Ulos Harajaon

  • Bagikan

“KITA pantas bersyukur kepada Mulajadi na Bolon, telah mempertalikan darah turunan Raja Jamot dari kerajaan Timur yang mempersunting gadis Sorta, adik perempuan Raja Sorma dari Kerajaan Barat. Kita berharap dari perkawinan ini akan lahir putra mahkota yang mempersatukan Kerajaan Timur dan Kerajaan Barat menjadi suatu kerajaan besar di bumi Tano Batak. Rumpun rakyat di sini tumbuh kembang mengakar di tali pusar riak air Tao Toba raya.”

Bahana ucapan itu seakan limpah ruah air danau bergelombang menghantarkan doa harapan. Para tetua adat nyaris senada menggemakannya pada setiap pertemuan-pertemuan akbar, maupun di majelis perhelatan masyarakat sampai ke pelosok negeri.

Rasa syukur itupun makin mekar berbunga-bunga, karena setahun kemudian Sorta melahirkan bayi putri cantik, diberi nama Dayang Bandir. Disusul kehamilan kedua tujuh tahun kemudian lahirlah putra mahkota yang diberi nama Sandean Raja.

Seluruh rakyat kerajaan bersukacita mengelu-elukan kelahiran putra raja itu. Namun tiba-

tiba angin danau berhembus kencang, berputar arah menurut kehendak kuasa debata Mulajadi na Bolon. Bahwa ketika putra mahkota masih kanak-kanak, Raja Jamot dan permaisuri Sorta tiba- tiba terserang penyakit parah. Dan tak lama keduanya meninggal berturut hari. Kakak beradik putra putri raja itupun jadi yatim piatu.

Rakyat berkabung selama sepekan menghormati kematian raja dan permaisuri. Ditinggal pergi Sang Raja, rakyat menjadi cemas. Suasana di kerajaan timbul keresahan, bimbang kalau- kalau ada yang berkhianat merebut kekuasaan. Sementara Sandean Raja masih kanak-kanak, belum waktunya menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja.

Maka atas perundingan penasehat kerajaan sepakat menunjuk Si Jorbut, adik Raja Jamot, menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Selain itu ditetapkan pula, bila putra mahkota telah dewasa akan dinobatkan menjadi raja yang sah memerintah di Kerajaan Timur. Keputusan itu diumumkan secara luas untuk diketahui seluruh rakyat kerajaan sampai ke pelosok negeri.

Hingga suatu malam saat bulan purnama mengapung di permukaan Tao Toba, membiaskan kemilau cahaya berlari antara riak danau, Dayang Bandir kedatangan roh ayahnya lewat mimpi. Kepadanya diingatkan niat jahat Si Jorbut hendak berkuasa seumur hidup. “Awas Jorbut tak akan menyerahkan kuasa pada putra mahkota, adikmu Sandean Raja. Ayah perintahkan kau Dayang Bandir, selamatkan segera benda-benda pusaka kerajaan. Jangan satu pun jatuh ke tangan Si Jorbut. Terutama ulos harajaon lekas amankan. Apa pun terjadi engkau tak boleh menyerahkannya. Kelak hanya adikmu putra mahkota Sandean Raja yang berhak memakai benda-benda pusaka kerajaan. Dan ulos kebesaran raja itu akan dipakaikan saat penobatan putra mahkota menjadi raja berkuasa penuh memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Timur ini,” tegas Raja Jamot.

Setelah mengatakan hal penting itu, roh almarhum Raja Jamot menghilang meniti pelangi pagi terentang melintas danau dari pantai timur ke pantai barat. Hingga suatu hari senja langit membara merah melingkup permukaan Tao Toba, ketika itu Si Jorbut berang alang kepalang, menangkap basah Dayang Bandir bergegas keluar dari belukar di belakang istana. “Kau telah melanggar tata tertib kuasaku di kerajaan ini. Dayang Bandir, kau menyembunyikan benda-benda pusaka kerajaan. Padahal aku berkuasa di kerajaan ini. Hitam kataku hitam, putih kataku putih,” sergah Si Jorbut sesumbar.

Lanjutnya; “Sekarang seluruh benda-benda pusaka kerajaan mesti kau serahkan ke tanganku secepatnya. Bila kau membangkang, celakalah kau. Akan kubinasakan,” ancam Si Jorbut dengan suara lantang. Tapi Dayang Bandir tak gentar. Dia garang menantang kehendak Jorbut.

“Apa pun terjadi, aku siap mempertahankan benda-benda pusaka kerajaan ini sesuai amanat ayahku. Terutama ulos harajaon, tepat waktunya akan aku serah terimakan kepada putra mahkota Sandean Raja, pemilik yang sah pengganti raja berdaulat memerintah Kerajaan Timur ini,” ucap tegas Dayang Bandir teguh melaksanakan pesan ayahnya Baginda Raja Jamot yang datang lewat jelmaan roh.

Mendapat tantangan Dayang Bandir berpantang surut, memantik nyala kemarahan Si Jorbut. Ia jadi murka. Kebenciannya berkobar terhadap Dayang Bandir. Karena tanpa memiliki benda-benda pusaka kerajaaan itu membikin Jorbut terhalang mendapat pengakuan rakyat. Apalagi rakyat mengetahui Si Jorbut hanyalah pemangku jabatan menjalankan tugas pemerintahan menunggu putra mahkota dewasa.

Tapi Si Jorbut tak memperdulikan hal itu. Ia bernafsu sangat merampas kekuasaan dengan menyingkirkan Dayang Bandir bersama Sandean Raja putra mahkota. “Bila kau membangkang, celakalah kau. Aku akan membinasakanmu Dayang Bandir,” ujar Si Jorbut garang.

*******

Pada hari ketiga batas waktu yang ditentukan, Si Jorbut membawa pengawal mendesak Dayang Bandir menyerahkan benda-benda pusaka kerajaan. Tapi anak dara beralis tebal itu tak gentar.

“Aku tak akan pernah menyerahkan benda-benda pusaka kerajaan kepada siapa pun. Karena Ompu Mulajadi na Bolon Bolon telah menakdirkan putra mahkota Sandean Raja adalah pewaris Kerajaan Timur,” ungkap Dayang Bandir pasti, tambah menyulut kemarahan Si Jorbut.

Lelaki mabuk kuasa itu serta merta nekad berbuat zalim memerintahkan orang-orangnya menangkap Dayang Bandir bersama Sandean Raja, dibuang ke hutan rimba antara gunung dan lembah daratan Tao Toba. Bahkan tanpa prikemanusiaan, lelaki gempal bermata juling berewok seram itu tega dengan keji memerintahkan orang-orangnya mengikat Dayang Bandir di atas sebatang pohon besar pada ketinggian tak berjejak di tanah.

Seakan putri malang itu tersalip akan mati pelan-pelan. Sementara bocah kecil putra mahkota Sandean Raja dilepas begitu saja di tengah hutan lebat. “Biar dia mampus dimangsa binatang buas,” ujar Jorbut tanpa belas kasihan pada dua keponakannya itu.

Menjelang gelap malam akan menyungkup hutan, Dayang Bandir dan adiknya sangat keletihan. Kedua saudara malang itu lama saling bertangisan hingga serak di kerongkongan. Suara tangis tak terdengar lagi diserap desau rimba. Sandean Raja tak berdaya membebaskan kakaknya terikat ketat di ketinggian pohon. Setiap kali coba memanjat, anak kecil itu melorot jatuh. Dayang Bandir merasa iba karena sadar maut pasti menjemputnya. Namun ia berkata pada adiknya; “Jangan takut adikku. Kau akan diselamatkan Ompu Mulajadi na Bolon. Kalau kau lapar, makanlah pucuk-pucuk pohon dan buah-buahan hutan. Engkau harus jadi lelaki perkasa. Engkau putra mahkota akan menjadi raja Tano Batak. Paling penting kau ketahui, ada benda-benda pusaka kerajaan termasuk ulos harajaon, semua tersimpan dalam peti perak kutanam dibawah pohon Hariara yang tumbuh condong ke barat di tengah belukar sebelah tenggara istana kita. Semoga Ompu Mulajadi na Bolon merestui perjalanan hidupmu.”

Setelah menyampaikan pesan itu, Dayang Bandir pasrah menemui kematiannya dengan tenang terkulai terikat pada ketinggian pohon besar. Angin berhembus kencang menebar harum dedaunan seakan menayang roh Dayang Bandir melayang ke nirwana.

Sejak kematian kakaknya, putra mahkota terus mengembara menjelajahi rimba ke rimba. Bertahun-tahun hidup di tengah hutan belantara, bersatu dengan alam luas. Sandean Raja selalu ditemani roh Dayang Bandir. Mereka saling menghayati, meski berbeda alam tempat tinggal. Sampai suatu ketika saat pemuda tampan itu asyik berenang di tepian danau, tatapan matanya nyalang memandang jauh ke pantai barat seakan ada lambaian memanggilnya datang. Itu adalah waktu yang tepat roh Dayang Bandir menjelma serupa putri danau berselancar menemui Sandean Raja, menyuruhnya segera keluar dari hutan. Turun gunung guna pergi menghadap Raja Sorma yang memerintah di Kerajaan Barat.

Hari itu, bersamaan matahari beranjak naik, Sandean mendaki bukit-bukit Tano Batak. Tampak pemuda gagah itu  melangkah pasti berjalan siang malam menuju Kerajaan Barat untuk bertemu Raja Sorma. Dalam perjumpaan tak terduga itu, empat mata saling bertatapan. Sandean Raja mengenalkan diri. “Sayalah putra mahkota Kerajaan Timur. Ayahku Raja Jamot, dan Sorta nama ibuku, serta Dayang Bandir adalah kakakku.”

Sampai disitu bicara Sandean terhenti. “Bagaimana seterusnya?” tegur Raja Sorma mendengar nama-nama yang disebutkan Sandean. Keduanya saling beradu pandang.

“Tapi semua mereka, orang-orang tercinta telah meninggalkan aku sebatang kara. Konon

ayah dan ibu meninggal dunia selagi aku berumur setahun,” kenang Sandean seraya menuturkan penangkapan dan kematian teragis Dayang Bandir dilakukan Si Jorbut yang hendak merebut kuasa.

Mendengar kekejaman yang terjadi, Raja Sorma terkejut bercampur ragu. “Benarkah demikian kisah yang kau sampaikan ini? Karena dikabarkan bahwa putri Raja Jamot terbunuh ketika kawanan penyamun menjarah istana Kerajaan Timur. Permaisuri Raja Kerajaan Barat , Sorta, meninggal ketika melahirkan bayi lelaki sungsang. Dan Raja Jomat sendiri disebut-sebut mati bunuh diri karena kecewa tertular penyakit menahun. Aku bingung kau menceritakan kisah lain,” jawab Raja Sorma sambil mengamati anak muda itu yang mengaku putra mahkota keturunan Raja Jamot dan Sorta.

“Kalau demikian yang terjadi, berarti Mulajadi na Bolon sesungguhnya mempertemukan aku dengan bere anak itoku Si Sorta, “ batin Raja Sorma. “Tapi aku harus menguji lebih dulu kebenaran cerita Sandean Raja, sekalian menguji kejujurannya, kepatuhannya dan kekuatannya,” pikir Raja Sorma seraya mengatakan; “Kau harus membuktikan kebenaran ceritamu anak muda. Ada beberapa ujian harus kau lakukan. Kau siap?”

“Segera aku kerjakan perintah baginda,” sahut Sandean Raja tanpa ragu.

“Ujian pertama kau pindahkan sebatang pohon besar rindang dari hutan ke dalam taman istana. Tantangan ini diselesaikan dalam satu hari saja oleh Sandean. “Kemudian kuperintahkan kau menebas sebidang hutan untuk dijadikan perladangan.” Ujian kedua inipun rampung dalam tempo tujuh hari. Bahkan tantangan ketiga, yaitu membangun rumah bolon, bisa selesai dalam waktu tak berapa lama. Raja serta orang-orang istana terkagum-kagum menyaksikan apa yang telah dilakukan Sandean Raja. Seperti ada yang membantunya bekerja, tapi tak kelihatan dengan mata telanjang.

Namun Raja Sorma belum percaya begitu saja. Dia masih mau menguji kehebatan Sandean Raja. “Terakhir ujian yang paling menentukan nasibmu. Kau harus dapat menunjukkan dengan tepat yang mana putriku di antara puluhan gadis-gadis cantik yang kuundang menari di halaman istana. Kau turut menari di gelanggang pesta tari itu. Matamu ditutup dengan kain hitam

berlapis-lapis, hingga tak tembus seberkas sinar pun. Kau temui seorang gadis penari dan memegang tangannya, menuntun dan membawanya kehadapanku duduk di singgasana. Lalu, kau

sebutkan dengan benar siapa nama putriku, kalau memang kau berhasil menemukannya,” kata Raja Sorma. “Kalau kau gagal, maka kuperintahkan pengawal menangkapmu dengan tuduhan telah menyebarkan kabar bohong. Kau dipenjarakan. Apa kau mau menerima tantangan ini?” Tanya Raja Sorma sambil memegang kuat kedua bahu kukuh Sandean Raja. Matanya tajam tak berkedip.

“Tantangan ini memang berat bagiku. Tapi dengan senang hati aku siap melakukan. Tapi

kalau boleh aku bertanya, apa imbalan untukku jika berhasil?” Tanya Sandean Raja balas menantang tatapan Raja Sorma.

“Imbalan kuberikan lebih dari pantas menghargai keberanianmu. Yaitu anak tunggalku, putri satu-satunya sibiran tulang, kunikahkan dia dengan engkau. Dan kau kunobatkan jadi putra

mahkota Kerajaan Barat.”

Jawaban itu mengumbar berbagai perasaan di bidang dada Sandean Raja.

*******

Tibalah masa pertunjukan acara pesta tari. Dihadiri seluruh anak negeri yang berdatangan dari berbagai penjuru Kerajaan Barat. Terdengar riuh rendah ditabuh gondang Sabangunan mengiringi pagelaran tari tor tor. Dalam suasana ramai itu Sandean Raja turut mengayun langkah tari dengan mata tertutup rapat. Meski pun kakinya ringan melangkah, namun hatinya diguncang rasa cemas membayangkan apa nanti terjadi kalau-kalau dia gagal pada ujian akhir yang sangat menentukan.

“Tak perlu kau gelisah adikku Sandean Raja. Aku akan menuntunmu mendapatkan gadis Rumindang. Kau dengar nama gadis itu, Rumindang, putri Raja Sorma,” terdengar bisikan halus suara lembut roh Dayang Bandir turun melayang dari balik awan gemawan, sengaja datang mendampingi adikknya Sandean Raja.

Pada puncak acara pesta tari itu gondang Sabungan ditabuh semakin meninggi. Tiba-tiba

terdengar lengking bunyi tanduk ditiup keras meningkah suara keramaian. Tak lama semua hadirin terpana menyaksikan pemuda tampan berambut hitam legam panjang sepundak melenggang menggandeng seorang gadis jelita. Tangannya yang kekar menggenggam erat jari jemari lentik gadis semampai. Keduanya berjalan berdampingan menghampiri Raja Sorma duduk bersama permaisuri di singgasana. Raja dan permaisuri memandang dengan mata berbinar

menyongsong kedua remaja datang menghadap.

“Ini Rumindang. Cantik menawan sesuai namanya, putri tercinta pbaginda,” ucap Sandean Raja dengan kata-kata jelas dan terang. Anak muda itu merasa bahagia berhasil menjawab tantangan sebagai batu ujian menentukan nasibnya.

“Aku menepati janji mengadakan pesta perkawinan akbar untuk kalian berdua. Dan pada

hari ini juga kuikrarkan di hadapan semua petinggi istana dan didengar seluruh rakyatku, bahwa bila aku berpulang memenuhi panggilan Mulajadi na Bolon, maka Sandean Raja dinobatkan menjadi raja meneruskan pemerintahanku,” pidato Raja Sorma disampaikan dengan suara lantang di hadapan semua hadirin menyambutnya dengan gegap gempita menyatakan rasa syukur. Pesta makan besar pun diadakan dinikmati semua rakyat tiada kecuali.

Berselang beberapa tahun kemudian setelah Raja Sorma wafat, disusul permaisurinya, Sandean Raja mengadakan perundingan bersama petinggi istana Kerajaan Barat, segera menyusun kekuatan dengan seluruh perajurit. Pasukan Kerajaan Barat akan bertempur menyerang Kerajaan Timur yang dipimpin Si Jorbut. Dalam waktu singkat Kerajaan Timur dapat ditaklukkan. Selaku panglima perang gagah perkasa, Sandean Raja membunuh Si Jorbut dengan tangan nya sendiri. Mayat Si Jorbut diikat di sebatang pohon tinggi di tengah hutan, sebagaimana dilakukannya terhadap putri Dayang Bandir dulu.

Sandean Raja melaksakan pesan kakaknya menggali benda-benda pusaka kerajaan tersimpan dalam peti perak, ditanam di bawah pohon hariara. Hari itu Sandean Raja langsung mengenalkan diri tampil mengenakan Ulos Harajon, ulos kebesaran Kerajaan Timur warisan Raja Jamot ayah Sandean Raja. Rakyat pun bersorak sorai gembira menyatakan pengakuan pada Sandean Raja sebagai raja mereka. Kerajaan Timur dan Kerajaan Barat dipersatukan dibawah pemerintahan raja bijaksana adil dan makmur.

Sandean Raja bagaikan sirih pulang ke tampuk berpasangan dengan Rumindang. Hidup bahagia dalam tatanan adat istiadat masyarakat Tano Toba yang berkembang penuh dinamika. (*)

—-

Sulaiman Sambas adalah salah seorang sastrawan senior Sumatera Utara kelahiran Tanjung Balai pada 27  Juni 1943. Beliau adalah salah seorang sastrawan senior Sumut yang masih aktif berkarya hingga di usia tuanya. Dua buku kumpulan cerpennya’ “Menghalau ke Padang-Padang Hijau” dan “Penembak Koruptor” diterbitkan oleh Perpustakaan Sumatera Utara.  Sedang Bukunya berjudul “Sulaiman Sambas dalam  Puisi, Prosa dan Drama” diterbitkan oleh Forum Sastrawan Deliserdang (Fosad). Cerpen dan puisi-puisinya juga dimuat dalam antologi  Titian Laut II dan III serta Sempena Acara  Dialog Utara yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Kini Sulaiman Sambas merupakan penasehat Forum Sastrawan Deliserdang (Fosad).

  • Bagikan