M. Yatim Mustafa “Goyang” Art Jakarta 2022

  • Bagikan

“TAK sia-sia saya menyenangi sastra hingga mendapat julukan pelukis filosofi,” tulisnya dalam pesan singkat di whatsapp saya. Penulis pesan itu adalah Muhammad Yatim Mustafa, maestro senilukis realis naturalis asal Tanjung Morawa yang kini semakin meneguhkan jejaknya di kancah senirupa nasional.

Setelah tiga kali mengikuti lelang internasional dan karya-karyanya dibeli oleh kolektor senilukis terkemuka, tanggal 26 hingga 28 Agustus lalu Yatim pun diundang khusus untuk mengikuti pameran senirupa bertaraf internasional, “Art Jakarta 2022” yang berlangsung di Jakarta Convention Centre, Jakarta.

Pameran ini merupakan “Art fair” pertama di Jakarta setelah Indonesia selama dua setengah tahun lebih dikerangkeng oleh Covid-19. Menurut laporan media, pameran yang diisi dengan berbagai karya senirupa (termasuk patung dan karya instalasi ini) dipadapi oleh pengunjung yang berjubel dengan berbagai aktivitas transaksi dan bisnis seni, paparan wacana serta edukasi.

Karya M. Yatim Mustafa sendiri, yang dipamerkan di acara ini, adalah lukisan berjudul “Welcoming Luck 88 Red Fish” dengan cat minyak di kanvas ukuran 150 x 290 cm. Dan bagusnya, lukisan itu terjual dengan harga yang cukup fantastis.

Terkait “Art Jakarta 2022”, kurator Senirupa Bambang Asrini Wijanarko menulis;   Nampaknya seni di Jakarta tak lagi mengandalkan atmosfer gaya hidup bagi anak-anak muda. Lebih dari itu seni memantik cakrawala nalar sekaligus hiburan istimewa di kota yang makin sesak ini.

Bambang sendiri mengaku disergap kebingungan tatkala suguhan acara beragam dan tampilan karya-karya seni yang memukau mengundang untuk diamati. Pilihan-pilihan karya ditawarkan dan instalasi seni bertebaran dengan berbagai corak, metode, riset, aktivisme, pun edukasi dan wacana-hiburan, ada pula art talk yang memikat.

Kemenparekraf dan galeri-galeri mancanegara juga kerjasama tim artistik Art Jakarta menampilkan seniman-seniman pilihan secara khusus dengan seniman muda. Art Jakarta tak ketinggalan menghadirkan yang sedang hype dengan trend digital dunia siber, apalagi jika bukan galeri-galeri dan ruang-ruang pamer baik offline dan online untuk karya NFT, Non Fungiable Token.

Tentang M. Yatim, Bambang Asrini menulis; Perasaan saya membawa pada karya M. Yatim. Pelukis senior yang suntuk berkarya di Medan, Sumatera Utara ini, sesekali menampakkan dirinya di acara-acara lelang dan pameran-pameran seni di Jakarta.

M. Yatim Mustafa “Goyang” Art Jakarta 2022
LUKISAN M. Yatim Mustafa “Welcoming Luck 88 Red Fish” yang ikut dipamerkan di Art Jakarta 2022. Waspada/Ist

Tentang lukisannya “Welcoming Luck 88 Red Fish”, kepada Bambang Asrini pelukis M. Yatim menyebut; “Warna merah pada ikan-ikan membawa kekuatan besar dalam mimpi-mimpi saya. Mereka mengajak, pun menguak ambang bawah sadar dan segera kesadaran saya tersedak dan pulih; mencernanya tatkala terbangun pagi hari.”

Hanya Bisa Dirasakan

Yatim mengaku mengalami situasi itu puluhan kali sejak puluhan tahun lampau, lalu ia tersedak dan tersadar. Hal itu memberinya tekad, mengobsevasi secara otodidak kenapa warna merah membawa keberuntungan. Kenapa juga ajaran Tao, pun masyarakat etnik Tionghoa memercayainya dengan totalitas?

Yatim kemudian menemukan bukti-bukti bahwa ikan-ikan di lautan membawa kekhususan. ”Cahaya-Merah” hanya pada ikan tertentu bahkan dari bermiliar ikan yang ada di lautan. “Karya saya itu menggambarkan segerombolan ikan menuju cahaya terang di kedalaman laut. Berkah dari Tuhan telah memberi ruang besar pada ikan-ikan merah, dan menjadi mahal dan langka,” tutur M. Yatim.

Mengapa ikan merah menjadi elemen lukisannya, Yatim menyebut karena ikan adalah simbol rezeki. “Dari pengamatan saya secara empiris, siapa pun yang bermimpi ikan kelak akan mendapatkan rezeki. Berarti ini ketentuan yang dibuat Tuhan,” katanya.

Tapi mengapa merah? “Semua orang tau dari milyaran bahkan mungkin triliunan ikan di laut, hanya sedikit yang berwarna merah. Begitu juga dengan hewan lainnya. Itu berarti merah merupakan warna yang sudah ditentukan Tuhan pada kelas yang tinggi dan membawa ke beruntungan pada kehidupan,” katanya.

“Lihat saja, tambah Yatim, “Ikan kerapu ada puluhan jenis dan warna, namun yang merah yang paling mahal. Begitu juga dengan ikan Arwana, dll. Orang-orang Cina kuno paham  Tao (Taoisme) yang banyak kontemplasi dan menyucikan hati untuk dapat merasakan getaran/roh alam, menyimpulkan bahwa ikan merah pembawa keberuntungan. Lukisan saya memberi aura yang mensugesti  pemikiran positif kepada alam bawah sadar kita,” jelas Yatim.

Perenungan itu jugalah yang mendasari lukisan Yatimyang diberinya judul “Koeli” yang pernah dipamerkan di Gelora Bung Karno dalam Pekan Kebudayaan Nasional oleh Galeri Nasional.

Lukisan “Koeli” itu, kata Yatim, menegaskan bahwa apapun bentuk kebijakan pemerintah sejak dulu tak pernah langsung menyentuh dan menguntungkan kaum buruh/petani. Lihat saja, katanya, orang Jawa datang ke tanah Deli sekitar tahun 1870-an. Mereka menjadi kuli di kebun tembakau era jaman kolonial Belanda dan bahkan hingga Indonesia merdeka dengan hidup yang sangat memprihatinkan. Namun mereka tetap bertahan.

“Kenapa? Karena para kuli itu punya seni yang tumbuh dalam jiwanya seperti wayang, ketoprak, tari-tarian dan lain-lain yang menjadi wadah pelampiasan emosi sekaligus sebagai hiburan. Itulah yang membuat para kuli bisa melupakan derita kehidupan mereka sehingga bertahan hingga ratusan tahun dan akhirnya menjadi penduduk mayoritas di Sumatera Utara hingga kini,” ujar Yatim.

M. Yatim Mustafa “Goyang” Art Jakarta 2022
“Koeli”, Lukisan M. Yatim yang dipamerkan di Pekan Kebudayaan Nasional di Gelora Bung Karno. Waspada/Ist

Maka Yatim pun sepakat dengan renungan Rendra. Bahwa kemarin dan esok adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan sama saja. Langit di luar langit di badan bersatu dalam jiwa. Sebab, katanya, bila kita tafsir syair itu, kita bisa memaknai bahwa tanpa hari ini sejatinya hari kemarin itu nihil. Sebab hari kemarin hanya bisa kita lihat dan rasakan kehadirannya pada hari ini. Kemarin juga tak bisa direkonstruksi pada hari esok. Sebab esok itu pada hari ini masih tersembunyi, belum bisa dilihat dan belum bisa dimaknai.

Terkait pergaulannya dengan dunia sastra, pelukis kelahiran 23 Desember 1957 ini menyebut bukanlah suatu yang baru. “Saya menyenangi sastra persis sama ketika saya mulai melukis,” ujarnya. Maka tak heran jika Yatim sampai pada kesimpulan; puisi adalah lukisan tanpa gambar sedang lukisan adalah puisi tanpa kata.

Sayang, pemaknaan seperti ini jugalah yang, menurut Yatim, selalu membuatnya tak pernah bisa optimis terhadap kemajuan seni budaya di daerah ini. “Kita tak pernah bisa memastikan sikap, kemauan dan tindakan para pemegang kekuasaan di daerah ini terhadap seni budaya. Sejak dulu tak pernah ada kepastian mau dibawa kemana seniman dan kesenian di daerah ini. Tak ada apresiasi. Tak ada dukungan. Seni bagi pejabat di daerah ini cuma sebatas kelenengan,” katanya.

 Maka, sebagai pelukis besar yang namanya kini sudah menasional dan karya-karyanya sudah dikoleksi oleh para kolektor ternama, Yatim kini tak lagi ingin merengek-rengek. “Kita sudah berhenti jadi pengemis. Yang penting kita punya niat baik untuk kesenian di negeri ini. Soal berhasil atau tidak, itu urusan Tuhan,” tegasnya.

Sekarang, menurut Yatim, semuanya terpulang pada proses. Bagi Yatim, selama seniman berpegang pada proses, maka  sesungguhnya proses itu lebih bernilai dari hasil. “Ingat konsep Wabi Sabi Jepang yang menyebut bahwa ketidaksempurnaan adalah sebahagian dari kehidupan itu sendiri,” ujarnya. Nah! (*)

 

  • Bagikan