Tangis Srikandi Langit

  • Bagikan



SRIKANDI Langit. Itulah aku. Perempuan tangguh dengan segala konsep dan pikiranku sendiri. Aku tak ingin terikat dengan aturan konyol apapun. Aku bahagia menjadi Silvery Blue Butterfly yang terbang dengan kedua sayapku sendiri.
 

Aku memang tak perlu menjadi orang lain. Aku meyakini setiap manusia memiliki ciri khas tersendiri yang satu dan lainnya tak sama.
    Aku mencintai sunyi. Hanya sunyi yang mau menjadi kekasihku. Sunyi tak pernah jadi pecundang. Sunyi bilang; aku perempuan sempurna dengan segala ketangguhan hati yang kumiliki. Tapi ibu berkata lain. Katanya; aku malah belum bisa disebut sebagai perempuan sempurna. Aku hanya perempuan biasa.
    ​“Nduk, perempuan sempurna itu harus bisa memasak. Kalau tak bisa memasak, itu akan menjadi aib,” ujar ibu.
   ​Aku tertegun. Perkataan ibu seakan menampar ceruk hatiku yang paling dalam. Hanya karena tak bisa memasak akan menjadi aib? Bukankah itu sangat memalukan? Pikirku; apa susahnya memasak? Hanya tinggal ngoseng-ngoseng sayuran di dalam kuali, selesai. Mengapa ibu jadi berlebihan hanya soal masak memasak?
     ​“Perempuan plus memasak itu satu paket, Nduk. Tak bisa dipisahkan. Kalau terpisah maka perempuan akan pincang.”
      ​“Jadi, menurut ibu selama ini aku pincang lantaran tak bisa memasak?”
      ​“Jawabannya hanya ada di dalam hatimu sendiri, Nduk. Saran ibu, jangan terlalu sibuk bekerja. Luangkan waktumu untuk belajar memasak. Mumpung ibu masih bisa mendampingimu.”
   ​Tapi aku tak menggubris saran ibu itu.  Aku langsung pergi tanpa memperdulikan perasaannya. Aku langsung masuk ke kamarku. Merampungkan tugas kantor yang sengaja kubawa pulang.
       Berbeda denganku, ibu memang perempuan sempurna. Berhati lembut dan pandai memasak. Masakan apa saja yang ia olah, maka kami akan ketagihan saat menyantapnya. Sering memang kuperhatikan kegiatan hariannya di dapur. Ia merasa tak pernah repot dan terbebani dengan segala aktifitas memasak untuk keluarganya. Masakannya selalu laris manis saat kami santap. Selera makan kami anak-anaknya selalu memuncak manakala menyantap masakan ibu. Perempuan paruh baya itu memang tak ada duanya. Ibu memang punya nilai tinggi di hati kami.
     ​Meski aku pura-pura cuek saat mendengarkan perkataan ibu beberapa hari yang lalu, tapi tak bisa kupungkiri perkataannya itu tertanam di dalam hatiku. Aku bertengkar sendiri dengan pikiranku. Kenapa perempuan harus memasak? Bukankah kehidupan sudah sangat canggih saat ini? Tinggal pesan saja secara online, maka segala jenis masakan yang kita inginkan akan diantar ke rumah dan siap dihidangkan di meja makan. Tak perlu ribet.
 
—-000—
 
     ​Dua minggu lagi ibu berulang tahun. Aku dan kedua kakak lelakiku akan memberikan kejutan yang penuh makna. Terkhusus malam ini sebelum ibu melaksanakan qiyamul lail di sepertiga malam. Tapi aneh, tidak seperti biasanya, malam itu ibu justru mendatangi kamarku. Ibu bilang ia ingin kado spesial dariku. Aku terperanjat bukan main dengan apa yang ia katakan.
      ​“Ibu tak ingin kado yang lain. Ibu ingin makan masakan buatan tanganmu. Itulah kado spesial yang ibu minta darimu.”
    ​Sampai ibu meninggalkan kamar, aku hanya bisa membisu. Diam tanpa kata. Kembali bercengkrama dengan tarian sunyi. Kenapa ibu menyinggung perkara memasak lagi? Pentingkah itu? Lagian dunia tak akan hancur jika aku tak bisa memasak.
     Namun hati kecilku segera mengingatkan, akan ada hati seorang perempuan yang bakal hancur jika aku tak mau melakukannya. Jadi aku menyerah. Oke, baiklah. Aku akan belajar memasak. Demi ibu aku mau melakukannya. Tapi, terus terang saja,  itu bukan target terpentingku saat ini. Aku melakukannya hanya untuk menyenangkan hati ibu. Karirku sebagai manager di perusahaan periklanan dan properti sedang naik daun. Aku tak boleh sia-siakan. Lagian masih banyak agenda pekerjaan yang lebih menjadi prioritasku saat ini.
    ​Saat jam istirahat di kantor, biasanya aku selalu update dunia style fashion dan skincare. Kini aku beralih ke dunia kuliner. Iseng-iseng membaca kiat-kiat memasak dari chef profesional. Tak jarang aku searching di google dan youtube untuk melihat menu harian yang bisa dibuat secara praktis dan tentu saja enak. Untung saja mbak Yuan, teman sekantorku, memberi izin agar aku bisa memasak di dapur miliknya. Mempraktekkan menu masakan yang sedang kupelajari.
    ​Gila. Menggoreng ikan saja aku tak lulus seleksi. Aku kalang kabut saat memasukkan ikan ke dalam kuali. Mendadak minyaknya berloncatan mengenai pergelangan tanganku. Melepuh sudah pasti. Perihal menggoreng ikan saja kata mbak Yuan point nilaiku hanya 50. Memalukan.
      Astaga, begitu susahnya mengupas dan mengiris bawang merah. Airmataku tak berhenti mengucur. Pedih bukan kepalang. Lantas kucoba untuk menggiling cabai di atas gilingan, belumpun tergiling dengan halus, aku sudah menggerutu. Pasalnya kedua tanganku terasa panas dan memerah. Aku meringis sebagai tanda menyerah. Sudah berjam-jam di dapur tak ada satu menu makanan pun yang rampung untuk dimasak. Yang ada hanyalah kekacauan. Dapur mbak Yuan seperti kapal pecah.
      ​Nyatanya memasak tak segampang yang kuprediksi. Tidak terbantahkan kebenaran ucapan ibu. Ternyata memasak itu melelahkan. Namun, mengapa hal itu tidak terlihat di dalam diri ibu yang di setiap harinya harus memasak mulai selepas subuh hingga menjelang malam? Padahal ibu punya riwayat penyakit asam lambung. Aku memang jago dalam urusan pekerjaan di kantor. Tapi aku nyatanya keok sama ibu saat berada di dapur.
 
—-000—
 
     Memikirkan tentang bagaimana caranya agar aku bisa memasak membuat pikiranku menjadi stres tingkat tinggi. Menu apa yang harus aku persembahkan di hari ulang tahun ibu? Dug, untuk urusan sepele seperti goreng menggoreng, kupas mengupas, giling menggiling saja aku tak becus.
    ​Merasa hanya buang-buang waktu saja, aku akhirnya jadi enggan belajar memasak lagi. Kapok. Malah gara-gara belajar memasak pergelangan tanganku jadi melepuh, lantaran kecipratan minyak panas. Maka kuambil jalan pintas. Kuminta mbak Yuan untuk memasak olahan makanan sederhana sebagai hadiah ulang tahun untuk ibuku. Nanti kukatakan kepada ibu kalau aku yang memasak makanan itu. Aku hanya tinggal membayar jasa mbak Yuan. Beres bukan?
    ​Sepulang dari kantor, lagi-lagi ibu menagih waktuku. Kapan aku akan belajar memasak bersama beliau. Aku tak menjawab. Aku belum siap seratus persen untuk belajar memasak bersama ibu. Takut kelemahanku akan terbongkar.
    ​“Nduk, kamu liburnya kapan? Mumpung ibu punya waktu luang. Nanti kalau ibu sudah sibuk tak mungkin lagi ibu bisa mendampingimu belajar memasak,” ujar ibu.
     ​“Memangnya ibu punya kesibukan apa? Ah, nanti sajalah, Bu. Banyak urusan pekerjaan yang harus aku pikirkan. Lagian kalau aku tak bisa memasak yang rugikan aku sendiri bukan ibu. Jadi ibu tak perlu pusing-pusing memikirkannya,” jawabku sambil bergegas meninggalkan ibu.
     Untuk kedua kalinya aku benar-benar telah kurang ajar. Namun, menurutku apa yang aku lakukan adalah hal yang wajar. Hatiku jengkel bila ibu terus menyinggung tentang belajar memasak. Aku sama sekali  merasa tak bersalah dengan apa yang kulakukan.
 
—-000—
 
     ​Nuansa pagi ini cukup berbeda. Ketika aku hendak pergi ke kantor, aku tak melihat ibu ada di dapur untuk menyiapkan sarapan seperti biasanya. Kata mas Gagah ibu tengah istirahat karena kurang enak badan. Sebenarnya sudah beberapa hari ini ia merasa kurang sehat. Tapi tak pernah mengeluh di hadapan anak-anaknya. Tampaknya penyakit asam lambung ibu kumat lagi. Aku enggan menemui ibu, ia pasti akan menyinggung perkara memasak lagi. Hatiku masih jengkel. Setelah minum resep obat dari dokter beliau pasti akan segera pulih. Biasanya juga seperti i tu. Besok beliau pasti akan beraktifitas seperti biasanya.
&nbs p;   ​Hari ini aku harus mempersiapkan diri dengan baik agar bisa tampil prima dalam rapat penting di kantor. Karena itu aku berangkat ke kantor tanpa menemui ibu agar suasana batinku tidak rusak oleh permintaannya yang terus menerus agar aku belajar memasak. Tapi setibanya di kantor entah kenapa hatiku malah gelisah. Wajah ibu yang sedang memintaku belajar memasak, terpatri jelas dalam otakku.
     ​Aku berusaha untuk menyibukkan diri agar tak terus ingat permintaan ibu. Di tengah kesibukanku mempersiapkan rapat, mas Banyu mengirimkan pesan kepadaku melalui WA. Ia mengabarkan kalau ibu tengah dirawat di rumah sakit lantaran penyakit asam lambungnya semakin akut. Aku memutuskan untuk menjenguk ibu sehabis rapat saja, karena rapat tak mungkin dibatalkan. Rapat ini begitu penting bagiku sebagai sarana agar aku bisa naik jabatan.
     ​Dua jam kemudian aku kedatangan seorang tamu. Tamu itu tak lain adalah mas Gagah. Hatiku mendadak gusar tak menentu. Mas Gagah tiba-tiba saja memelukku sambil berbisik lirih ke telingaku. Kakak tertuaku itu mengatakan ibu telah tiada.
       Kedua kakiku bergetar. Airmataku berguguran bagai hujan drizzle yang merintik ke bumi. Aku sempoyongan. Langit seakan runtuh di atas kepalaku. Dua tahun yang lalu aku harus melewati hari-hari terberat saat kehilangan ayah. Kini hari-hari terberat itu terulang lagi karena aku kehilangan ibu. Benarlah apa katanya, ibu tak punya waktu luang lagi untuk mendampingiku belajar memasak. Sebab kini ia harus pulang ke sisi Illahi Robbi. Ya Tuhan…., kenapa hatiku mati rasa? Tak mampu membaca segala firasat kepergian ibu….?
     ​Andai saja aku tak egois dan rela belajar memasak pada ibu, mungkin aku akan memiliki kenangan paling berwarna bersamanya menjelang kepergiannya. Tapi penyesalan tak ada lagi gunanya. Penyesalan ini tak akan mampu kubayar seumur hidupku. Penyesalan yang mungkin akan membunuh hatiku seumur hidup. Apalagi karena keegoisanku kado spesial permintaan ibu tak bisa aku wujudkan. Aku merasa seakan menjadi manusia paling sial di belahan bumi ini. Ah…..
 
—-000—
 
     ​Semenjak kepergian ibu aktivitas memasak di dapur mau tak mau harus aku lakukan demi mas Gagah dan mas Banyu. Mulai dari menu sarapan hingga menu makan malam aku yang meraciknya sendiri dengan kedua tanganku.
    Tapi tak seperti sikap mereka pada masakan ibu, mas Gagah dan mas Bayu jarang sekali menyentuh masakanku. Rasanya sakit sekali hati ini. Banyak lauk pauk yang tersisa dan akhirnya terbuang sia-sia. Keadaan itu seringkali membuatku hanya bisa terisak sendirian di sudut dapur.
    Sampai suatu hari, saat meratapi lauk pauk yang tak disentuh ketua kakakku itu, mataku teralihkan oleh sebuah buku yang terletak di samping perlengkapan bumbu dapur. Aku mengambilnya. Kupikir itu pasti buku resep masakan ibu.
     ​Perlahan-lahan kubuka satu-persatu lembar halamannya. Namun tak satu pun resep masakan kutemukan. Buku itu secara keseluruhannya kosong. Barulah di lembar terakhir buku itu aku menemukan tulisan tangan ibu. “ Nduk, memasak apapun akan menjadi lezat bila engkau memasaknya dengan keikhlasan dan sentuhan kasih sayang.”
     ​Hatiku bergetar hebat saat membaca tulisan tangan ibu. Tangisku tumpah bergemuruh. Di depan tulisan tangan ibu, aku tak lagi menjadi Srikandi langit yang angkuh dengan segala konsep pemikiranku sendiri. Kini aku ternyata hanyalah seorang perempuan lemah yang menanggung beribu penyesalan….()   Medan Senembah 2021   Sumiati Al Yasmine lahir di Desa Medan Sinembah, Deliserdang pada pada 20 Oktober 1986. Karya-karyanya, terutama puisi dan cerita pendek, selain dipublikasikan di media cetak terbitan Medan dan juga di media online, juga disertakan dalam sejumlah buku antologi. Sejumlah karyanya juga sudah dibukukan. Di antaranya novel “Kejora Cinta” “Permata Hati Sang Dewi”, dan “Cinta di Semenanjung Rindu”. Bukunya yang lain adalah kumpulan cerpen “Risalah Kepulangan”. ()

  • Bagikan