Sejarah

  • Bagikan

SEBAGAI bangsa, kita memang tidak pernah belajar dari sejarah. Apa buktinya? Banyak. Lihat saja, apa-apa yang pernah terjadi di masa lalu, seringkali terulang kembali di masa kini. Ibarat Keledai, kita bukan hanya sekali dua kali terperosok ke lobang yang sama, tapi bahkan berkali-kali.

Mengapa bisa begitu? Karena kita seringkali belajar sejarah hanya untuk menjadi kelihatan pintar. Untuk dibilang terpelajar. Agar dianggap cakap sebab hapal angka-angka dan tau masa lalu. Padahal, seperti kata Prof. Jhon R Seeley, semestinya kita belajar sejarah untuk menjadi bijaksana lebih dahulu.

Mahaguru sejarah di London itu ingin menegaskan bahwa mempelajari sejarah pertama-tama bukan untuk menjadi pintar apalagi untuk dianggap tau segala hal tentang masa lalu, tapi untuk menjadi bijaksana.

Ironisnya di negeri ini, ada banyak orang yang merasa pintar tapi sama sekali tidak punya kebijaksanaan. Ada banyak contoh di negeri ini bagaimana orang yang merasa pintar dan tau segala hal itu, justru kehilangan kebijaksanaannya. Ada banyak contoh orang yang merasa pintar itu malah sama sekali tidak menjadi solusi bagi lingkungannya.

Seringkali orang-orang pintar itu (apalagi yang cuma merasa pintar) justru menjadi “sumber masalah” bagi lingkungan masyarakatnya. Di negeri ini ada banyak kasus dimana orang-orang pintar atau merasa pintar itu justru menjadi beban bagi lingkungannya.

Sungguh, untuk menjadi pintar atau merasa pintar, orang tak butuh belajar sejarah. Cukup punya nyali dan semangat kuat menahan rasa malu. Tapi tidak demikian bila orang ingin menjadi arif bijaksana.

Untuk menjadi bijaksana orang memang harus belajar sejarah. Wajib paham dan mengerti sejarah. Dan belajar sejarah tak cukup hanya dengan menghapal urutan-urutan kejadian, tanggal dan waktu. Belajar sejarah adalah belajar melakukan penghayatan. Belajar menyelami hakekat setiap kejadian.

Maka, ketika minggu lalu pemerintah melalui Pertamina menaikkan lagi harga BBM, kita yang mencoba bijaksana hanya bisa mengelus dada. Para pemimpin republik ini benar-benar tak pernah mau belajar dari sejarah bagaimana cara menyenangkan hati rakyatnya. Dalam situasi ekonomi rakyat yang “centang perenang” hari ini, menaikkan harga BBM akibat kehendak atau tekanan negara asing jelas bukan solusi bijaksana.

Sejarah sudah mengajarkan bagaimana dulu pemimpin Indonesia tegas dan garang di depan penguasa negara asing. Bahkan penguasa negara sekelas sekelas Saudi Arabia yang merupakan raja minyak dan petrodolar.

47 tahun lalu Raja Saudi Arabia, Faisal Ibn Abdul Aziz As Saud, berkunjung dan bertemu Presiden Soeharto. Sejarah mencatat, kedatangan raja dan ratu negeri petrodolar pada Rabu, 10 Juni 1970 itu bahkan disambut biasa saja. Tak ada pengawalan super ketat. Semua berjalan wajar sebagaimana layaknya kedatangan tamu dari negara lainnya. Bahkan Presiden Soeharto tak menyambut kedatangan Raja Faisal di Bandara. Peristiwa itu menunjukkan Indonesia bukan “negara minder” yang harus tunduk pada kehendak negara kaya dan raja minyak.

Dalam buku “Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968 – 23 Maret 1973”  yang ditulis Tim Dokumentasi Presiden RI, ada dikisahkan peristiwa penyambutan yang tidak berlebihan itu. “Setelah berjabat tangan, Presiden membimbing tamunya ke ruangan kepresidenan, lalu bersama-sama duduk di kursi panjang, sementara itu Ibu Tien duduk di kursi lainnya dekat Presiden,” tulis buku tersebut.

Dalam pidatonya, Presiden Soeharto bahkan dengan tegas menyatakan sikap pemerintah Indonesia yang sepenuhnya berdiri di pihak bangsa Arab dalam perjuangan melawan Israel. Presiden Soeharto juga meminta agar hasil-hasil Konferensi Jeddah yang di prakarsai Raja Faisal, dapat terlaksana demi penyelesaian krisis Timur Tengah.

Keesokan harinya, Kamis 11 Juni 1970, Presiden Soeharto dan Raja Faisal mengadakan perundingan yang berlangsung selama satu setengah jam di Istana Merdeka. Selain membahas masalah krisis Timur Tengah, perundingan juga menyentuh masalah hubungan ekonomi antar kedua negara.

Peristiwa tahun 1970 itu adalah catatan sejarah yang menunjukkan pemimpin Indonesia mampu berdiri setara dengan pemimpin negara lainnya, meskipun itu pemimpin negara kaya raya. Tak ada yang berlebih-lebihan pada peristiwa itu kecuali upaya untuk mempererat hubungan bilateral kedua negara.

Sayang, peristiwa 47 tahun sangat berbeda dengan apa yang terjadi tahun-tahun belakangan ini. Terutama ketika pemimpin Indonesia selalu saja tunduk pada kehendak negara-negara donor pemberi utang.

77 tahun merdeka, sejarah ternyata belum juga membuat kita bijaksana. Ah…..! (*)

  • Bagikan