Pak Gub Dan Pak Wagub

  • Bagikan

“HANYA ada dua Gubernur Sumut yang peduli kesenian. Pak Marah Halim Harahap dan Pak EWP Tambunan. Selebihnya tak peduli kesenian bahkan pidatonya tentang kesenian memalukan.

Hanya ada dua Wali Kota Medan yang peduli kesenian. Maja Purba, ayahnya kelompok Band The Rythm King’s dan Pak Sjurkani. Dulu kita berharap Abdillah yang anggota Teater Nasional jadi Wali Kota Medan akan membangkitkan kesenian di Medan. Nyatanya ditangkap KPK.”

Pernyataan di atas dilontarkan sastrawan senior Idris Pasaribu pada September 2019. Dua tahun setelahnya, pernyataan itu tak berubah. Gubernur Sumut dan Wali Kota Medan yang saat ini menjabat, tetap saja tak peduli. Kalau pun mereka ada merekomendasikan berlangsungnya acara kesenian, acara itu tak lebih sekedar “kelenengan”. Mengulang-ulang apa yang sudah dibuat. Tanpa apresiasi kualitatif. Tak ada peningkatan bobot.

Pak Gubernur dan Pak Wagub, tak lama lagi periode pertama masa jabatanmu akan berakhir. Syukur jika di Pilkada berikutnya dipilih kembali. Bila tidak, jadilah bapak cuma “mantan”. Warga masyarakat biasa yang beraktivitas seperti rakyat kebanyakan. Telunjuk tak lagi bisa menunjuk-nunjuk ke sana-ke mari. Tanda tangan pun tak laku lagi. 

Jadi, mumpung sekarang masih ada waktu menjabat beberapa bulan lagi, undanglah para seniman di provinsi ini, bapak. Ajak makan siang. Ajak bicara dan urun rembug tentang arah pembangunan kesenian dan kebudayaan di propinsi ini. Tanya para seniman apa yang dibutuhkan. Ajak diskusi tentang dinamika yang terjadi dalam proses peradaban manusia Sumatera Utara yang sedang berlangsung hari ini.

Pak Gubernur, kehidupan seni budaya di Sumut memang ada. Tapi hanya sekedar riak. Tak ada gelombang. Tak ada dinamika apalagi perhatian dan kepedulian. Gubernur Sumut rupanya masih terlalu sibuk dengan agenda-agenda seremonialnya sendiri. Pun demikian dengan Wali Kota Medan. Meski sudah terpilih lama, sebagai pejabat keduanya masih sibuk mematut-matutkan diri dengan baju seragamnya di depan cermin.

Bahkan satu-satunya gedung kesenian yang ada di Medan, Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), kondisinya hari ini semakin memperihatinkan. Setelah diserahkan ke Pemko Medan, gedung tempat para seniman berkreasi itu makin tak terurus. Belakangan di bekas gedung TBSU itu kabarnya akan dibangun pula hotel atau Mal. Waduh!

Pak Gubernur dan Pak Wagub, Sumatera Utara ini propinsi besar dengan Kota Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia yang pusat pemerintahannya. Masak sih propinsi sebesar ini satu gedung kesenian pun tidak punya? (Ingat, PRSU itu bukan milik seniman, lho). Lagi pula, masak sih untuk bisa mempergelarkan satu pertunjukan kesenian yang berkualitas, para seniman harus mengemis bantuan kemana-mana?

Kalau mau jujur, sejak Marah Halim dan EWP Tambunan, di provinsi yang melahirkan Sauti, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Nahum Sitomorang, Mochtar Lubis, Mansyur Samin, Sanusi Pane, Armyn Pane, Willem Iskandar, Bokor Hutasuhut dan lain-lainnya ini, sudah sejak lama para seniman tak memiliki gubernur, bupati dan wali kota. Mayoritas seniman, apalagi yang tak punya koneksi ke pajabat terkait,  bergerak dan berbuat sendiri sebisanya tanpa dukungan dari pejabat gubernur, bupati dan wali kota yang berkuasa.

Di provinsi ini seniman masih saja menjadi anak tiri dari proses pembangunan Sumut yang berjalan timpang dan tak seimbang. Saat aktivitas politik dan ekonomi mendapat tempat utama dari program pembangunan, aktivitas kesenian dan kebudayaan hanya terselip di saku belakang seragam dinas para pejabatnya. Para penyair, pemusik, dramawan, pelukis dan bahkan pemikir kebudayaan, hanya diopeni kalau para pejabat itu ingat dan sempat.

Hari ini, berhubung Pak Gubernur akan segera melewati tahun pertama dari masa tugas yang diamanahkan rakyat, ijinkan saya memberi sekedar masukan. Siapa tahu catatan ini kelak ada gunanya juga untuk para seniman. Dengan begitu, para seniman yang tadinya berharap dapat gubernur yang amanah, tidak justru memperoleh pemimpin yang khianah.

Tentu kita berharap Gubernur Sumut yang sekarang ini masih menjabat bukan hanya seorang yang berkemampuan membangun terciptanya pemerintahan daerah yang bersih, jujur, adil, berwibawa dan demokratis, tapi dia juga seorang gubernur yang berjiwa enterpreneurship. Seorang gubernur yang sudi menempatkan aktivitas seni budaya sebagai prioritas kerjanya. Sebab, hanya melalui sosok gubernur yang demikian itulah aktivitas berkesenian dan kerja kreatif para seniman bisa tumbuh dan berkembang dengan baik di provinsi ini.

Satu lagi Pak Gub, kita tentu tidak mau generasi mendatang di provinsi ini semakin tercerabut dari akar tradisi dan budaya warisan luhur nenek moyangnya. Dan para seniman punya tanggungjawab moral untuk itu. Tapi para seniman tidak akan bisa bekerja sendiri jika Pak Gubernur, Pak Wali Kota, sebagai kepala daerah dan pemegang mandat kekuasaan, tidak memperdulikannya.

Pak Gubernur dan Pak Wagub, mumpung masih ada waktu, tempatkanlah seniman dan aktivitas kesenian di daerah ini sebagai prioritas. Jangan lagi seperti gubernur-gubernur Sumut sebelumnya, menjadikan aktivitas seni budaya sekedar “sisipan” untuk penghias kegiatan-kegiatan protokoler kedinasan belaka. Bagaimana Pak Gub dan Pak Wagub? (*)

  • Bagikan