Buka Bersama Ketua DPD, Komeng Tanya Beda Senator Indonesia Dan Amerika

  • Bagikan
Buka Bersama Ketua DPD, Komeng Tanya Beda Senator Indonesia Dan Amerika
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti bersama Kimeng (kanan) (ist)

JAKARTA (Waspada): Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti buka puasa bersama dengan Senator baru yang terpilih pada Pemilu 14 Februari 2024 lalu. Hadir di antaranya Alfiansyah Komeng Bustami (Jabar), Aanya Rina Casmayanti (Jabar), Agita Nurfianti (Jabar), Cerint Iralloza Tasya (Sumbar), Imral Adenansi (Sumbar), M Rifki Farabi (NTB), Mirah Midadan (NTB), Laode Umar Bonte (Sultra) dan Achmad Azran (DKI Jakarta).

Pada kesempatan itu, Komeng langsung menghangatkan suasana.

“Di Amerika kan ada juga tuh Senator. Kita juga kan Senator. Nah, sama atau beda tuh Senator di Amerika dengan kita di Indonesia?” tanya Komeng kepada Ketua DPD RI.

Menjawab pertanyaan tersebut, Ketua DPD RI menegaskan ada perbedaan mendasar antara Senator di Amerika dengan Indonesia.

Amerika, katanya, menganut strong bicameral, sehingga Senator di AS sangat power full. Termasuk fungsi pemakzulan Presiden AS ada di tangan Senat.

Sedangkan di Indonesia tidak jelas, apa lagi peran dan fungsi senator (DPD) di Indonesia sangat terbatas. Karena hanya mengusulkan Rancangan Undang Undang (RUU), tetapi penentu akhirnya DPR dan Presiden.

“ RUU yang kita (DPD) usulkan, maupun yang kita dorong, kalau DPR dan Presiden belum membahas, ya gak jadi-jadi. Seperti RUU Daerah Kepulauan dan RUU Masyarakat Adat. Itu sudah kita dorong dari dulu. Tetapi belum juga disepakati DPR dan Presiden,” tandas Ketua DPD RI dalam relis yang diterima Minggu (17/3/2024).

LaNyalla juga menjelaskan, bahwa DPD RI punya fungsi pengawasan pelaksanaan UU, tetapi hasil pengawasannya disampaikan ke DPR RI.

“Karena itu saya sering melakukan terobosan, dengan mengupayakan mempertemukan stakeholder daerah dengan pengambil kebijakan, kementerian, agar persoalan atau temuan di lapangan cepat selesai. Bahkan saya juga melaporkan langsung ke Presiden. Supaya Presiden mengetahui,” tandasnya.

Oleh karena itu, LaNyalla menggagas agar Indonesia kembali ke UUD 1945 asli, sebelum amandemen 1999-2002. Tetapi kemudian kita amandemen dengan addendum, untuk memperkuat dan menyempurnakan. Sehingga praktik penyimpangan di era Orde Lama dan Orde Baru tidak terulang.

“Setelah kembali, kita Amamandemen, dengan mengakomodasi semangat reformasi dan tren perubahan global yang terjadi. Yaitu, membuka ruang di kamar DPR yang tidak hanya di isi dari peserta pemilu dari unsur partai politik saja, tetapi juga anggota DPR dari peserta pemilu perseorangan. Sehingga benar-benar terjadi check and balances dalam penyusunan UU,” imbuhnya.

Dengan begitu kedaulatan rakyat kembali dilaksanakan oleh lembaga tertinggi, yaitu MPR, yang di dalamnya ada utusan-utusan juga, yaitu utusan daerah dan utusan golongan. Bukan seperti UUD hasil amandemen, kedaulatan dilaksanakan partai politik dan presiden terpilih.

“Sekarang kan faktanya pelaksana kedaulatan kan partai politik dan presiden terpilih. Karena di dalam ionstitusi disebutkan bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD. Bukan dilaksanakan oleh MPR. Sehingga sudah tidak ada penjabaran sila ke-4 dari Pancasila di dalam Konstitusi kita. Ya begini hasilnya. Orang merisaukan kualitas demokrasi Indonesia. Ya karena pilihan kita menghilangkan Pancasila,” tandas LaNyalla. (J05)

  • Bagikan