Parpol

  • Bagikan

Sejatinya masa jabatan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta masih beberapa minggu lagi baru berakhir. Anies akan berhenti sebagai gubernur secara resmi pada 16 Oktober 2022. Tapi partai politik (parpol) penguasa parlemen rupanya sudah gak sabar. Belum lagi sang gubernur “lengser”, macam-macam statemen sudah mereka lontarkan. 

Situasi politik Jakarta hari ini persis menggambarkan kondisi Indonesia sabankali menjelang Pemilu. Satu kondisi yang membuatku betul-betul harus menelan kebenaran dari statemen ahli politik dan sosiolog kelahiran Jerman, Sigmund Neumann, bahwa partai politik hanyalah organisasi tempat kegiatan politik untuk menguasai kekuasaan pemerintahan dan merebut dukungan rakyat.

Dua kata kunci dalam kalimat Sigmund di atas adalah merebut dan menguasai. Dua kata itu pula yang sekarang memenuhi udara negeri ini, bahkan sebelum masa jabatan Gubernur DKI Jakarta benar-benar berakhir dan pemilu dilaksanakan.

Sejak reformasi 1998, elit parpol beserta para pendukungnya terus melakukan berbagai cara untuk “merebut” dan “menguasai” kursi-kursi kekuasaan sampai jagat NKRI nyaris kehilangan lem perekatnya. Media massa, apalagi media sosial, penuh dengan rumor, fitnah, cemohon, ejekan dan bahkan penistaan. Tak hanya terhadap seseorang yang beda pilihan politik, tapi seringkali juga terhadap martabat kemanusiaan saudara sebangsanya.

Maka, dari pemilu ke pemilu, pilkada ke pilkada, yang tersisa hanyalah gerutuan, kejengkelan, tangis kesedihan di satu pihak serta tawa cemooh dan senyum kemenangan di pihak lain. Yang kalah ditinggal “manyun” sendirian, dikata-katai dan dibiarkan menyesali nasib, lalu mengutuki peruntungan. Yang menang, pelan tapi pasti, terus menyusun kekuatan agar kekuasaan yang ada di tangan tidak tergoyahkan.

Jadi, bukan soal Anies yang terus “dinyinyirin” itu inti dari tulisan ini. Aku cuma ingin menyatakan jika mengamati prilaku politik masyarakat dalam setiap kali pemilu atau pilkada, ada kecenderungan yang bersandarkan pada dua ekstrem yang saling menegasikan.

Pertama, prilaku politik yang condong kepada pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi liberal sehingga memunculkan dinamika politik yang tidak sehat denganmenghalalkan segara cara.

Kedua, prilaku politik yang apatis, cenderung frustrasi, sebagai akibat dominannya kepentingan elit partai dan menafikan peranserta rakyat. Situasi yang kedua ini bisa berakibat fatal, yakni “membekunya” partisipasi politik rakyat. Satu kondisi yang sudah dibuktikan dalam beberapa kali pemilu, pilkada dan pilpres di negera ini.

Harus diakui, munculnya “ketegangan” politik sebagaimana yang terjadi selama proses pilkada dan pemilu yang selama ini berlangsung, betapa pun tidak bisa dilepaskan dari dua kecenderungan tersebut.

Adanya garis demarkasi yang membatasi peran masyarakat dalam proses penyelenggaraan kegiatan politik, apapun bentuknya, yang terjadi sejak orde baru hingga era reformasi, telah membuat masyarakat tidak bisa berpartisipasi secara total dalam menyalurkan hasrat politiknya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam sistem politik Indonesia, masyarakat hanyalah sekedar simpatisan dan konstituen. Selebihnya adalah urusan politikus.

Di dalam bangunan dan sistem politik yang demikian itu, di mana rakyat tidak diberi peluang yang cukup untuk terlibat secara aktif, termasuk untuk ikut menentukan figur calon presiden atau kepala daerah yang diusung parpol, maka hubungan antara massa, partai dan para elitnya menjadi sangat artifisial. Tak bermakna apa-apa.

Dalam sistem politik Indonesia, rakyat bahkan tidak memiliki ruang yang memadai untuk mengoreksi sikap dan prilaku politik yang dijalankan para elit parpol. Hubungan elit parpol dan masyarakat terbatas pada saat pemilu atau pilkada saja. Pasca pemilu, interaksi elit politik dan masyarakat langsung terputus. Janji-janji yang terlontar ketika kampanye bahkan menguap tak berbekas, sedang rakyat tidak bisa menuntutnya di kemudian hari. 

Perlakuan elit politik terhadap rakyat itu, memperoleh pembenaran historis dari apa yang terjadi dalam beberapa kali pemilu dan pilkada pasca reformasi. Rakyat hanya dianggap sebagai sekumpulan massa yang sama sekali tidak memiliki daya tawar untuk mendesakkan aspirasi dan partisipasi politiknya melalui kader-kader partai yang dipilihnya pada pemilu atau pilkada itu.

Pada akhirnya, setelah 24 tahun reformasi, kita jadi semakin mahfum bahwa parpol dan kader-kadernya yang duduk di parlemen, ternyata tak lebih dari sekedar pekerja politik partai yang tugas utamanya semata-mata cuma untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan belaka. Nah! (*)

  • Bagikan