalu mencoba menerobos kebekuan apresiatif itu dengan melakukan-hal-hal yang sebelumnya tak pernah mereka lalukan.

Satu dari sejumlah seniman yang tidak “pasrah” itu adalah Bambang Triyogo. Pelukis Medan kelahiran Cilacap 29 April 1960 ini, adalah salah satu seniman lukis Sumatera Utara yang “survive” dengan karya-karyanya meski kondisi Kota Medan tidak begitu kondusif untuk para seniman agar terus berkarya.

Tapi “Wak Ogek”, begitu Bambang Triyogo suka dipanggil teman-temannya, tak patah arang. Tanpa banyak bicara ia terus menghasilkan karya-karya lukisnya dan diam-diam memasarkannya bahkan hingga ke luar negeri. Sampai hari ini, seperti katanya, sudah puluhan lukisan karyanya, baik lukisan naturalis, realis maupun kaligrafi yang dikirimnya ke Jepang.

Apa yang dilakukan Bambang Triyogo seakan menampik dengan tegas tudingan sejumlah orang yang beberapa tahun lalu pernah mengatakan bahwa pelukis Medan itu malas. Hari ini Bambang Trioyogo membuktikan bahwa tudingan seperti itu sama sekali tidak benar.

Setelah pelukis M. Yatim Mustafa yang juga sedang membuka cakrawala lebih luas dengan memamerkan karya-karya di dunia Internasional, Bambang Triyogo dengan tegas ingin menyatakan kehendaknya mengikuti jejak seniornya tersebut.

Bambang Triyogo Menggebrak Pasar Dalam Diam
Bambang Triyogo bersama mahasiswa UIN Medan di Sanggarnya. Waspada/Ist

Seolah dia hendak berkata; “Jika di Kota Medan hasil kreativitas kami tak mendapat apresiasi, maka kami akan pergi melanglang buana. Bumi Allah masih terbentang sangat luas untuk menjadi galery bagi memamerkan karya-karya kami.”

Maka, seperti katanya, puluhan lukisannya pun terbang ke Jepang dan sejumlah negara lainnya. Tapi semua itu, akunya, tidak terjadi begitu saja. Bambang tekun mencari peluang. Membaca dan mengikuti perkembangan dinamika senirupa di berbagai negara.

Dia pun tidak melukis hanya karena ada pesanan. Sembari membangun jaringan, ia mengembangkan imajinasinya. Lalu, dengan bermodalkan korespondensi, para kolektor mulai melirik karya-karya yang dihasilkannya.

Bambang Triyogo adalah satu dari sedikit seniman lukis di Medan yang mengandalkan hidupnya sepenuhnya dari melukis. Karena itu dia tidak main-main dengan profesinya. Baginya melukis adalah profesi sekaligus sumber penghidupan. Maka ia ketat terhadap waktu.

Ia penuh disiplin dalam melukis. Karena itu, bagi lulusan Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Dunai yang pernah bekerja di Harian Kompas ini, jam-jam melukis adalah jam bekerja. Maka waktu melukis baginya tak lebih dari delapan jam sehari. Selebihnya adalah waktu untuk ibadah dan untuk keluarga.

Menarik Perhatian

Bambang Triyogo sendiri bukanlah pelukis jebolan sekolah senirupa. Alumni SMK Tanjung Pinang ini justru lulusan dari Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Dumai. Selesai kuliah, dia sempat menetap di Jakarta dan berkerja di Harian Kompas. Namun tak lama ia kemudian berhenti dan memilih tinggal di Medan.

Kegemarannya melukis sejak masih kanak-kanak tampaknya lebih menarik minatnya. Seiring waktu, kegemaran itu pun berkembang semakin pesat. Bambang lalu belajar melukis dan mencari pengalaman ke beberapa Sanggar.

Tahun 1995 ia bergabung dengan Sanggar Rowo asuhan pelukis M. Yatim Mustafa. Tahun 2005 Bambang kemudian hijrah ke Bali. Di Bali ia menetap di Ubud dan bergabung dengan teman-teman pelukis di Sanggar Ubud. Selama di Sanggar Ubud inilah Bambang memperdalam budaya Bali. Sensualitas perempuan Bali banyak diangkatnya menjadi tema karya lukisnya.

Sejumlah lukisan karyanya, seperti “Gadis Bali”, “Potret Nelayan”, “Danau Toba”  bahkan sempat menjadi perhatian dan pembicaraan para pengamat dan kritikus senirupa. “Karya-karyanya diciptakan dengan teknik impasto, sapuan warna tipis-tipis dan lembut,” ujar Dr. Agus Priyatno, M. Sn, pengamat senirupa dan dosen Pendidikan Senirupa FBS Unimed. 

Bambang Triyogo Menggebrak Pasar Dalam Diam
Salah satu karya Bambang Triyogo yang dikirim ke Jepang. Waspada/Ist

Selama di Medan, pelukis yang sekarang menetap di Desa Limau Manis Tanjungmorawa ini tak hanya berkutat di sanggarnya. Dia juga aktif mengikuti kegiatan pameran lukisan bersama baik di Medan, Jakarta, Bali dan bahkan di Malaysia.

Pameran yang diikutinya pun, seperti katanya, tak selalu dilakukan demi mencari untung, tapi juga untuk kemanusiaan. Tahun 2016 lalu misalnya, bersama sejumlah pelukis lain ia ikut pameran Seniman Peduli Sinabung untuk kemanusiaan yang diadakan Simpassri.

Sebagai pelukis, Bambang Triyogo bukan sekadar pelukis realis naturalis. Dia juga mahir melukis karikatur, membuat mural dan piawai melukis kaligrafi. Sejumlah karya kaligrafinya ada terpajang di sejumlah masjid dan dikoleksi para kolektor. Bahkan Bambang juga seorang penata dekorasi panggung, khususnya untuk pelaksanaan MTQ.

Bambang Triyogo juga dikenal sebagai seorang yang peka terhadap kondisi lingkungan sosialnya. Lukisannya “Potret Nelayan” misalnya, yang menggambarkan seorang nelayan sedang menjinjing jaring dan seekor ikan emas dengan posisi tergantung menatap sebuah perahu kayu di bawahnya, sudah cukup menunjukkan kepekaan intuitif Bambang Triyogo terhadap permasalahan sosial masyarakat di sekitarnya. (*)

Waspada/Ist

  • Bagikan