Habitat Terancam, Sang ‘Raja Hutan’ Pun Meradang

  • Bagikan
POLHUT dan BKSDA memasang kandang jebak untuk memerangkap seekor harimau di Dusun Aras Napal, Desa Bukitmas, Kec. Besitang. Waspada/Ist
POLHUT dan BKSDA memasang kandang jebak untuk memerangkap seekor harimau di Dusun Aras Napal, Desa Bukitmas, Kec. Besitang. Waspada/Ist

KONFLIK harimau sumatera (panthera tigris sumatrae) terhadap manusia dan hewan ternak di seputaran kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sudah berulang kali terjadi, khususnya di wilayah Kab. Langkat. Fenomena ini diyakini akibat faktor degradasi kawasan hutan.

Degradasi hutan tentunya tidak hanya menimbulkan problem lingkungan, seperti global warming dan bencana banjir, tapi juga bisa menimbulkan konflik serius antar satwa dengan manusia. Hewan buas yang terganggu habitatnya kerab ke luar hutan untuk mencari mangsa, termasuk menyasar manusia.

Pada tahun 2020 lalu, seorang petani tewas dengan kondisi mengenaskan. Kasus teranyar seorang petani penggarap JP Ginting nyaris meregang nyawa diterkam seekor harimau di kawasan hutan TNGL Barak Itir yang secara geografis berada di wilayah Kec. Sei. Lepan, Kab. Langkat, Sabtu (16/3).

Menurut keterangan yang diperoleh, korban menderita luka serius di bagian leher, kening, kepala, dan wajah. Dalam kondisi berlumuran darah, korban berhasil diselamatkan oleh orangtuanya dan segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis.

Sebelum terjadi insiden yang menggemparkan warga Langkat, khususnya warga Sei. Lepan, ada dua ekor harimau sumatera yang diberi nama Ambar Goldsmith dan Beru Situtung dilepasliarkan oleh Menteri LHK Siti Nurbaya di kawasan TNGL Resort Sei. Betung SPTN Wilayah VI Besitang.

Kedua hewan endemik Pulau Sumatera ini dibawa menuju TNGL menggunakan pesawat helikopter. Harimau bernama Ambar berjenis kelamin betina dengan usia berkisar 5-6 tahun. Harimau ini sebelumnya dievakuasi dari Desa Bukitmas, Kec. Besitang, pada 21 Desember 2022 pasca terjadi konflik dengan warga, kemudian dibawa ke Barumun Nageri Wildlife Sanctuary (BNWS) di Padang Lawas Utara.

Sedangkan harimau bernama Beru Situtung yang usianya diperkirakan berikisar 3-4 tahun diselamatkan dari kawasan hutan lindung di wilayah Kab. Aceh Selatan, setelah terjadi konflik dengan manusia. Sang ‘raja hutan’ ini pada bulan April 2023 dibawa ke BNWS untuk menjalani rehabilitasi.

Setelah melewati fase rehabilitasi yang panjang, Ambar Goldsmith dan Beru Situtung akhirnya dilepasliarkan kembali ke habitatnya di kawasan hutan hujan tropis dataran rendah TNGL di Resort Sei. Betung. Baru beberapa hari menghirup udara bebas di lingkungan alamiahnya, insiden kembali terulang.

Pasca seorang petani diserang oleh seekor harimau di Sei. Lepan, Beru Situtung, yang baru saja dilepasliarkan kembali diburu oleh petugas BKSDA bersama Polhut. Harimau malang ini pun kembali ditangkap setelah dilumpuhkan dengan tembakan obat bius. Hingga kini, tidak diketahui dimana lokasi harimau ini kembali menjalani rehabilitasi

Sementara, Ambar Goldsmith yang kabarnya masih berkeliaran di seputaran Dusun Aras Napal, Desa Bukitmas, Kec. Besitang, masih dalam pengintaian petugas terkait. Petugas BKSDA dan Polhut telah turun memasang kandang jebak, namun harimau malang ini kabarnya belum tertangkap.

Sekretaris Desa Bukitmas, Musa Tarigan, dihubungi Waspada mengatakan, merespon keresahan warga, petugas BKSDA, Minggu (17/3) lalu, turun memasang kandang jebak di Aras Napal. Selain kandang jebak, lanjutnya, tim tembak bius juga sudah disiagakan.

Tarigan menambahkan, untuk membahas terkait permasalahan harimau ini, akan dilakukan pertemuan koordinasi antara masyarakat dengan BKSDA, TNGL dan unsur terkait laiinya. Pertemuan digelar di Sekolah Alam Leuser (SAL) Desa Bukitmas, Kamis (21/3).

Sebelumnya, harimau memangsa ternak lembu milik warga di areal perkebunan kelapa sawit Desa Bukitselamat, Kec. Besitang. Harimau remaja yang diberi nama Bestie ini masuk ke dalam kandang jebak, lalu kemudian dilepasliarkan ke kawasan Keudah zona inti TNGL Blangkejren, Kab. Gayo Lues, Aceh.

Harimau berbobot besar ini masuk ke dalam kandang jebak pada 31 Agustus, kemudian oleh BKSDA melakukan observasi di Lembaga Konservasi Medan Zoo dengan maksud memudahkan proses pemeriksaan kesehatan satwa ini.

Pelepasliaran ini menggunakan helikopter dengan metode longline dari Bandara Blangkejeren, Kab. Gayo Lues, Provinsi Aceh. Berdasarkan hasil survey, Zona Inti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dipilih sebagai lokasi lepasliar mengingat lokasi ini merupakan habitat Harimau Sumatera.

Berdasarkan hasil pengecekan kesehatan, harimau sumatera “Bestie” memiliki berat badan 80 Kg, suhu tubuh normal, sudah tidak ditemukan caplak, luka pada ekor dalam proses penyembuhan, detak jantung dan pernapasannya normal.

Setelah pengecekan kesehatan dilakukan di Lembaga Konservasi Medan Zoo, kemudian dilakukan proses persiapan pelepasliaran dari Sanctuary Harimau Sumatera di Barumun, Kab. Padang Lawas Utara dan setelah 3 bulan menjalani perawatan secara intens, harimau siap dilepasliarkan.

Pelepasliaran terhadap ‘si raja hutan’ ini berkolaborasi dengan berbagai pihak, di antaranya Direktorat KKH Ditjen KSDAE, BBKSDA Sumatera Utara, Balai Besar TN Gunung Leuser, Balai KSDA Aceh, Bupati Gayo Lues, dan sejumlah aktivis.

Upaya penyelamatkan satwa yang dilindungi tentu tidaklah mudah. Karenanya, semua pihak diharapkan dapat ikut berperan aktif melestarikannya. Harimau Sumatera termasuk satwa dilindungi sesuai PP No. 7 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.

Menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, harimau termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered). Populasinya diperkirakan 500-600 ekor yang tersebar di hutan-hutan Pulau Sumatera.

Ekositem hutan yang rusak akibat berbagai aktivitas ilegal, membuat habibat harimau merasa terganggu, sehingga hewan berkulit belang dan berwajah sangar ini kerab ke luar hutan untuk mencari mangsa apa saja yang bisa disantap demi untuk bisa tetap survive.

Perambahan Meluas

Permasalahan konflik harimau dan manusia ini mendapat tanggapan dari salah seorang aktivis lingkungan, Azhar Kasim. Kepada Waspada, Selasa (19/3), ia menyatakan, sebagai hewan pemangsa, naluri agresif harimau ini tentu tidak bisa dipersalahkan.

“Sebagai hewan endemi di kawasan hutan TNGL, harimau tidak bisa dipersalahkan, sebab hutan itu secara alamiah adalah kawasan dia. Sekarang ini fakta yang dapat dilihat, manusia telah melakukan eksploitasi terhadap hutan sehingga membuat habitat harimau menjadi terganggu,” tandasnya.

Menurut Azhar, aksi perambahan di kawasan TNGL yang ditengarai melibatkan mafia tanah saat ini sudah semakin merajalela. Sikap eksploitatif manusia membuat ekosistem hutan mengalami degrasi yang cukup parah dan hal ini berpengaruh terhadap lingkungan secara makro.

Menurut dia, konflik antara manusia dan harimau akan tetap terus terjadi apabila praktik konversi hutan dan illegal logging di TNGL terus terjadi. “Saat ini, diperkirakan puluhan ribu hektar kawasan hutan hujan tropis dataran rendah ini rusak akibat aksi perambahan dan illegal logging,” ujarnya.

Kalangan environmentalis itu menilai, selama ini proses penegakan hukum dari Kementerian LHK terhadap pelaku aksi perambahan hutan dan illegal logging di kawasan TNGL dirasakan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Terbukti, aktivitas ilegal ini kian hari terus saja makin meluas.

Ia menyoroti lemahnya penegakan hukum. “Selama ini penegakan hukum dirasakan masih lemah,” kata Azhar seraya mendesak KLHK agar konsisten mengimplementasikan aturan hukum, sebab ketidaktegasan aparat dalam penegakan hukum berimplikasi buruk bagi masa depan lingkungan hutan TNGL.

Konflik yang berkepanjangan ini harus dicari solusinya, sebab tugas pengaman kawasan hutan bukan hanya tanggung jawab petugas Polhut, TNI/Polri, tapi juga tanggung jawab bersama. Masyarakat juga diminta turut berperan aktif menyelamakan ekosisem hutan agar kehidupan satwa tidak terancam.

Kepala Seksi Konservasi BKSDA Wilayah II Stabat, Herbet Aritonang, dikonfirmasi Waspada, Rabu (21/3), terkait penanganan masalah konflik harimau ini mengatakan, saat ini operasi pengamanan terus berjalan biar masyarakat merasa aman.

Ditanya kemana harimau yang beberapa hari lalu berhasil dilumpuhkan dengan tembak bius dikarantina, ia menyarankan menanyakan hal ini langsung ke Balai BKSDA. “Kalau masalah itu saya tidak tahu. Tanya saja balai,” ujar Herbet Aritonang seraya menambahkan, ia hanya bertugas menjalani operasi di lapangan.

Secara terpisah Kepala Bidang PTN Wilayah III Balai Besar TNGL, Palber Turnip, SP, MH, dimintai konfirmasinya terkait meluasnya kerusakan hutan mengatakan, dari sekitar 200.000 hektare kawasan hutan TNGL di Langkat, seluar 8.000 hektare di antaranya rusak akibat aksi perambahan.

Menyinggung sejauh mana upaya penegakan hukum yang telah dilakukan pihak TNGL, dia menyampaikan data Asus priode tahun 2012 s.d 2024 total sebanyak 117 kasus, dengan rincian perambahan sebanyak 22 kasus, illegal logging 65 kasus, dan perburuan satwa 19 kasus.

Pelber Turnip menyampaikan data terkait upaya restorasi yang dilakukan sepanjang tahun 2023. Restorasi Bukit Mas sebanyak 23.000 bibit (23 jenis) dan telah dilakukan pengkayaan tanaman dan pemeliharaan tanaman seluas 20 hektare.

Kemudian, Restorasi Barak Induk 33.000 bibit (14 jenis) luas tanaman 30 ha, KTHK Barak Induk diproduksi 40.000 bibit dan telah ditanam, kemudian Restorasi Cinta Raja III sebanyak 35.000 bibit dan sudah ditanam.

Data luas kerusakan hutan TNGL di Langkat yang disebutkan Kabid PTN Wilayah III ternyata berbeda jauh sesuai pernyataan yang pernah disampaikan eks Kepala BBTNGL semasa dijabat Ir. Wiratno. Mantan Dirjen BKSDAE itu kepada Waspada sempat menyebutkan luas kerusakan hutan TNGL tahun 2006 di daerah ini mencapai 23.000 ha.

Ada pun upaya rehabilitasi untuk pemulihan kawasan hutan yang dilakukan pihak TNGL pada tahun 2008 seluar 2.000 ha di kawasan Resort Sekoci dengan anggaran Rp6 miliar lebih ternyata gagal total. Kawasan yang telah ditanam, kini kembali dikuasi warga, termasuk mafia tanah.

Upaya untuk pemulihan kawasan yang terus dilakukan diyakini tidak sebanding dengan tingkat laju kerusakan hutan. Karena itu, guna menjaga kelestarian hutan yang menjadi paru-paru dunia ini, aktivis lingkungan mendesak pihak terkait, terutama KLHK agar konsisten menegakkan hukum. WASPADA.id/Asrirrais

  • Bagikan