BULD DPD RI Cermati Persoalan Fiskal Daerah Pasca Pemberlakuan UU HKPD

  • Bagikan
BULD DPD RI Cermati Persoalan Fiskal Daerah Pasca Pemberlakuan UU HKPD
BULD DPD RI rapat bersama pakar kebijakan pajak dan otonomi daerah, di Gedung DPD RI, Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (20/3/2024). (ist)

JAKARTA (Waspada): Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI memandang implikasi kebijakan pajak dan retribusi daerah, bagi perekonomian daerah, harus mendapatkan perhatian serius, pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

“Persoalan yang timbul akibat regulasi baru tersebut patut dicermati secara mendalam, karena merupakan persoalan mendasar dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan di daerah, khususnya terkait pendapatan daerah,” kata Wakil Ketua BULD Eni Sumarni bersama Ketua BULD Stevanus BAN Liow saat membuka rapat bersama pakar kebijakan pajak dan otonomi daerah, di Gedung DPD RI, Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (20/3/2024).

Diungkapkan, sasaran pemantauan dan pengawasan yang dilakukan BULD ditetapkan atas pertimbangan dikeluarkannya kebijakan baru mengenai pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD), berdasarkan UU HKPD.

“BULD DPD RI berharap persoalan mengenai implikasi kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah bagi perekonomian daerah mendapatkan perhatian serius,” ujar Eni.

Terkait peningkatan PAD dan iklim investasi pasca UU HKPD, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman memaparkan kemandirian fiskal menjadi penentu kinerja daya saing daerah secara berkelanjutan.

Selain itu keterbatasan anggaran yang ada, turut menjadi faktor penghambat pengembangan pilar tata kelola, ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Mendorong kebijakan fiskal, penyerahan urusan pusat ke daerah harusnya diikuti juga dengan transfer pembiayaan dan dukungan PAD yang memadai,” ungkapnya.

Menurutnya pajak dan retribusi daerah adalah instrumen untuk mempengaruhi kultur tata kelola ekonomi di daerah, sehingga melalui UU HKPD diharapkan mampu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

“Idealnya UU HKPD mampu memberikan insentif fiskal, memberikan ruang otonomi, sehingga mampu meningkatkan PAD,” lanjutnya.

Sementara peneliti kebijakan pajak dari Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Inayati, memberikan catatan tentang pengaturan retribusi daerah dalam UU HKPD. Menurutnya, adanya penyederhanaan jenis pungutan retribusi menimbulkan dilema bagi pemerintah daerah.

“Terdapat sejumlah faktor yang menentukan penerimaan pajak daerah di Indonesia yang dapat dikelompokkan menjadi aspek kebijakan dan regulasi dan aspek administrasi,” tukasnya.

Inayati menambahkan, tantangan penguatan local taxing power di Indonesia, ditentukan dan dikelompokkan pada kabijakan dan regulasi pajak daerah dan administrasi pajak daerah. Selain itu, disparitas potensi penerimaan pajak daerah tidak merata karena beberapa objek pajak memiliki karakteristik khas yang berbeda-beda di daerah.

“Tiap daerah memiliki karakteristik dan potensi berbeda, seperti pajak air tanah, pajak mineral bukan logam dan batuan (galian C), dan pajak sarang burung walet sebagai contoh,” pungkasnya.

Melalui rapat ini, BULD DPD RI mencari perkembangan terkini atas implikasi kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah bagi perekonomian daerah. Persoalan itu khususnya menyangkut potensi melemahnya kemandirian fiskal daerah, potensi ketimpangan PAD antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, dan potential loss pendapatan daerah sejak diberlakukannya kebijakan pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah diatur dalam UU HKPD. (J05)

  • Bagikan