Tukang Omong

  • Bagikan

PARLE itu ya memang tukang omong. Jadi, tak usah kita heran berlebihan kalau parlemen itu isinya cuma kumpulan sejumlah tukang omong. Tak ada yang salah soal itu. Yang salah kalau omongannya tak ada manfaatnya untuk rakyat.

Atau kalau omongan para tukang omong itu tak lagi sebatas beradu tegang urat leher, tapi berubah jadi adu otot. Akan lebih salah lagi bila tukang omong itu justru tidak ngomong apa-apa.

Soal ngomong dan tidak ngomong inilah yang belakangan dialamatkan ke DPR RI sebagai lembaga parlemen Indonesia. Terutama terkait kasus pembunuhan Berigadir J yang melibatkan jernderal polisi bernama Ferdy Sambo. Tak urung Menkopulhukam, Mahfud MD pun bertanya; DPR, mana suaramu?

Soal parlemen yang diam padahal harusnya bicara, bukanlah soal sederhana. Sebab menjadi anggota parlemen memang mengharuskan dan mewajibkan anggota DPR bicara. Sebab itulah mengapa lembaga ini bernama parlemen.

Sayang, 500 lebih anggota parlemen di DPR sana, sepertinya tak semuanya menyadari makna kata dari “Parlemen” itu, sehingga dalam banyak kasus terutama yang menyangkut rakyat, anggota parlemen lebih banyak membisu ketimbang bicara. Mereka baru ngomong kalau rakyat sudah meributkannya. Setelah kasusnya viral.

Setelah 24 tahun reformasi, sebagai negara demokrasi dengan anggota parlemen yang dipilih melalui pemilu, apakah Indonesia lantas mewujud sebagai negara yang demokratis, adil sejatera bagi semua rakyatnya? Belum, ternyata. Sebab, pada praktiknya, demokrasi di negeri ini  seringkali tercederai oleh “tafsir karet” atas nama kepentingan pribadi dan kelompok. Demokrasi di negeri ini belum menyejahterakan untuk semua rakyatnya. Dalam banyak kasus, demokrasi di negeri ini bahkan berubah menjadi “democrazy”.

Padahal demokrasi seharusnya bukan kebebasan untuk meraih kedudukan politik dengan menghalalkan segala cara. Padahal demokrasi sejatinya adalah serangkaian perbuatan yang cerdas secara intelektual dan bermartabat secara spiritual.

Tapi di negeri ini demokrasi punya tafsir yang sangat paradoksal. Yang penting demokrasi itu  “seakan-akan” sudah ditegakkan meski rakyat tetap saja menderita. Fakta ini membuktikan bahwa secara psikologis dan kultural, kurun 24 tahun reformasi ternyata tak membuat bangsa ini beranjak menjadi bangsa dan negara yang lebih baju secara politik, ekonomi, sosial dan lebih-lebih secara kultural.

Beberapa kali pemilihan umum yang dilakukan pasca reformasi telah membuktikan betapa sulitnya mengajari para elit politik bangsa ini untuk tidak cuma berpikir tentang hak dan kepentingan diri, kelompok dan partainya sendiri. Yang menyebabkan lembaga perwakilan rakyat, selama 24 tahun reformasi DPR, masih terus sekedar menjadi tempat bekumpul para “Tukang Omong”. DPR belum menjadi wadah bagi para legislator untuk membangun dan menyejahterakan rakyat dalam arti yang seluas-luasnya. Rakyat yang sejatinya adalah konstituen yang harusnya ia wakili.

Berangkat dari situasi itu, maka upaya menciptakan tatanan kehidupan kenegaraan yang “kohesif” antar seluruh elemen bangsa demi terciptanya parlemen yang kuat dan disegani, merupakan tugas nasional seluruh warga negara yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Rakyat harus diberi pencerahan agar berkomitmen kuat dengan tidak lagi sembarangan memilih wakilnya untuk duduk sebagai anggota parlemen.

Komitmen itu penting jika bangsa Indonesia ingin melanjutkan perjalanan sejarahnya untuk menuju bangsa besar yang berdaulat dan bermartabat. Sebab, setelah carut marut kondisi politik dan ekonomi pasca jatuhnya rezim orde baru, kita semua, rakyat Indonesia, memikul beban sejarah yang sama untuk melakukan perobahan-perobahan fundamental dalam menentukan arah dan tujuan bangsa dan negara ini di masa mendatang. Dus, hitam putihnya masa depan bangsa dan negara ini tak boleh lagi kita biarkan hanya berada di tangan para “tukang omong” di parlemen itu.

Maka, jika bangsa ini sungguh-sungguh menginginkan terjadinya perbaikan dalam sistem

ketatanegaraan, sistem pemerintahan maupun sistem sosial kemasyarakatannya, keinginan itu harus dimulai dengan membangun kesadaran rakyat dalam meilih wakilnya di parlemen. Dan itu artinya, DPR jangan kita biarkan terus menerus diisi orang-orang yang cuma sekedar “Tukang Omong!” Begitulah…! (*)

  • Bagikan