Pendidikan, Akal Budi dan Kebudayaan

  • Bagikan

PENDIDIKAN dan kebudayaan adalah dua sisi mata uang yang saling menguatkan. Jika pendidikan merupakan proses pembelajaran untuk menyerap ilmu dan pengetahuan, maka kebudayaan adalah buah dari proses pendidikan yang melahirkan akal budi, cipta, karsa dan karya.

Pendidikan adalah sumber kekuatan yang menentukan seberapa besar daya juang suatu bangsa dalam mempertahankan eksistensinya. Pendidikan yang baik akan melahirkan Sumber Daya Manusia yang baik. Sebaliknya, pendidikan yang buruk akan menyebabkan suatu bangsa dengan mudah ditelan arus deras kemajuan peradaban bangsa-bangsa lain di sekitarnya.

Oleh karena itu pendidikan bukan semata-mata proses belajar dan mengajar melalui bangku sekolah. Bukan pula sekedar proses pembelajaran dari dan melalui buku-buku. Pendidikan adalah proses penyadaran dan pencerahan yang terus menerus dalam memahami, memaknai dan menyikapi realitas kehidupan.

Selama ini, setidaknya ada tiga bentuk pendidikan yang kita kenal. Yakni pendidikan formal yang diberikan melalui bangku sekolah, pendidikan informal melalui pelatihan-pelatihan

atau kursus-kursus keterampilan, dan pendidikan non formal melalui proses pembelajaran secara

langsung di masyarakat. Ketiga bentuk pendidikan itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional kita.

Pendidikan yang baik, terukur, memiliki arah dan tujuan yang jelas, harus ditempatkan sebagai prioritas pembangunan sebuah bangsa. Sebab, hanya melalui sistem dan metode pendidikan yang baiklah karakter sebuah bangsa bisa dibangun dan ditumbuhkembangkan. Hanya melalui pendidikan yang baik pula kita bisa mengukur seberapa besar daya juang seseorang dalam bersumbangsih terhadap pembangunan bangsa dan negaranya. Termasuk seberapa luas pemahamannya terhadap makna persatuan dan kebhinnekaan.

Itulah sebabnya salah satu ukuran keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh bagaimana bangsa itu membangun sistem pendidikan untuk generasi mudanya. Indikasi keberhasilan itu bisa dilihat dari “output” yang dihasilkan oleh sistem pendidikan yang dijalankan tersebut.

Dengan demikian, pendidikan yang baik pertama-tama harus membuka dan memberi peluang yang sama pada seluruh anak bangsa untuk memperoleh kesempatan belajar dan menuntut ilmu. Bukan semata-mata karena memperoleh pendidikan yang baik adalah hak dasar setiap orang, tapi karena konstitusi negara ini, sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 ayat 1 s/d 5

UUD 1945, telah menetapkan bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapapun di negeri ini

untuk mendapatkan pendidikan yang baik, apapun status sosialnya.

Pendidikan dan Karakter

Sistem pendidikan yang baik bukan saja harus ada dalam pendidikan formal, tetapi juga pendidikan informal dan non formal. Terutama karena pendidikan, sebagai proses pembelajaran,

bukan sekedar jembatan untuk menyerap dan memahami ilmu pengetahuan, tapi juga sarana pembentukan akal budi.

Dalam kehidupan setiap orang, akal budi bukanlah suatu yang ada begitu saja. Akal budi merupakan suatu keadaan yang dibentuk, dirawat dan diberi ruang untuk berkembang dalam proses kehidupan yang berjalan. Akal budi itulah yang mendasari karakter setiap manusia. Akal budi pula yang menjadi alat utama manusia dalam membentuk kehidupan yang harmonis dengan

alam dan lingkungannya. Dengan demikian akal budi, sebagaimana ilmu pengetahuan, adalah suatu yang harus dipelajari, diajarkan dan dilatih.

Aristoteles, filsuf Yunani dan guru Alexander Yang Agung pernah menyebut; “Akal budi

adalah mahkota kodrat manusia. Akal budi memungkinkan manusia mengembangkan ilmu dan membebaskannya dari mitos-mitos. Oleh karena itulah aktivitas belajar harus menjadi kegiatan rasio (otak) yang terus menerus dalam diri setiap manusia. Bukan semata-mata untuk mencari dan menambah ilmu dan pengetahuan, tapi juga untuk melahirkan kebudayaan.”

Sayangnya pendidikan tak selalu menghasilkan manusia baik. Hasil pendidikan masih sangat tergantung pada sistem, metode dan orientasi pendidikan yang dilaksanakan. Dalam hal output, secara intelektual anak-anak yang bersekolah bisa saja menjadi sangat pintar. Tapi pada saat yang sama kemampuan intrinsiknya untuk memahami nilai-nilai, seringkali justru sangat rendah.

Sebagai misal, tak sedikit anak-anak yang bersekolah, bahkan yang sudah duduk di bangku perguruan tinggi, kehilangan rasa malu dan ketajaman nurani untuk memahami derita sesama. Untuk membangun toleransi. Untuk berempati pada nasib malang saudaranya, atau bahkan sekedar bersikap sopan santun pada orangtua. Betapa sering kita melihat anak bangsa yang tidak siap bahkan sekedar untuk memahami makna kebhinnekaan. Banyaknya kasus tawuran pelajar, adalah salah satu contoh dari kegagalan dunia pendidikan dalam menanamkan pemahaman akan makna cinta kasih dan kebhinnekaan itu.

Maka, agar sikap, karakter dan mentalitas anak didik sebagaimana dicontohkan di atas dapat berobah, sistem dan metode pendidikan harus terus dikaji dan diselaraskan dengan nilai- nilai luhur kebudayaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dan negara kita, sebagaimana tertuang dalam Pasal 32 ayat 1 UUD 1945, sesungguhnya menjamin kebebasan masyarakat untuk mengembangkan nilai-nilai kebudayaannya itu.

Itu berarti, selain harus berpegang teguh pada konstitusi dan aturan perundang-undangan,

upaya membangun pendidikan nasional tidak boleh mengabaikan nilai-nilai luhur yang ada dan tumbuh di dalam kebudayaan. Sebab, apapun sistem dan metodenya, buah utama pendidikan seharusnya adalah cinta dan kasih sayang. Bukan kekasaran dan ketidakpedulian.

Topik Yang Tak Putus

Di Indonesia pendidikan dan kebudayaan merupakan topik yang tak pernah putus dibicarakan. Bahkan sejak Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa. Pembicaraan mengenai masalah pendidikan dan kebudayaan ini, terutama menyangkut kesempatan untuk mendapat pendidikan dan “output” yang dihasilkan, sama tuanya dengan usia kemerdekaan.

Dalam konteks inilah pemerintah dituntut untuk terus mengupayakan pendidikan yang tidak saja berkualitas secara keilmuan, tapi juga berpijak kuat pada sendi-sendi moral (akhlak dan akal budi). Tentu saja dengan tetap mendasarkan pendidikan tersebut pada biaya yang murah

hingga mampu dijangkau oleh semua anggota masyarakat. Tujuannya bukan saja agar pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan benar-benar bisa diwujudkan, tapi juga agar anak-anak bangsa ini tidak mudah tercerabut dari akar budaya dan nilai-nilai luhur peradaban bangsanya.

Sayangnya, meski Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional sudah diberlakukan, wajib belajar sudah dicanangkan, bahkan pendidikan gratis terus disosialisasikan, namun hasrat untuk membangun sistem pendidikan yang baik dan murah masih belum berhasil diwujudkan.

Pemerintah belum sepenuhnya berhasil menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama dalam kebijakan penganggaran pembangunan nasional. Baru pada beberapa tahun belakangan ini

saja pendidikan mendapat alokasi anggaran yang lumayan besar dari APBN. Itupun baru sebesar

20 persen. Jumlah ini masih kalah jauh dari alokasi anggaran negara untuk pertahanan keamanan

dan belanja kepegawaian. Akibatnya, selain negeri ini masih kekurangan sarana dan parasarana pendidikan, fasilitas penunjang di banyak lembaga pendidikan pun sangat tidak memadai.

Kondisi yang demikian sesungguhnya telah diprediksi banyak orang. Itu pula sebabnya mengapa Komisi VI DPR RI yang membidangi pendidikan, ketika berlangsung pembahasan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003), sempat meminta pemerintah agar mengatur dengan sebaik-baiknya segala sesuatu yang terkait dengan sistem penyelenggaraan pendidikan nasional.

Akhirnya, sebelum menutup pembahasan ini, marilah kita simak apa yang dikatakan Bunda Theresia ketika menerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 1979. Ibu kaum papa di Calcutta itu berkata; ”…….Penyakit terbesar manusia dewasa ini bukan Kusta atau TBC, melainkan perasaan tidak dikehendaki, tidak diperhatikan dan ditinggalkan oleh sesama manusia. Kejahatan terbesar adalah tiadanya cinta kasih, sikap acuh tak acuh terhadap sesama, lalu mereka yang tidak berdaya itu ditinggalkan di pinggir jalan untuk kemudian dibiarkan terkapar dikerubuti kemiskinan dan penyakit. Maka cinta harus dimulai dari rumah. Bukan soal berapa banyak yang kita lakukan, tapi berapa banyak cinta yang kita masukkan ke dalam tindakan yang kita lakukan.”

Sungguh, kepada tumbuh suburnya cinta kasih dan kepedulian itulah seharusnya pendidikan dan kebudayaan Indonesia didedikasikan. Semoga! (*)

  • Bagikan