Puisi Pekan Ini

  • Bagikan

Langit Senja Di Atas Rebere

1

Langit memudar

Hutan bergetar

Saat dia pulang

Membawa kenang

2

Pertemuan mereka

Sungguh sangat singkat

Seperti cinta kilat

Dalam warkah lama

3

Jejak kaki

Dipinggir kali

Akan terasa semakin sepi

Sejak ditinggal pergi

 4

Suara elang

Akan selalu menjadi kenangan

Menggores dalam ingatan

Mencatat perjalanan

Yang tak panjang

5

Air terjun

Yang tak sempat

Ia saksikan

Semakin jelas

Terlukis dalam gambaran

Dalam kayalan

6

Kolam air

Berwarna biru

Semakin dirindu

Dalam buku kenangan

Karena belum pernah bertemu

Hanya berjumpa

Dalam kayalan semata

7

Tapi dia harus pulang

Mencatatkan semua

Pertemuan singkat

Jejak kaki

Suara elang

Suasana subuh

Cahaya yang luruh

8

Dia hanya memandang

Senja yang terbentang

Langit semakin samar

Bukit memudar

Akan jatuh kepelukan malam

9

Jalanan sunyi

Terasa semakin sepi

Tapi dia harus pulang

Sambil merajutkan kenangan

Dalam bait puisi

Yang semakin sunyi

10

Perjalanan malam

Semakin jauh

Tenggelam ke dalam lembah

Alam yang basah

Setitik barokah

11

Telah Ia turunkan

Bagi hamba

Dalam perjalanan ini

Sesayat sepi

Untuk mengenal diri

Untuk pertemuan abadi

Rerebe, Januari 2022

Entah Berapa Kali Lagi

1

Entah berapa kali lagi

Kulihat senja seperti ini

Nampak jauh berawan

Tapi ada cercah cahaya

Inikah pertanda

Matahari sudah lelah berkelana

Dan segera akan surat ke peraduannya

2

Sebenarnya langit berawan

Tak seluruhnya nampak

Karena ada pepohonan kecil tegak

Lengkap dengan ranting

Dan bunga sore semerbak

Bunga merah dan hijau daun

Berombak mengalun

Menegur mataku yang terpacak

Pada senja akan meninggalkan jejak

3

Kau mungkin gelisah disana

Karena aku tak berkabar berita

Bukan karena waktuku tak ada

Bukan pula lena

Oleh kesahduan senja

Tapi hanya

Takjub betapa setiap senja

Diakhir hari

Pesta besar dan meriah

Tapi terasa sunyi

Kala Nareh, 16.08.2022

LK ARA atau lengkapnya Lesik Keti Ara adalah penyair kelahiran Kutelintang, Takengon, Aceh Tengah pada 12 November 1937. Pada tahun 1959 ia pindah ke Jakarta dan menjadi guru SMP. Selanjutnya ia bekerja di kantor Kabinet Perdana Menteri hingga tahun 1962 lalu pindah ke Balai Pustaka sampai pensiun tahun 1985. Sudah menulis sejak di SMP, ia kemudian menjadi Redaktur Kebudayaan Suratkabar Mimbar Umum. Sajak-sajaknya dimuat di Majalah Indonesia, Mimbar Indonesia, Pustaka Budaya dan berbagai media cetak nasional dan luar negeri. Sajak-sajaknya juga sudah dibukukan di antaranya dalam antologi “Angin Laut Tawar” (1969), “Kumandang” (1971), “Kur Lak Lak” (1982), “Catatan pada Daun” (1986), “Kening Bulan” (1986), “Amruna” (1994). “Serangkai Saer Gayo” (1980). “Namaku Bunga” (1980). “Anggrek Berbunga” (1982), “Buah-Buahan di Kebun” (1982), “Senandung Burung-Burung” (1982). “Senjata Pustaka Kita” (1983), “Umbi-Umbi Kami” (1983), “Biografi Saefuddin Kadir Tokoh Drama Gayo” (1971), “Berkelana dengan Sastrawan Indonesia dari Aceh” (1997) “Perkenalan karya 14 pengarang Aceh dari Abdul Rauf hingga Maskirbi” dan “Ucap Gemiricik Air”. Bersama Taufiq Ismail, ia juga menyusun antologi sastra Aceh dengan judul “Seulawah, Antologi Sastra Aceh” (1995). Karyanya yang lain berjudul “Syair Tsunami dan Ekspresi Puitis Aceh” (2006) dan “Menghadapi Musibah” (2006). (*)

  • Bagikan