Uang

  • Bagikan

JIKA anda banyak uang, jadilah politisi. Setelah itu biarkan uang yang menuntun jalan hidup anda. Ini bukan kata saya. Ini saran dari seorang yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan politik.

Anda bahkan tak perlu melakukan apa-apa, katanya. Selama anda punya uang, ditambah sedikit keberanian membuang urat malu dari diri anda, selama itu anda bisa duduk manis di kursi parlemen atau bermesra-mesra dengan penguasa.

Uang, di era demokrasi liberal saat ini, rupanya semakin dahsyat daya rusaknya. Di kancah politik, pemanfaatannya bahkan sangat terstruktur dan massif. Keberadaannya dalam jumlah besar tidak hanya digunakan untuk membiayai semua kegiatan pencitraan diri, tapi juga membeli suara. Di negeri ini uang bahkan telah melahirkan prilaku baru berdemokrasi yakni “Politik Wani Piro”.

Dengan uang, upaya membeli suara rakyat dibangun melalui pencitraan diri sebagai pribadi yang seolah-olah. Seolah-olah “peduli”, seolah-olah “berempati”, seolah-olah ”kritis”, seolah-olah “manusiawi”.

Lewat layar TV yang sudah terbeli, lewat framing media, lewat postingan para buzzer di media sosial, uang itu mewujud dalam sosok-sosok politikus berwajah sangat manis – karena terus menerus menyungging senyum – bertutur kata penuh simpati plus raut muka yang dibuat seserius mungkin sebagai orang yang punya perhatian besar pada nasib rakyat miskin dan terdzolimi.

Para politikus itu bahkan tak jarang bergaya seolah-olah proletar untuk menunjukkan dirinya sebagai orang yang hirau pada masa depan bangsa ini. Padahal dalam kenyataannya mereka seorang borjuis, hedonis dan feodalistik. Akibatnya, seringkali mereka jadi terlihat “sarkastis” dan “norak”. Mereka pikir semua rakyat di negeri ini bisa dibodohi sebab tak tau sepak terjang dan rekam jejaknya sebagai politisi.

Tapi, selama uang masih berkuasa dalam sistem politik di negeri ini, hitam putihnya keadaan akan sangat tergantung pada besar kecilnya jumlah pundi-pundi. Maka dalam kehidupan demokrasi Indonesia hari ini, uang tak lagi menjadi sekedar alat, tapi sudah menjadi faktor penentu. Karena itulah jabatan publik di negeri ini tak lagi merupakan pendelegasian amanat, tapi telah mewujud sebagai implementasi kekuasaan dari dan oleh mereka yang memiliki uang. 

Besarnya dominasi uang dalam politik Indonesia semakin menegaskan betapa buruknya mekanisme rekruitmen kepemimpinan di negeri ini. Akibatnya, di tengah masih maraknya bibit-bibit sparatisme dan keinginan sekelompok orang untuk memisahkan diri dari NKRI, politik uang itu membuat orang yang masih waras semakin was-was. Apalagi, dalam banyak kasus, sudah terbukti politik uang itu sama sekali bukan solusi.

Maka, jika bangsa ini tidak ingin terus terjebak dalam “Politik Wani Piro” itu, tidak ada jalan lain kecuali bangsa ini harus merubah pradigma berpikirnya. Harus bersedia melihat realitas kehidupan berbangsa secara lebih jernih dan komprehensif. Tanpa kesediaan melihat realitas itu, maka demokrasi di Indonesia, apapun bentuk dan caranya, tetap terbuka untuk dimanipulasi, terutama oleh orang-orang yang saat ini kebetulan sedang punya uang, sedang berkuasa dan sangat berambisi untuk terus berkuasa.

Sudah saatnya rakyat mengambil sikap yang tegas dalam hal ini. Sebab, di masa datang, hadirnya pemimpin yang kuat, yang memiliki visi pembangunan yang benar, yang berakar pada basis kerakyatan yang riil, yang tidak sedang berpura-pura, yang tidak menjadi pemimpin karena punya banyak uang, adalah sebuah keharusan sejarah yang tak bisa ditawar-tawar.

Sikap tegas rakyat ini menjadi sangat penting lebih dari sekedar mencari dan memilah persediaan figur calon pemimpin yang ada. Apa yang kita alami hari ini adalah bukti cukup kuat yang menunjukkan bagaimana sistem rekrutmen kepemimpinan nasional yang hanya berdasarkan selera elit dan topangan duit, telah menyebabkan hilangnya wibawa pemerintah tidak hanya di mata rakyat, tapi bahkan di mata dunia internasional.

Harus diakui, mencari, memilih dan menentukan pemimpinan yang sesuai dengan apa yang kita harapkan memang tidak hanya membutuhkan proses yang panjang, tapi juga memerlukan begitu banyak energi. Tapi itu bukan suatu yang mustahil. Jelang Pemilu 2024, kita bahkan memiliki begitu banyak orang yang merasa dirinya mampu untuk memimpin dan sangat berambisi untuk jadi pemimpin. Tapi, sebagai rakyat, apakah kita menghendaki mereka?

Kita sesungguhnya punya begitu banyak “orang-orang hebat” yang memenuhi berbagai persyaratan untuk menjadi pemimpin nasional. Tapi orang-orang hebat itu, oleh karena bangunan politik “wani piro” itu, oleh karena sistem demokrasi yang menuhankan duit itu, oleh karena opini segelintir elit dan akademisi “menara gading”, oleh karena konspirasi media partisan, oleh karena framing para buzzer, kehebatan mereka terbunuh secara sistematis sehingga “sosoknya”tidak muncul kepermukaan.

Itulah sebabnya adagium demokrasi yang berbunyi; “Vox Populi Vox Dei”, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, sudah lama tak berlaku di sini. Di negeri ini “Suara Rakyat Suara Tuhan” itu sudah lama “keok” hanya oleh selembar uang kerta seratus ribuan. Naudzubillah……! (*)

  • Bagikan